Senin, 25 April 2011

Pergi ke Sukabumi

Pagi telah Nampak di sekre SUAKA, semuanya terang benderang dan untuk hari ini ada suatu tempat yang harus aku datangi, sebuah tempat yang hanya kutahu namanya saja, tentang jarak dan lain sebagainya aku tahu hanya dari sebuah alamat di layar komputerku ketika aku mengisi waktuku dengan melihat-lihat design.

Kangen juga setelah lama tak jumpa, kudapati kabar ia akan menikah, 27 maret ini, ya itu dua hari yang lalu, meskipun aku tak mengenalnya secara lebih baik, aku harus sempatkan untuk datang. Entah mengapa?

Beberapa suara yang tak asing terdengar keras dari handphone ku yang telah lama ini menemaniku,
“A, sanes bade ka sukabumi,”
“Muhun mah, sigana mah langsung angkat we,”
“Uih heula we, acuk darekil pan teu uih ti kamari,”
“Muhun atuh,”
Dan akupun segera bergegas, kuda besiku telah hangat di depan pintu sekre suaka.
“Mic kumaha adeuk moal?”
“Sok we, salam we ti urang jeung barudak SUAKA,”

Banyak sekali maaf untuk miko, kalau saja, pegas di motorku lebih baik dan bannya pun tidak segundul sekarang mungkin kau akan kuajak bermain-main di kota Cianjur dulu.

Tak berselang lama aku telah sampai di rumahku, dengan persiapan sebuah kado berbingkai kuning, aku telah siap untuk berpacu menuju Sukabumi, sepanjang perjalanan yang aku pikirkan adalah menerka-nerka bagaimana perjalananku nanti, entahlah?

Tak sadar aku telah melewati beberapa tempat, aku ternyata melewati tujuanku, aku masuk terlalu jauh di kota Cililin, pantas saja aku tak mengenal daerah ini, seolah asing akupun bertanya pada penduduk sekitar,

“Pa dupi jalan ka Cianjur ka palih mana?”
“Ka palih dieu tiasa, atawa ka cimareme tiasa, ngan ka cimareme mah uih deui, dupi ujang timana?”
“Ti banjaran pak, dupi ka ditu arah kamana pak,?”
“Kaditu mah ka Cililin keneh, mun ujang teu apal jalan mah mending kanu apal we jang, hariwang bisi nyasar,”
“Mun ka Cimareme tebih deui teu kang,”
“Mun apalna ka Cimareme mah mending ge ka Cimareme deui, da kaditu mah jalanna kudu nu apal bisi nyasar, ngan resikona kudu malih arah,”
“Muhun atuh pak bade ka Cimareme we heula,”

Ternyata lumayan jauh perjalan yang ditempuh, dan jalan yang aku kenalpun telah ada di depanku, dan Cimahi akan aku datangi beberapa menit lagi, ternyata setelah tol hampir satu jam lebih aku menempuh perjalanan sejauh seratus meteran, macet parah.

Pembukaan Robinson telah memacetkan jalan yang ada di tempat tersebut, terlebih lagi hari ini hari minggu, yang tertera itu ada Annisa Bahar dan Juwita Bahar, ternyata acara dangdut telah membuat lalu lintas ikut berdangdut ria, mungkin itu prasangkaku saja ketika melihat banyaknya polisi yang hanya menatap panggung dan memainkan periwitnya.

Sesampainya di Cianjur, kenangan lama mulai teringat kembali, dan kau tahu aku rindu kota ini, banyak sekali tempat-tempat yang aku ingin singgahi di kota