Sabtu, 05 Juni 2010

D3 yang aku ikuti part II

Aku punya teman yang sejurusan denganku, akupun tak pernah tahu alasan ia memilih jurusan tersebut, karena ada aku kah, atau karena ada sesuatukah, kuharap mereka bersyukur karena telah mengenal aku sebagai orang yang baik hati, hehe.

Berikut ini adalah teman saya, orang tua dia sendiri menamakan dirinya itu lqbal, walaupun aku sering menyebutnya dengan nama ‘gede’ atau pun cukup dengan Bal saja, ia teman seperjuanganku di MKS, hidupnya sungguh sangat teratur saking teraturnya menambah berat badan hingga ia besarnya sebesar dua tubuhku. Tak perlu lah aku sebutkan ia itu berukuran xl.

Yang aku pahami ia sangat cerdas, dan mempunyai seorang pacar bernama Iva Arva apa itu, aku lupa akhirannya jika pun kamu tahu orangnya itu berasal dari Majalaya, sama seperti kota temanku yang lainnya namun ia jurusan jurnalistik namanya Yogi Hafidzin.

Kadang kala aku sangat iri dengan Iqbal, tak apa sepertinya dalam part II ini aku mengupas tentang temanku yang satu ini. Ya sudah lanjut kembali dengan temanku yang satu ini, aslinya ia orang yang berasal dari Ciamis, sama seperti salah satu dosenku di jurusanku tentunya tapi ia masuk UIN bukan karena KKN, tapi hasil jerih susah payahnya, Mungkin.

Eh, jikapun engkau tahu ia kini ngekos, kau pasti tahu menyewa sebuah kamar di salah satu kamar kos di Bandung ini. Jika engkau hendak mencarinya, maka carilah dengan seksama. Tahukah engkau jika kosannya itu berada dekat sebuah rumah makan yang kini telah berubah menjadi rumah makan juga namun berbeda pengelola. Tapi itulah yang paling bisa aku ingat ketika aku mulai mengenalnya.

Ada suatu kekecewaan yang membuat kesalku padanya hampir tidak hilang. Begini ceritanya, pada
waktu itu aku sudah mempunyai sebuah tiket suatu acara, aku lupa lagi apa nama acara tersebut yang pasti bintangnya ada Goodnight Electric dan Pure Saturday, tahukah engkau jika dua pementas itu yang aku tunggu dari acara tersebut ternyata Iqbal mau ikut, dan aku menyanggupinya, eh ternyata setelah berhujan ria dan basahnya jaket menghentikan langkah menuju acara tersebut, tiketnya tertinggal di kamar kosnya.

Aku sangat kesal dan hanya bisa ketawa-ketawa satir dan pusing mau apa, akhirnya aku jalan-jalan bukan pakai kaki tentunya pakai motor yang dikendarai tentunya motor aku atau iqbal ya, aku lupa bagian tersebut, untuk Iqbal temanku yang dirahmati Allah maaf karena menghitungmu jadi dua soalnya konteksnya masih kesel. bertiga naik motor tentunya karena Iqbal dihitung dua. Untungnya sang polisi tak menghiraukan kami.

Tak lama perjalanan makin tak jelas karena ya mungkin disebabkan sebagian basah, tapi tak apalah itulah mungkin sebuah perjalanan jika tak dengan rencana yang baik. Tapi jadi kenangan indah kami bertiga.

Sepertinya tak perlu aku ceritakan semua hal yang aku kenal tentang temanku ini, soalnya ia itu orangnya unik dan jarang punya teman sekelas sebaik dia. Ia itu dulunya ikutan filsafat mungkin karena ia mengakui dan menyadarai dirinya tentang kekurangan ilmunya untuk menerima ajaran filsafat yang begitu agung ternyata ia kembali ke jurusan ekonomi bersama kami di MKS.

Sebenarnya Iqbal sangat setuju dengan ilmu di MKS, namun karena banyak sekali pengulangan ia pun kurang menerimanya ditambah lagi banyak kerancuan antara ilmu dan fakta, seolah ekonomi islam itu bukan rahmatan lil alamin.

Mungkin jika baca tulisan ini ia akan marah-marah dan menghina saya, atau pun mengumpat dan memarahi saya ketika bertemu saya, tapi tak apalah demi perjuangan saya dan tugas agama saya, saya akan terus menulis. Eh mengetik.

Tak terasa dua halaman akan aku jelang dalam menulis ini, dan tentunya. Sepertinya tulisan ini harus diteruskan.

Lanjut. Sekarang mungkin kau yang baca telah mengenal sedikit tentang temanku ini, semoga kau yang telah kenal dengan Iqbal temanku ini akan menjadi lebih kenal, ataupun bagi yang belum kenal mak kenalan lah lebih lanjut, karena jika dalam pemaparan saya terlalu subjektif.

Mungkin nanti temanku yang lainnya akan aku ceritakan di bagian ke III. Amin, tapi mereka marah ga ya?

D3 yang aku ikuti part I

Aduh, malang nian nasib mahasiswa D3 MKS, sebuah jurusan yang kini aku ikuti di kampus yang ada di Bandung Timur, aku sangat riskan untuk menulis bahwa namanya uin, dengan huruf kapital tentunya.

Yang aku maksud malang di paragraf awal itu bukan Malang sebuah kota tapi sebuah kondisi, tapi gimana yang mau menuliskannya soalnya tahun ini tak ada lagi jurusan D3 mks, katanya mah sih mau jadi universitas jadi we jurusan itu harus hilang, jurusan tersebut membuatku banyak belajar tentang kelicikan dan bersiasat.

Jika mau bercerita awalnya aku memilih jurnalistik tapi banyak alasannya untuk merubah pilihan menjadi PA, santai belum sampai ke alasan menjadi D3 mks, nah alasan yang paling cocok untuk pindah pilihan karena, pada masa itu, sebaiknya jangan kalimat pada masa itu soalnya siga jaman baheula kitu, lebih baik pada waktu itu, jadi pada waktu ekonomi perbankan syariah mulai booming bahasa kerennya mah padahal mah biasa aja, soalnya di desaku BMT sudah dikenal sejak aku kecil, jadi aku telah terbiasa dengan produk BMT.

Nah jadi we aku teh memilih D3 MKS, walaupun D3 tapi mending lah daripada gak ada, tul ga? selanjutnya aku mulai mencari info tentang jurusan tersebut. Sesuai dengan usulan orang tuaku aku ikuti jurusan tersebut, dan hasilnya lumayan menarik.

Aku mendaftar biasa saja dengan mengisi formulir seperti mahasiswa pada awamnya, namun perasaan males datang ketika tes, sepertinya itu bukan tes karena pada tes tertulis khususnya bahasa arab aku mengisi seenaknya, dan tentunya itu bukan jawaban karena aku keluar lebih dahulu dibandingkan yang lainnya. dan selanjutnya yaitu tes lisan ternyata bukan aku yang menjawab karena sang bapak pemberi wewenang tes terus berbicara dan hampir saja waktunya habis karena dari semua percakapan aku hanya menyebutkan nama, asal, dan alumni mana? dan yang paling patut disyukuri oleh semua orang ternyata aku lulus di D3 MKS. Hingga saat ini aku hampir menyelesaikan studiku untuk D3 MKS, dan menjadi Amd. Aamiin.

Semester satu aku sangat bingung dengan jadwal kuliahku namun aku punya teman untuk bingung lainnya, namanya Fajar ia tinggal di sebuah kamar dalam rumah orangtuanya tepatnya di Soreang, namun karena ia itu baik sekali dan aku juga sangat baik sekali orangnya, aku akhirnya menjadi teman seperjuangan di MKS.

Namun perjuangannya harus terhenti di beberapa semester awal karena 'pen' gitu? atau apalah itu namanya yang harus menempel ketika seorang mempunyai kaki yang retak dan harus memakai beda itu, kembali ke perbicangan akhirnya benda itu diangkatnya, tentunya oleh dokter yang Fajar percayai.

Dalam beberapa semester awal kukenal ia sangat cerdas karena argumennya yang tepat sasaran, ditambah lagi ia mempunyai tubuh yang gempal ,namun tak segempal temanku Iqbal, nanti lah ku ceritakan juga.

Oh ternyata beberapa bulan ia tak masuk kuliah, akhirnya tak ada teman untuk kebut-kebutan bersama di jalan Soekarno-Hatta ketika pulang kuliah. namun hal yang mengejutkan ialah aku mendapat surat undangan darinya. ia menikah.

Jafra teman-temannya memanggilnya, namun aku dan Iqbal lebih suka memanggilnya Fajar atau Jar, dan ia salah satu teman baikku, dan semoga ia baik-baik saja. Aamiin.

Jalan Malam

Aku harap sekarang ada teman disampingku, namun ternyata hanya bisingnya jalanan dan suara air turun dari atas sebuah atap minimarket.

Aku mulai bosan dengan kegiatan menulis ini karena aku mulai kehausan, dan ingin segera minum, tapi aku enggan untuk masuk ke dalam minimarket karena untuk minum saja uang kertasku akan berkurang, tapi itu tak membuat pikiranku buntu, aku masih punya minuman di tasku yang berwarna hitam.

Aku akan minum sekarang. Nikmatnya minumanku, walaupun itu air bening yang aku ambil tanpa minta izin kepada orang tuaku, semoga mereka ridlo untuk semua itu.

Beberapa waktu yang lalu aku hanya diam dan duduk bersila dan hanya mengetik walaupun beberapa orang telah melewatiku tanpa berkata punten karena mereka semua akan masuk, dan aku memakluminya karena aku ridlo dan tak tahu siapa mereka, kapan mereka dilahirkan, agama mereka ataupun isi dibalik kepala mereka, otakkah, atau apalah itu yang membuat mereka hidup. Semoga rahmat Allah SWT terlimpah ruah bagi mereka. Aamiin.

Di samping kananku berjajar galon-galon plastik berisi air, dan kotak amal tentunya. “Oh kapan hujan ini akan reda,” gumamku dalam hati, tapi itu hanya harapanku , namun untuk mengisi waktu luangku dengan yang bermanfaat aku bisa mengetik dan membuat sebuah cerita, apapun itu yang penting aku bisa tulis, tapi banyak ide yang ingin aku tulis. Aku memilih keadaanku saja saat ini, walaupun itu berita namun bisa juga opini, karena subjektif tapi mungkin tulisan ini akan aku kenang nanti ketika aku baca di kemudian hari. Aku telah menulis sebuah sejarah untukku sendiri. Jika orang lain beruntung mungkin ia juga akan tahu sejarah ini.

Aku sangat ingin untuk melakukan kegiatan menyolok alat yang ada di ujung kabel chargerku, namun itu sepertinya tak akan terlaksana karena tak ada sakelar disampingku.

Sepertinya hujan ini bukan untuk aku tunggu. Aku akan berangkat menuju temanku yang lainnya. Untuk bersosialisasi tentunya.

Tafsir Bebas

Biasanya seorang ahli tafsir itu seorang yang mempunyai ketentuan lebih, dari segi ilmunya, pengetahuan, buku yang dibacanya, berat badannya, atau pun istrinya jika ia lelaki atau suami jika ia seorang wanita atau mungkin juga simpanannya mulai dari berbentuk hidup atau pun tak hidup.
Secara pengetahuanku tafsir itu sebuah gambaran saja bukan sebuah artian yang sebenarnya hanya sebatas analisa atas sesuatu, jika saja kau tahu siapa itu seorang mahasiswa namanya, yang ia mengatakan bahwa tafsir itu ialah meraba hal yang tak mungkin teraba, seperti menjambak rambut
kepala orang botak mungkin.

Kadang kala aku sering menafsirkan banyak hal yang mungkin kata orang itu tak berhubungan sama sekali, atau mungkin berhubungan secara tak kasat mata.

Kembali lagi ke tafsir bebas yang menjadi topik dalam tulisanku ini, kata tafsir mungkin berasal dari bahasa arab, soalnya prasangka burukku mengatakan hal tersebut bukan berarti menolak arabisme tapi itulah yang aku ketahui, bahasa yang aku anut seringkali tidak original atau malahan tak ada originalnya sama sekali, semuanya serapan dari bahasa yang beragam pula toh umur bangsa Indonesia dimulai dari 1945.

Kata ‘tafsir’, sering kali aku potong-potong menurut opini ku sendiri, ‘ta’ dan ‘fsir’, kata tak sendiri mungkin aku asumsikan itu merupakan sebagian dari tafsir yang berarti tidak, soalnya aku sering kali berangan-angan membuat bahasa sendiri, tapi karena aku orang sunda aku lebih suka bahasa sunda. Jadi tak apalah, mereka yang selain aku tak atau mengerti bahasaku. Kembali lagi ke ‘ta’, aku ingin mengartikannya sebagai ungkapan ‘tidak’ dan ‘fsir’ tak bisa aku artikan karena tidak tahu mau kuartikan apa, jadi tafsir itu tidak tidak tahu, sehinga pantas saja mereka selain aku atau juga termasuk aku mencoba menafsirkan, mereka juga asalnya tahu tafsir hanya prediksi atau ungkapan ketidaktahuan saja.

Tafsir, kata yang menarik sekali bagiku seperti kunci menuju sebuah labirin yang ujung dari labirin sendiri ialah labirain lagi, memusingkan tapi mengapa orang mencoba membuat terkaan bagi suatu hal, tersirat maupun tersurat, mencoba mencari hal tersirat dalam tersurat atau mencari hal yang tersurat, jadi lebih baik menurutku saling bertukar surat saja, toh pesannya akan tersampaikan jika itu diterima dan dapat dibaca, tapi itulah menariknya pesan.

Ada yang menarik dalam kata tafsir, biasanya tafsir merupakan sebuah refresentasi subjektif pesan seseorang menurut tafsiran mereka sendiri, aku berani menulisnya subjektif karena tafsiran nabi, tidak dikatakan tafsir tapi hadis. Dan mungkin tulisan ini juga merupakan hasil tafsiran saya sendiri dan itu ku akui subjektif.

Aku sering berkhayal kenapa Allah tidak langsung memberikan pesannya ke setiap individu di dunia ini, namun ia memberikan kesempatan manusia untuk menerima utusannya, dan lewat akal para penerima pesan lewat utusan tersebut menafsirkan banyak hal yang mendekati mungkin, jadi hanya sebatas opini saja. Sehingga banyak sekali hikmah yang aku dapat dan bersyukur dapat menafsirkan karunia Allah dengan lebih besar.

Indonesia Milikku

Hey, tahukah kamu arti atau tafsiran dari kata Indonesia, secara kata Indonesia terdiri dari beberapa kata mulai dari bahasa Indonesia sendiri atau pun bahasa daerah hingga bahasa serapan internasional yang disebut dengan inggris dalam transliterasi bahasa Indonesia, atau yang awam disebut KBBI.

Indonesia, terdiri dari tiga kata dua bahasa inggris dan satu lagi bahasa daerah, khususnya Jawa Barat, terdiri dari kata in, done, dan sia, masing-masing mempunyai arti atau tafsiran secara kata, sehingga diartikan menjadi suatu tafsiran lengkap.

In artinya ‘dalam’ jika bahasa indonesia, namun karena keterbatasan kata dalam bahasa inggris dan begitu luasnya artian dalam bahasa Indonesia sehingga mempunyai arti yang ambigu ataupun tak jelas, kata dalam bukan berarti suatu posisi di bawah suatu lapisan tertentu karena itu artinya kedalaman, bukan juga suatu kata penghubung sehingga menghasilkan arti benda seperti celana. Karena begitu ringkasnya bahasa inggris sehingga arti ‘dalam’ bisa disebut on, ataupun under. Bisa juga in adalah menunjukan suatu tempat karena kata in there berarti menunjukan tempat, begitu juga dengan kata check in.

In di tulisan ini berarti suatu proses karena inginnya saya begitu, jika pun kamu protes maka buatlah sendiri tulisanmu tentang Indonesia, kembali ke topik in, aku artikan sebagai proses karena kata dalam dalam artian bahasa Indonesia berarti proses. Kata dalam rangka ataupun identifikasikan dengan dalam proses.

Sekarang kata selanjutnya yaitu done, tak ada yang istimewa dalam kata ini masih saja berarti selesai, atau pun sudah kecuali dalam pengucapannya kata ini lebih menarik jika dikonversi ke dalam bahasa Indonesia, karena suatu tata nilai yang berbeda kata done disebut ‘dan’ sehingga terkesan merupakan bahasa Indonesia, begitupun jika pengucapan yang salah terkesan menjadi nama seorang pelawak legendaris, Dono. Eh, jikalau kamu tahu ia adalah jurnalis handal dan seorang akademis yang tangguh. Ia seorang Dosen.

Selanjutnya kata ‘sia’, jika dalam tata bahasa dan nilai orang sunda kata tersebut adalah kata yang kasar karena biasanya merupakan ungkapan kekesalan, kata tersebut diabadikan dalam judul lagunya Tjukimay, oh, lagu yang sangat kurang mendidik, terutama dalam pendidikan norma berbangsa dan bernegara. Ada yang unik dari kata ini, jika dalam bahasa Indonesia adalah ‘kamu’ namun jika kata tersebut terjadi pengulangan maka menjadi sia-sia sehingga berarti tiada gunanya. Atau jika menurut hukum Islam yang aku patuhi berarti mubazir atau tak bermanfaat.

Selanjutnya arti dari keseluruhan Indonesia adalah berada dalam suatu proses yang sudah olehmu, namun secara tafsirannya Indonesia adalah suatu yang tak harus dilakukan sia-sia olehmu bangsa Indonesia dengan kekayaan kata yang dimilikinya tak boleh disudahi sampai disini.

Tertanggal 21 Mei

Malam ini hujan, tak kah engkau tahu bahwa malam ini hujan dengan suara bising kendaraan yang melintas sebuah minimarket di bilangan Bandung Timur dekat sebuah POM bensin, tak perlu aku tanyakan lagi bahwa POM bensin itu bermerek Al Masoem dan minimarket itu Alfamart, sebuah minimarket yang buka dua puluh empat jam atau dengan kata lain seumur hidup kecuali ada perintah untuk libur tentunya. Tapi apakah ia akan buka di hari kiamat? Hanya Allah yang tahu.

Bandung Timur sekarang hujan rintik-rintik, sebenarnya hujannya dikatakan sangat kecil namun mereka datang bergerombol, tetap saja aku menjadi basah, bukan tubuhku tentunya tapi ratusan benang yang menempel di tubuhku tentunya. Tak perlu dibahas lah proses pembuatan benang itu menjadi kain.
Aduh! Sekarang tujuanku adalah bumi perkemahan Kiara Payung, padahal aku tak tahu tujuan sebenarnya, semua kudapat dari undangan temanku Rais, ia seorang anggota LPIK, sebuah Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman, jikalau kamu tahu ia itu seorang laki-laki. Dan tak perlulah aku perjelas bahwa ia anaknya seorang PNS di Subang.

Di depanku ada sebuah tong sampah berwarna kuning, dari samping tertulis ‘hawaii’ namun aku malas untuk melihat dari depannya tertulis apa. Terus didekatnya ada sebuah keset berwarna merah, namun sekarang warna itu telah berubah sebagian karena banyaknya telapak kaki atau alasnya menginjak keset tersebut. Alangkah malangnya keset diciptakan oleh penciptanya dengan seijin Allah tentunya, namun ia selalu diinjak-injak.

Oh ya baterai dari nettbook ini mungkin tak akan bertahan untuk beberapa minggu karena ia hanya tahan untuk waktu dalam jam bukan seperti Alfamart berjam-jam ia akan buka.

Tahukah kamu bahwa jalan di seberang aku memarkir motorku bernama jalan raya Cinunuk, untukmu yang tahu semoga tetap melestarikan jalan yang ada diseberangku, melestarikan kebersihannya dan keindahannya. Namanya memang unik sekali, sangat unik untuk diingat karena ‘Ci’ itu dalam bahasa sundanya berarti air sedang ‘Nunuk’ aku tak mengerti, oleh karena itu aku akan mencoba untuk memecahkan misteri dari nama Cinunuk itu. Sungguh misterius.

Tak terasa hujan mulai reda aku ini sedang duduk dan menekan keyboard yang ada gambarnya mirip huruf, tak penting kiranya aku perjelas bahwa yang buat adalah alfabet. Hujan ini mungkin sebuah rahmat, namun bagaimana jika hujan di daerah Dayeuh Kolot. Masihkan ia menjadi rahmat dikala dinginnya malam. Sungguh kasihan jika mengingat aku juga harus berlama-lama duduk di jok motorku bersama bapakku ketika terjadi macet dikala banjir menggenang Dayeuh Kolot.

Oh ya tadi ada seorang bapak melewat di depanku, lalu ia membuang puntung rokok yang masih panjang kelihatannya. Mungkin melihat di pintu masuk minimarket ada tulisan dilarang merokok. Aku juga tak setuju dengan adanya asap rokok, semoga yang merokok berhenti benci terhadap rokok dan membuat kebatilan dengan membakarnya hingga yang tersisa hanya puntungnya.

Aku harap semua tempat menjadi Alfamart, karena semua tempat menjadi ada tulisan dilarang merokok, aku juga berharap tulisan dilarang merokok dihilangkan dari semua SPBU, sehingga kata merokok habis dari KBBI.

Oh tahukah engkau barusan aku tulis hujan mulai reda, ternyata Allah SWT berfirman lain atas nasib umatnya. Hujan mulai membesar lagi. Dan aku tak tahu kapan sang hujan akan mulai berhenti.

Riwayat obrolan sehabis Jum'atan

Berikut percakapan antara saya dan Luthfian Anwar, ia seorang juniorku di Teater bohlam, tanggalnya saya lupa lagi, tapi yang jelas itu setelah Shalat Jum'at,

13:23Saya
upi kamu ga jumatan
13:24Luthfian
ngga euy
13:24Saya
oh kamu pasti ada di kutub
utara atau kananya utara
13:24Luthfian
ngga saya abis kecelakaan kmrn
13:25Saya
oh turut berduka cita atuh
semoga lekas sembuh banget pisan sangat sekali atau duakali
13:25Luthfian
terima kasih god
13:26Saya
jangan god ah, terima kasih mah k allah swt aja
13:26Luthfian
hahahahahhaha
terima kasih godi mksdnya
13:26Saya
oh iya itu saya ngerti
gimana sekarang udah merasa baik-baik saja
13:27Luthfian
sudah lumayan sekarang
13:27Saya
lumayan teh apaanya
kecelakaan dimana dan kapan
13:28Luthfian
lumayan membaik
kecelakaan di laswi
13:28Saya
oh
kenapa memilih kecelakaan d laswi
13:30Saya
ah kamu ga bales jadi we saya berpulang dulu k dunia nyata
13:29Luthfian
saya ga memilih tapi kebetulan
13:30Saya
oh sangkain teh udah di jadwal, maafkan segala kesalahan orang lain jika berkenan itu juga
assalamualaikum
13:31Luthfian
walaikumsalam
13:31Saya
semoga rahmat allah terlimpah ruah bagimu dan bagimu negri biar aman sentosa
amin
dan amin rais

Maaf jika percakapan di atas terkesan sangat memaksakan untuk dimengerti, tapi ya begitulah adanya.

Hari ini temanku menikah

Godi Rangga Budi Anshary

Hari ini hujan rintik bukan menjadi latar Bandung Timur, hujannya sekarang lebih besar dan lebih lama terasanya, karena tak terasa dari ba’da Ashar hingga Isya menjelang hujan tak kunjung reda. Jadi ingat lagu KOIL tentang hujan, sungguh nyaman sekali didengar, namun sayang tak dapat kudengar,
hanya pelipur lain yang datang, track A Movie Script Ending dari Death Cab For Cutie.

Kamar kos temanku kini berwarna abu-abu, dengan kain hordeng yang terlihat baru, berwarna biru. Aku datang ke kosannya setelah menepati janjiku untuk datang ke pernikahan temanku, Gugun seorang veteran aktivis LSPI dari statusnya sebagai mahasiswa. Seorang teman debat yang lumayan teguh memegang prinsipnya pada politik islam yang fundamentails. Sangat keukeuh.

Aku mengenalnya ketika ada diskusi di SUAKA, tentang hukum positif tepatnya, terlebih lagi pada pelaksanaan demokrasi di tataran masyarakat. Ia sangat menolak dengan konsep demokrasi dengan efek negatif dari sebagian untuk sebagian sedangkan berbeda denganku yang lebih sosialis dengan konsep utopia dan masyarakat madani versi Marx menjadi obrolannya sedangkan Wicaksono Arif yang dikenal dengan panggilan Wicak lebih mengusung demokratisasi dan paham konsensus yang selama ini ia usung.

Walaupun perdebatan berlangsung pendek dan sengit namun itu lebih pada kita mengungkapkan pendapat, toh hubungan kami yang berdebat tentang paham yang kami usung tetap saling menghormati. Tak ada dendam antara kami.

Beberapa hari yang lalu aku mendapat SMS dari Gugun, perihal pernikahannya, walau pun sebelumnya proses taarufnya, telah ia perbincangkan antara kami bertiga, tapi itulah akhirnya ia konsekuen dengan calonnya. Ia menikah tadi pagi.

Dari pemaparannya tentang proses pencarian jodohnya terbilang sangat cepat, dengan perkenalan dengan cara yang tidak umum menurutku tapi mungkin bagi sebagian mereka tahu itu umum, tapi itu cara yang keren dan berani mengambil langkah menuju sebuah keluarga yang sakinah. Amin.

Dalam phonebook di HP ku tertulis Gugun Humas, sebuah panggilan baginya yang kerap aku berkirim SMS untuk menanggapi pernyataan paranoidnya terhadap sistem pendidikan barat yang cenderung membebaskan. Bahkan terlalu bebas.

Hari ini ia menikah, sebenarnya dari pagi aku telah persiapkan rencana ke pernikahannya jam 10 pagi, namun karena tempatnya yang aku belum tahu jadi kuperkirakan jam 11. Namun ketika aku ke kostan ternyata tak ada air untuk mandi, sehingga untuk menunggu jam keberangkatan menuju tempat resepsi aku sempatkan untuk memperbaiki helmku. Dengan lapisan kain baru tentunya.

Jam 12 telah berlalu beberapa menit, ada SMS menanyakan buku dari Husna aku jawab “Buku apa?” eh tak ada balesan, aku datang ke Suaka, ternyata semuanya sudah beres ujar Agus.

Dalam perjalanan yang aku pikirkan, adalah rencanaku untuk segera menghabiskan masa mahasiswaku ini, pokoknya minggu ini proposal harus beres. Tak dikira awan mendung terlihat ketika banyaknya pedagang tahu sumedang di pinggir jalan terlewati. Di pinggir Kahatex aku bernaung dari derasnya hujan yang mulai mengguyur kawasan industri di Bandung Timur.

Aku mengajak Sopi Sopiah, seorang juniorku di SUAKA, karena ia memang orang Rancaekek dan aku berharap ia tahu akan lokasi tersebut, dengan sebelumnya mengajak Tina, seorang Pemred media GERAK di SUAKA, tapi ia tak bisa karena ada tugas akuntansi ujarnya di SMS.

Sembari menunggu hujan aku menanyakan perihal tempat resepsi pernikahan Gugun padanya, ternyata ia mau mengantarku ke sana, semoga lokasinya ia tahu dan tak banyak tersesat.

Setelah reda hujan, ia menungguku di depan sebuah jalan menuju Perum, aku melihat sebuah umbul-umbul perikahan temanku, ternyata ini tempatnya ujarku dalam hati, tapi tanggung aku telah mengajak juniorku, aku melaju lebih jauh menuju tempatnya berada dan berharap ia lebih tahu tempatnya dariku.

Karena aku tak tahu tempatnya aku terlalu jauh mengendarai laju motorku, menuju Parakan Muncang, setelah berputar dan bertemu dengan kawan pengantar, aku harap ia menjadi guide yang baik menunjukkan tempat resepsi tersebut.

Ternyata, lokasinya sangat mudah ditemukan, dengan umbul-umbul pernikahan Gugun dan Nia telah tersaji di pinggir jalan dan tempatnya pun tak terlalu sulit dicapai.

Gugun berpakain serba putih sementara mempelainya dengan warna kuning keemasan. tampak serasi. Tak berlama-lama karena ia menyuruh kami segera makan, dan aku pun mengiyakannya, karena aku memang belum makan. Sementara menunggu sang mempelai aku mengobrol dengan Sopi, ia pernah bertemu dengan mempelai wanitanya sewaktu di LDM, dan ia pun kenal dengan tempat resepsi karena seringkali ada pasar tumpah di dekat area tersebut.

Setelah Gugun datang, kami menyegerakan pulang, berdoa untuk kedua mempelai, dan pulang mengantarkan Sopi menuju rumahnya. Dalam perjalanan aku bertanya dan menerka-nerka bagaimana nanti pernikahanku, apakah banyak temanku yang datang?

Jatinangor 13 mei 2010 sewaktu hujan mulai reda

Sukabumi - Surade

Sukabumi mereka memanggilnya demikian dengan udara yang sejuk, warga yang ramah, dan yang paling kuingat dari nama kota tersebut adalah luasnya, jika aku bisa berjalan-jalan ke semua daerah yang pantas aku kunjungi aku akan sangat bersyukur karena bisa melihat potensi yang tertidur pulas.

Siang hari itu langit kota Bandung timur terlihat cerah, warna biru dan awan putih menemani sejak pagi hari, “Jadi teu berangkatna?’” tanyaku dalam pesan ke Nenden teman sekelasku.

Setelah beberapa saat menunggu di SC (Student Center) kampus kami yang lekat dengan mitosnya kampus islami, akupun menunggu di jalan Manisi sesuai dengan instruksi teman seperjalanku.

Teman sekelas memanggilnya Nenden Komalasari, mungkin nama itulah yang diberikan orang tuanya ketika ia lahir, mojang asal Cianjur itu tak tahu mengapa seolah terus berlari di pikiranku, tak tahu bagaimana pada semester 1 akhir aku menyatakan cinta padanya namun akhirnya ia menolakku. Kusadari mungkin aku harus banyak berbenah atas diriku yang mungkin tak pantas untuknya atau mungkin hal lainnya yang menjadi alasan hal tersebut.

Sempat aku melihat cermin sebelum berangkat ke Sukabumi hari itu, kulihat seseorang dengan selera musik yang beragam, sangat menyukai Tan Malaka, dan F. Engels dan mungkin suka menggambar lewat Corel.

Setelah naik angkot Cileunyi-Cibiru akhirnya sampai di dekat Tol Cileunyi. Setelah membayar dan menyeberang jalan akhirnya kursi Bus Karunia Bakti bisa kududuki dengan seorang bidadari di sampingku. Sungkan mungkin jadi alasanku untuk mengobrol banyak dengan Nenden, tak tahu mengapa rasanya sealu sungkan dan tak menentu perasaan ini ketika berada di dekatnya. Mungkin aku saja yang aneh. Akhirnya kebanyakan aktifitas di perjalanan ke Sukabumi diisi dengan kegiatan tidur.

Akhirnya terminal Degung Sukabumi sampai juga setelah sebelumnya berhenti sebentar di depan terminal Rawabango Cianjur, akhirnya sesuai rute yang diberikan Mila Fitriyani teman sekelasku aku mencari jurusan Lembur Situ, jurusan tersebut satu-satunya jalur untuk mencapai Surade Sukabumi.

Setelah naik jurusan angkot lain dan beberapa saat berjalan kaki menuju angkot jurusan terminal Lembur Situ, akhirnya angkot tersebut kulihat juga, warnanya kuning cerah, mirip angkot jurusan Cigondewah yang sering aku naiki ketika mengantar ibuku mencari kain di Cigondewah.

Dalam perjalanan ke Surade serasa naik mobil trail atau jalanan yang sangat terjal, mending jika hanya terjal saja tapi kelokan yang tajam menjadi bonus indah bagi perjalanan ke Surade, lelah dan pusing karena dari siang belum makan, sehingga pikiranku tak bisa berpikir jernih yang kuingat hanya ingin tidur dan tak ingin melihat jalan, walaupun kata teman sekelasku, pemandangan disana bagus sekali, “Mana alusna, poek kieu,” ujarku dalam hati karena hampir lebih dari setengah perjalan lampu rumah jarang sekali aku lihat.

Akhirnya, alun-alun Jampang aku lewati sesuai instruksi dari Mila, aku harus berhenti di depan GOR Surade, setelah melewati beberapa kilometer, akhirnya sampai juga.

Di pinggir jalan telah menunggu seorang pria dengan sepeda motor. Inginku langsung duduk dulu dan rebahan atau memakan sesuatu di warung terdekat. Tapi pemuda tersebut langsung mengajakku dan Nenden naik motornya, ternyata itu adalah saudaranya Mila, dalam perjalan menuju k rumahnya Mila ternata tak jauh berbeda dalam perjalanku ke Surade, lumayan terjal dan gelap.

“Punten nya ngarepotkeun!” ujar Mila ketika kutemui ia di depan rumahnya menunggu tamu dari arah Bandung yang akan mengunjunginya, “Santai,” ujarku. Perjalananku ke Sukabumi ialah upayaku memenuhi janjiku padanya.

Setelah membasuh tubuh akhirnya aku bisa makan juga, syukurlah akhirnya perutku terisi juga, dan berisitirahat untuk esoknya melihat temanku yang akan menjadi istri bagi suaminya. Mila Fitriayani mereka memanggilnya tapi untuk biasanya aku memanggilnya Mi, bukan sebuah jenis makanan tapi hanya untuk mempermudah pemanggilan saja.

Langit biru menemani terbukanya mata pagi itu, deretan karpet, telah tersedia di halaman depan dan ruang tengah, sungguh berbeda dengan suasana pagi hari di kosan samping kampus, dengan udara yang segar, langit yang biru, dan melihat para pelajar SMP dan SD lewat depan rumah, rasnya seperti jaman dulu saja, menuju ke sekolah dengan berjalan kaki tapi sekarang setiap kali aku berangkat kuliah yang kulihat hanya deretan sepeda motor dan kendaraan lain yang dipenuhi oleh anak sekolah.

Tak lama rombongan datang, calon suaminya Mila, belakangan aku tahu bahwa ia adalah seorang guru Sosiologi dari tempat Mila menimba ilmu, dari pemaparan Mila awalnya ia kurang suka padanya namun ternyata jalan hidup berkata lain, ada rasa lain yang tumbuh dan membesar hingga akhirnya berbunga perkawinan. Hari rabu itu mungkin hari yang paling bersejarah baginya, ketika panggilan itu datang ia masuk ke ruang tengah seperti yang canggung mungkin karena pakainnnya yang serba putih dan lain dari pada bisanya ia terlihat sangat cantik.

“Sok calik di palih dieu,” ujar naib. Prosesi itu terbilang aneh bagiku karena berbeda dari biasanya keluargaku bisanya di ruangan yang besar atau aula, sedangkan ini ruangan tengah menjadi saksi bisu akad nikah, aku hampir tak dapat melihat wajah temanku itu karena kebanyakan ia hanya menunduk, kumaklumi ia berkelakuan begitu. Namanya juga pernikaannnya, apalagi ini yang pertama.

Acara prosesi akad berjalan sangat lancar, hanya tangisan anak kecil yang menjadi bumbu acara tersebut selebihnya pesan-pesan dari yang dituakan dan naib setempat. Namun pada saat sungkeman atmosfir serasa berbeda semuanya termenung dan hampir sepi, dan pendek cerita garisan tetesan air mata terlihat di pipi kiri temanku. Ia menangis.

Sesuai jadwal setelah akad pernikahan diteruskan dengan acara makan-makan, dengan hidangan yang tersedia, orang-orang berjajar dan berbaris rapi. Namun kurasakan udara makin menghangat dan waktu itu terasa sangat panas, setelah kutanyakan pada saudara Mila, memang begitulah adanya, ditambah lagi daerahnya yang dekat pantai. Panas.

Acara selanjutnya ialah pendokumentasian pernikahan tersebut, mungkin kebiasaan disana akad dulu baru hajatannya, tapi berbeda dengan kebiasaan keluargaku biasanya akad pernikahan bareng hajatan, sepaket atau kata lainnnya.

“Kamana?” tanyaku, “Ka Villa, urang foto-foto,” ujarnya. Karena aku tamu ya aku ikut saja, ditambah lagi aku tak tahu apa-apa tentang Surade, ternyata daerah tersebut daerah dataran rendah dan menyimpan banyak sekali potensi pariwisata, misalnya Ujung Genteng, Mina jaya, dan resort lainnya yang jika dikembangkan bisa saja seperti Pangandaran sekarang ini.

Beberapa spot rombongan kami berfoto ria, dan tentunya, pendokumentasian bersama Nenden, dalam hatiku, “Akhirnya bisa juga ambil foto dengannya,” tapi tak apalah walau tak optimal hasilnya, aku tetap bersyukur untuk kenangan yang mungkin akan menjadi beberapa sejarah dalam hidupku.

Setelah berpulang ke rumahnya Mila, Nenden minta untuk segera pulang, dan aku pun menyetujuinya karena mungkin Nenden lebih punya perhitungan tentang kuliahnya pada hari kamis esok, dengan alasan itu menurutku sudah cukup untuk segera pulang.

Dan akhirnya aku pulang bersamanya. Dengan rute yang sama Sukabumi-Bandung, di tengah Jl Soekarno Hatta, bus kami menambal banya terlebih dahulu, sehingga kami harus menunggu setengah jam lebih, Nenden hanya tidur, dan aku mendengarkan track Green Eyes dari Coldplay, jika saja ia mengerti mungkin ia kan tahu lagu indah itu untuk siapa, tapi ia hanya tertidur. Sungkan rasanya untuk mengajaknya mengobrol, karena aku kadang jadi salah tingkah di depannya dan pilihan terakhir. Aku hanya diam dan mungkin itulah jalan terbaik.

Kusayangkan sepanjang perjalan aku cuma diam dan hanya duduk di kursi penumpang, karena dari percakapan pendek saja aku sudah bosan dengan topik pembicaraan kami, hanya itu-itu saja dan tak menarik bagiku, sehingga aku pilih diam atau tidur dari pada mengobrol dengan topik-topik yang menurutku sangat berbeda banget dengan yang aku kategorikan menarik bagiku untuk jadi bahan obrolan, atau mungkin aku tak mau untuk membuat diriku tertarik.

Aku berjalan menuju kosan Nenden dari pintu jalan Panyileukan, karena sang Angkot tersebut mogok, dengan kondisi lelah, aku mengantarnya beserta satu dus oleh-oleh dari Mila, tak tahu aku isinya apa yang pasti itu dari Surade.

Esoknya kondisiku sangat lelah sekali, aku enggan mengobrol dengan siapapun karena aku pusing sekali, kurang tidur sepertinya.

Aku bergegas pulang, mandi air hangat dan tidur pulas. Semoga mimpiku banyak lebih indah daripada beberapa hari sebelumnya perjalanan ke Sukabumi.

Waktu itu pakaian mereka basah

Sore itu, udara sangat dingin ketika motorku melaju di depan terminal Cicaheum, hujan rintik telah menjadi teman perjalanku sore itu, tak disangka hujan berubah drastis, mengganas hingga kurasakan percikan air di tanganku walaupun telah terbalut oleh sarung tangan, disertai angin yang membuat penglihatan kurang jelas, karena air hujan yang deras, jarak pandang yang pendek dan yang paling utama adalah genangan air sepanjang jalan Antapani membuat laju motorku tetap dibawah 40 Km perjam.

Mungkin penggalan janji yang membuatku berbasah-basah ria dalam perjalananku ke Pasar Baru, untuk memenuhi pesana ibuku membeli dua paket Coklat pesanannya. Dengan hampir semua kain yang menempel pada kulitku basah dan itu rasanya sangat tidak nyaman. Akhirnya pesanan tersebut beres sudah.

Selanjutnya rute berikutnya ialah Banjaran, sebuah kota satelit di Bandung Selatan, dengan industri dan limbahnya yang memuakkan membuat populasi petani berkurang dan menjadi pekerja pabrik dengan secara tak sadar merusak lingkungannya.

Rusaknya lingkungan di daerahku mulai terasa dengan kualitas air yang berkurang dan seringnya banjir menemani beberapa tempat di Banjaran, ketika aku pulang air hampir menjangkau jembatan di Sasak Dua, sebuah daerah yang harus kulalui jika akan menemui rumahku.

Aku sangat bersyukur rumahku berada di dataran yang lumayan tinggi, karena jika saja di rumahku banjir 10 Cm, mungkin Banjaran dan Bandung akan tergenang dan danau Bandung jilid dua akan menjadi sejarah Bandung kedepannya.

“A, enggal ka Kamasan,” ujar ibuku ketika aku baru sampai di pintu rumahku, aku baru sadar rumah paman dan nenekku ada di Banjaran yang beberapa tahun terakhir menjadi langganan luapan air.

Dengan berjalan kaki dari Ciapus menuju Kamasan, aku ditemani adikku, ternyata kebanyakan warga telah diungsikan ke balai desa Kamasan, aku cari semua keluargaku dan rencananya aku akan membawa mereka semua k rumahku, tak kudapati semua keluargaku. Aku pun mulai cemas, tapi telepon dari rumah menentramkanku. Ibuku bilang mereka semua sudah di rumahku.

Tinggal melihat kondisi rumah saudaraku hanya untuk memastikan kondisinya saja, dengan celana yang sepenuhnya basah oleh arus air aku terus melaju menuju rumah nenekku, di sana ada pamanku yang berjaga, “Sok we uih, mang Amet mah di dieu nungguan beres,” ujarnya, aku pun bergegas pulang di tengah perjalanan pulang ibuku menanyakan kabar rumah aku paparkan, air mencapai lebih dari setengah pintu rumah dan ada pamanku yang berjaga, “Dititipan artos teu?” tanyanya, aku tak ingat bahwa ibuku menitipkan sejumlah uang untuk keluargaku di sana, aku putuskan membeli nasi timbel dan roti bakar, adikku membeli nasi timbel dan ayam goreng dan aku membeli roti bakar.

“Kumaha bumi teh?” tanya ibu penjual roti bakar kepada seorang ibu muda yang duduk disampingku, aku perkirakan demikian karena kemiripannya dengan bibiku yang baru mempunyai dua anak, “Sakedik deui bu,” ujarnya santai, “Sakedik deui kumaha?” tanya ibu penjual roti bakar, “Enya sakedik deui seep bu,” ujarnya santai, “Innalillahi, sing tabah we nya, da musibah mah teu aya nu apal,” ujarnya.

Aku melihat dan mendengar tersebut hanya termenung seolah tak percaya tapi begitulah yang terjadi, di sela-sela menunggu roti bakar siap, kulihat sang ibu muda menelepon, “Kang bumi kakeueum,” ujarnya lirih dan tetesan air mata terurai dan diusapnya dengan kerudung putihnya.

Sepanjang perjalanan masih terngiang peristiwa tersebut. Dan ketika aku menyerahkan makanan dan sejumlah uang untuk pamanku yang berjaga dekat rumah nenekku, aku sempat menanyakan keadaan di daerah selatan, “Wah di ditu mah seueur nu kakeuem," ujarnya singkat.

Semoga saja lingkungan menjadi cerminan atas kesadarannya untuk tetap melestarikan lingkungannya.

Masuk UIN*

Damn! aku masuk UIN setelah satu tahun aku tak meneruskan studiku yang malas dan akhirnya aku masuk juga dan jadi mahasiswa D3 MKS yang kupilih dengan alasan mungkin manajemen yang berbau syariah bisa menjadi ilmu yang bermanfaat, mungkin. Namun mungkin itu semakin tidak jelas ketika aku mulai Ospek atau istilah di UIN itu ta’aruf. Damn! universitas yang sangat kompeten dengan menempatkan mahasiswa yang banyak dalam aula berdebu tebal yang tidak mencukupi kapasitas, dengan para petugas yang katanya bertugas itu dengan enaknya hanya diam ketika mahasiswa lainnya mulai merokok sehingga mengganggu mahasiswa lain untuk bernapas lega dan mereka hanya lewat begitu saja, dan dimulai dengan absen dan diakhiri dengan absen pula ku akhiri ta’aruf tanpa kesan yang baik.

Di awal kuliah aku mulai kembali pusing dengan MKDU yang ditawarkan Universitas karena ada PPKN dalam jurusan manajemen mungkin selintas berhubungan jika mau menghubungkan PPKN dengan Manajemen Keuangan Syariah tapi rasa pusing itu ku hilangkan sejenak dan mencoba berpikiran positif saja, mungkin dari hal itu ada hikmah yang dapat diambil, dan ternyata memang ada hikmahnya ternyata mata kuliah PPKN hanya mengajarkan Pancasila dan memaksa kami untuk membuat makalah yang menerangkan tentang UUD 1945 beserta hasil revisinya dan beberapa sila dalam Pancasila. Damn! ternyata sangat relevan dengan jurusan yang aku pilih.

Lama sudah aku habiskan waktuku di UIN hampir empat bulan kurang aku belajar dan itu menjadi satu semester dalam pembayaranku pada saat registrasi, damn! sangat seimbang satu semester dengan pengurangan dua bulan lebih yang menjadi libur panjangku yang kuhabiskan dengan hal yang tak terlalu penting dengan mengikuti FDBS se-Jawa Barat (Festival Drama Basa Sunda se-Jawa Barat) dan akhirnya aku hanya sebagai peserta saja, kesal memang namun pagelarannya lumayan juga.

Damn! semester duaku diawali dengan pembayaran registrasi ulang dan kuliah yang membosankan dengan tugas dan tugas.

*dibuat sekitar dua tahun yang lalu untuk syarat artikel masuk jadi anggota Suaka, sekedar pengingat sejarah melawan lupa

Praktikum Fatamorgana

Suasana kampus sore itu terasa lengang, tak seperti sore-sore lainnya. Tapi apa yang terjadi ternyata masjid di seberang Student Centre diisi oleh banyak mahasiswa, prasangka yang pertama datang adalah adanya kesadaran mahasiswa yang meningkat secara signifikan dalam menjalankan ritualnya di rumah tuhan tersebut.

“Maneh sakelompok jeung saha?” ujar seorang mahasiswa menanyakan perihal praktikum yang telah lama jadi dilema mahasiswa. Anggapan dilema bukannya tanpa alasan yang jelas, satu sisi pengembangan mahasiswa yang berujung pada keilmuan yang mumpuni, di satu pihak penyelenggara sering tak mengerti dan menyamaratakan semua mahasiswa. “Semuanya harus ikut!” ujar Pembantu Dekan.

Sangat aneh memang dirasakan oleh mahasiswa yang harus bayar mahal ratusan ribu hanya untuk mengisi absensi dan sang dosen memberikan nilai A untuk 3 kali pertemuan dengan dalih sang mahasiswa telah memenuhi kriteria yang ada. Bahkan seorang teman memberikan cerita buram tentang praktikum ia hanya membayar 45 ribu dengan 3 kali pertemuan hingga akhirnya bersama ke empat temannya bertitelkan A pada nilai praktikumnya.

“Memangnya kami orang bodoh!” ujar seorang mahasiswa ketika Audiensi dengan rektorat. Dan hal itu diucapkannya secara berapi-api, ia tak rela temannya terus menjadi korban Praktikum yang dirasakannya tidak adil berlaku di universitasnya, alasan tak adil memang terdengar kuat banyaknya dengan uang yang masuk pada mahasiswa dengan pembimbing praktikum yang tidak semuanya kompeten dan amanah sangatlah tidak berimbang. Satu kelompok diisi oleh belasan atau kurang mahasiswa sedangkan sang dosen hanya mendapatkan kurang dari seratus ribu untuk praktikum tersebut dengan tuntutan belasan pertemuan dengan kelompok bimbingan praktikumnya.

Sedangkan apakah yang didapat oleh sang mahasiswa ia hanya mendapat sebuah buku mirip sejenis makalah fotocopy-an dengan daftar absensi, sangat beruntung mahasiswa yang mendapat dosen yang baik, kompeten, dan amanah. Tapi apakah semuanya begitu, siapa yang bisa menjamin, bahkan pemimpinnya saja tidak mengenal staff–nya yang ia temui setiap upacara di depan kampus kami.

Memang sebuah penyalahgunaan dimulai dengan sistem yang salah, ternyata penyalahgunaan dana dimulai dari yang memungut dengan tidak jelas salurannya bahkan untuk laporan keuangannya saja tidak diketahui. Siapa menabur angin ia akan menuai badai mungkin jadi analogi yang baik bagi para pelaksana amanat, nanti akhirnya akan dituntut untuk mempertanggungjawabkan hasil kerjanya, tinggal mahasiswa yang diberi amanah oleh rakyat untuk merubahnya jika mahasiswa menghendaki kebenaran universal.

*dipublikasikan dalam blog mahakirisiswa.blogspot.com, sebagai pengingat kejadian awal semester dua dengan praktikum yang selalu menjadi ilusi yang dipaksakan nyata oleh para dosennya.

Tersesat teman di Syariah

Oleh Godi Rangga Budi Anshary

Ramadhani terlihat sedih, merasa sangat kecewa, karena dikhianati oleh temannya sendiri, selama kuliah ia merasa mereka adalah teman baik sedangkan mereka menganggap Ramadhani sebagai target dari bai’at dengan iming-iming derajat pahala dan jihad di jalan Allah.

Awal cerita di semester 1 Ramadhani mulai berkenalan dengan Tulip, Melati, Mawar dan Irma red—mereka seniornya di Hima, sedari awal Ramadhani telah akrab dengan Cahaya, mereka mulai berteman baik,

Ke 6 teman ini sering kumpul dan menghabiskan waktu bersama hal itu dikarenakan mereka mempunyai minat yang sama di bidang ekonomi syari’ah, pada awalnya Ramadhani dan Cahaya merasa nyaman berteman dengan mereka, namun dengan seiring waktu ada mengganjal di hati Ramadhani, ia mulai merasa aneh dengan perilaku ke 4 teman barunya. Mereka mulai sering ditraktir oleh Tulip, walau merasa sungkan mereka anggap itu kebaikan sebagai teman, sering menginap di rumah Tulip, dan berdiskusi tentang agama, namun ada yang mengganjal pada diskusi mereka yang selalu mengobrolkan tentang cinta kepada Allah, kepemimpinan , jihad dan dua ayat saja yaitu Al Maidah 54 dan Al Imran 31 walau Ramadhani dan Cahaya mencoba untuk mendiskusikan hal lain tapi ke empat teman barunya itu tetap saja mengalihkan kepada hal kepemimpinan “Pokoknya Allah, Rasul dan Pemimpin dan hal lainnya mah nomor berapa gitu,” ujar Mawar menegaskan. Perasaan itu semakin mengganjal ketika mulai seringnya berdiskusi dengan orang tua Tulip yang mereka kenal dengan bapak Agum, mereka mulai berdiskusi dengan sang bapak hingga mereka mengenalnya sebagai pemimpin di kelompoknya.

Anggapan yang sangat berbeda juga mulai dikenalkan kepada Mawar dan Irma, yaitu menganggap selain kaumnya itu adalah kafir, dan semua pembiayaan yang sifatnya Zakat, infak semuanya harus melalui Tulip bahkan jika tidak punya uang pun ia menyerahkan pakaiannya kepada Tulip sebagai ganti dari uang Infak.

Seorang ustad memberi kabar kepada keluarga Mawar perihal pergaulannya dengan teman barunya di UIN bahwa ia telah masuk ke ajaran sesat, dan seketika itu juga Mawar dipanggil pulang ke rumahnya di Tasikmalaya, ia sempat kaget dan memberi kabar kepada Melati bahwa ia telah diketahui oleh keluarganya “Melati kumaha abi tos kapendak ngiringan” ujarnya di SMS namun Melati mencoba untuk menguatkan Mawar bahwa ia masih tetap patuh dan lebih percaya pada pemimpinnya “Abi mah lebih percaya kepada pemimpin” jawabnya di SMS.

Mawar pun menjalani ruqyah oleh seorang ustad di Tasikmalaya. Hampir seminggu ia menjadi tidak sadar, orang tuanya memaparkan ia seperti yang linglung, “Siga nu linglung kitu, mamah nyarios naon abi ngadangu naon,” paparnya dan selang dua hari pada awal diruqyah perutnya keras dan seperti orang yang hamil tua, sering kali ia muntah dan berak darah sehingga beberapa hari wajahnya pucat selain itu ia sangat trauma dengan semua benda yang berhubungan dengan teman-temannya itu bahkan hingga sekarang ia tidak ingin untuk berdiskusi tentang masalah agama.

Ternyata ia bukan orang pertama yang telah diruqyah, Irma memaparkan bahwa ia telah pertama kali diruqyah dan selama 3 hari mengalami hal yang hampir sama dengan Mawar, namun karena ia telah bercerita kepada teman sekelasnya dan berita pun menyebar di antara temannya tersebut dan Tulip dan Melati pun mulai dikucilkan di kelasnya dan mereka pun mulai saling menjauh.

Mawar memaparkan motif dari pertemanan ialah kedok belaka yang sebenarnya hanyalah untuk mendapatkan derajat pahala karena bisa membawa teman barunya kepada kaumnnya, red—istilah bagi yang telah dibaiat. Dengan membawa teman barunya dan membaiat di depan pemimpin menjadi suatu kebanggaan dan perasaan yang luar biasa bagi Mawar namun ketika sadar ia telah menjadi sesat ia pun menyesal dan meminta maaf kepada target-target bai’atnya. Hal lainnya Mawar disuplai sejumlah makanan selama 1 setengah tahun, sehingga ia beranggapan selama kuliah ia telah diguna-guna selama disuplai sejumlah beras dan makanan oleh Tulip yang membuat perutnya menjadi keras selama diruqyah.

Motif lainnya ialah pembuatan keluarga, dan memaksimalkan fungsi keluarga sehingga sehingga untuk kelompoknya disediakan pasangannya oleh pemimpinnya “Sok bade Ridwan atawa Rijal?” papar Mawar ketika ditawari pasangan hidup oleh bapak Agum, dan mengajak kepada kaum mulai dari keluarga misalnya yaitu adik, kakak, dan saudara-saudaranya bahkan adik Tulip yang semester 3 pun mulai berprofesi seperti Tulip di jurusan yang sama.

Motif lainnya ialah melalui organisasi seperti UKM, himpunan intra kampus maupun ekstra kampus dan Senat mahasiswa, bahkan hal itu disengaja untuk dimasuki, sehingga penyusupan tidak diketahui, pernah Mawar mengajak salah seorang anggota senat yang ternyata sangat mengetahui tentang sindikat ini sehingga ketika diskusi dengan bapak red—sebutan bagi pemimpin kekelompok, target tersebut malah berdebat sengit dengan bapak, “Jadi we abi dicarekan, trus ulah ngajak jelema eta deui,” ujarnya.

Cara-cara yang digunakan kelompok ini, terbilang sangat halus, misalnya ketika Mawar dan Irma mulai berkawan dengan Tulip dan Melati dimulai dengan pertemanan yang dijalin oleh pelajaran, awalnya Mawar dan Irma dipuji dan dikagumi oleh Melati dan Tulip, sehingga mereka mulai berteman dengan baik. lain halnya dengan cara Tulip menggaet targetnya kepada setiap lelaki yang ingin kepadanya ia selalu mengajaknya ke rumahnya dan di bai’at oleh bapaknya sebagai pemimpin dari kelompoknya itu. Sedangkan target utamanya ialah kaum adam karena adanya kekuatan lebih yang dipunyai dari pengaruhnya kepada keluarga yaitu sebagai pemimpin.

Sedangkan untuk penguatan secara internal dilakukan pertemuan secara mingguan dengan pemimpinnya dan pertemuan bulanan dengan kaumnya, pertemuan itu dilakukan di sebuah villa di daerah Cileunyi, yang tempatnya hanya mampu dilalui oleh satu mobil, yang menarik setiap kali pertemuan selalu dilakukan dengan sembunyi-sembunyi sehingga tidak menyiratkan adanya kegiatan di villa tersebut.

Selama ia menjadi bagian dari kaum itu ia tidak diperbolehkan untuk mengetahui siapa pemimpinnya dengan alasan jika sudah kuat akan melaksanakan makar dan mendirikan negara islam, yang ia ketahui ialah bahwa kelompok itu berafiliasi dengan yayasan ZAKARIA yang mengelola hewan Qurban di daerah Soekarno Hatta, sehingga ia menyimpulkan bahwa organisasinya itu ialah NII KW 8, bahkan ketika sadar Mawar memaparkan ia telah merugi sangat banyak “Ah seep nanaon we ayeuna mah,” ujarnya.

Perihal sindikatnya sangat besar hampir di setiap universitas besar ada, mulai dari D3, S1, S2, dan S3 sedangkan di UIN sendiri Mawar memaparkan bahwa yang ia ketahui hanyalah 10 orang termasuk ketiga temannya mayoritas berada di fakultas Syariah dan beberapa di fakultas lain, untuk staf dosen sendiri ia mencurigai salah satu dosen wanita di fakultas Syariah, sejumlah orang itu hanya yang baru ia ketahui sedangkan kemungkinan jumlah yang sangat besar bisa saja terjadi, oleh karena itu ia sangat jarang sekali ke kampus karena takut. []godi

*dibuat untuk majalah SUAKA, tahun garapan 2009, namun tidak jadi terbit dikarenakan beberapa hal, semua nama disamarkan karena narasumber minta namanya disamarkan.

Memulai dengan Tulang Lunak

Oleh Godi Rangga Budi Anshary

Mereka memanggilnya Ahmad, mahasiswa D3 MKS sangat gemar dengan ekonomi berbasis syariah, hingga ia pun mencoba untuk praktek lapangan di masa kuliahnya itu.

Beberapa bulan yang lalu ia mulai berbisnis dengan makanan, yang sekarang digelutinya ialah Ayam Tulang Lunak (ATL), walau masih bersifat Franchising atau memakai produk orang lain, namun ia optimis kalau bisnis tersebut akan sukses. Karena statusnya sebagai mahasiswa maka ia memilih mahasiswa sebagai target market pilihannya. Menilik strata mahasiswa yang selalu dinamis ditambah lagi kekuatan yang dimilikinya yaitu dari makanannya sendiri yang memiliki banyak kelebihan, disebut makanan restoran atau menengah ke atas yang disajikan dengan harga yang mampu diserap setiap elemen masyarakat.

2009 frontlinenya memang ayam tulang lunak terjangkau dan memiliki banyak kelebihan, mulai dari rasa, pengemasan, dan yang paling penting gizinya terjaga apik. Ditunjang dengan tempatnya yang strategis yaitu di depan Salon El Twenty di jalan AH Nasution yang sangat dekat kostan mahasiswa UIN dan lalu lalangnya masyarakat setempat.

Perjalanan bisnisnya yang telah jalan selama tiga bulan memang banyak lika-liku terutama pada perjalanan akademiknya, “Awalnya mah mengganggu banget, sekarang juga sekarang juga masih mengganggu” ujarnya.

Walaupun ayahnya tidak merestui sepenuhnya, namun niatnya tetap berjalan hingga tiga bulan ini ia telah membuat lapangan kerja bagi seorang mahasiswa, kalau pada awalnya ia sebagai pengelola di kedainya sehingga “Setiap jam 12 yang dipikirin cuma ayam, tenda, dan nasi” ujarnya mengingat sewaktu masih menjalankan kedainya namun ia kini berjalan sebagai pengawas dan investor.

Walau ia mengaku belum mengalami keuntungan yang berarti dan masih dalam masa penjajakan pasar, ia sangat bersyukur dengan usahanya, “Bertahan pun sudah Alhamdulillah” tegasnya.

Untuk terakhir kalinya ia berpesan “Berusahalah, perjuangan memang sulit,” pesannya, sekarang siapa lagi yang berminat menjadi wira usahawan muda kampus UIN selanjutnya? []godi

*dibuat untuk majalah SUAKA, tahun garapan 2009, namun tidak jadi terbit dikarenakan beberapa hal

Perjalanan di sore hari

Siang itu panas matahari terasa sangat mengganggu kegiatanku untuk mencuci pakaianku yang beberapa hari ini telah menumpuk, lalu aku putuskan untuk mencuci pada sore harinya.
Panas matahari mulai tertutup awan, tanpa terasa mendung mulai menemani kegiatanku mencuci, “Mamah ka Ema heula, engke jemput nya!” ujar ibuku padaku, karena beberapa hari ini aku tak sempat untuk meniduri kasur di kamarku sehingga aku tak tahu akan kabar nenekku.
Sehabis mencuci adikku merengek untuk segera menghidupkan motorku Shogun F 125, “Sekedap can beres, tinggal dipoekeun,” ujarku, walaupun mungkin hujan akan menemani pakaianku tapi tak aku tak tahu akan hujan jam berapa soalnya, jika enunggu hujan turun mungkin aku akan menyesal jika tak membiarkan pakaianku berada berjejer di kabel hitam pinggir rumahku.
Sehabis menitipkan pakaianku yang masih basah, aku bergegas menaiki motorku setelah beberapa kali usaha yang membuat kakiku pegal, akhirnya motorku hidup juga, “A, abi di payun nya,“ rengek adikku Bella, adikku yang berumur delapan tahun yang kadang kala sangat menjengkelkanku, karena sifatnya yang tak mau mengalah.
“Ulah, sadayana di pengker,” ujar adikku Manik, adikku yang pandai sekali merayu hingga kadang kala aku tak terasa memberikan uang seribuan karena melihat mukanya yang memelas.
Dalam perjalanan, “Nik bade dimana miceun Bella teh,” ujarku menggoda adikku yang dari awal perjalan diam saja, “Eta we di solokan, “ujar Manik, “Ah alim engke bisi pendak jeung rerencangan Anik,” ujar Bella membela diri.
“Saha Bel?,” tanyaku, “Ih jiji, hideung buluan, trus bau, buntutan,” ujar Bella, mungkin yang dimaksud adalah tikus, “Ah sanes ketang eta mah rerencangan sakelas Bella,” ujar Manik menimpali, “Sanes ketang eta mah rerencangan Dede, Dede mah kelas A nu eta mah kelas B,” ujar Bella membela diri, aku hanya tertawa mendengar tingkah adikku yang saling menimpali dengan hal yang tak perlu bahkan membawa-bawa anak tetangga, Dede kami memanggilnya padahal namanya Arham Sadidan, kadang tingkah polos dari anak kecil seperti melihat indahnya pertunjukan tanpa naskah.
Dalam perjalanan motorku hanya mencapai kecepatan maksimal 30 Km per jam, karena kurasa jarak sangat dekat disamping itu aku rindu mendengar ocehan adikku yang tak begitu penting menurutku hanya berkutat pada alamat tukang baso tahu yang tadi aku lewati, dan keluhan Manik karena Bella jarang mau membaca.
Sesampainya di rumah nenek ternyata ibuku telah pulang dan kami pun pulang setelah beberapa menit Adzan Maghrib berkumandang.

Sabtu, nonton dangdut

Sabtu kemarin merupakan hari yang terasa lumayan ganjil, bukan maksud menyalahkan orang tuaku yang mengajakku untuk mengikuti sebuah seremonial syukuran pernikahan kerabat, namun hiburannya itu yang memmbuatku tak habis pikir apa bedanya pendidikan dan hiburan yang mempunyai agama dengan yang bernafsu akan tontonan syahwat.

Siang itu hari yang lumayan melelahkan, bukan menyalahkan hari sebelumnya yang menguras banyak tenaga, tapi hari itu aku menolak untuk menggunakan sepeda motorku, bukan alasan karena rantainya yang mulai longgar atau bensinnya yang disimpan biar irit, tapi perasan ini menolak untuk menggunakan kendaraan, lebih baik untuk berjalan kaki menuju rumah nenekku sembari menuntun kedua adikku, namun sayang rasa capek itu bertambah, ketika adikku yang bungsu minta digendong hingga beberapa saat sampai di rumah nenek.

Ternyata bukan hanya ibuku dan nenekku yang akan berangkat menuju tempat syukuran tersebut, keluarga besar pun ikut serta.

Akhirnya satu Angkot penuh dengan keluarga besar kami, dan sesampainya di tempat syukuran kami disuguhi speaker besar di pintu masuk, terasa ganjil mengapa yang jaga daftar tamu bisa kuat, ternyata tidak begitu, "Teh nyungkeun souvenirna dua," ujar ibuku, ia menjawab, "Da atos lami bu, mangga linggih," ujar wanita penunggu daftar tamu tersebut. kontan ibuku dan sekeluarga yang sedang menulis nama di daftar, tersenyum simpul, "Sugan teh kuat, apek teh si eneng katorekan oge." ujar nenekku, yang berada di sampingku.

Karena tak kuat akan suara lagu dangdut yang keras, kami sekeluarga berada paling ujung tempat syukuran tersebut, ternyata berbeda dengan keluargaku yang lain, pamanku berada paling depan dan melihat sang penyanyi berlenggak-lenggok, "Cik atuh mikir geus aya urang," ujar bibiku, kontan aku terbahak-bahak melihat pamanku dimarahi istrinya, "Salaki seneng teh ulah we," ujarnya singkat.

Memang terasa aneh, adegan yang terbilang vulgar, busana yang minim, mengucap salam, berlenggak-lenggok di depan para suami, anak kecil. Tapi itulah yang terjadi untuk saat itu , dan sangat sayang sekali ketika orang tua yang membimbing anaknya dengan pendidikan dan hiburan yang tidak refresentatif untuk masa depan sang anak, saya sendiri paling menyayangkan ketika beberapa anak kecil digiring oleh para orang dewasa untuk ikut berjoget di panggung bersama sang penyanyi.

Akhir kata rasa kesal ini hanya bisa tertuang dalam beberapa kalimat, semoga pendidikan dan hiburan menjadi lebih baik di hari esok.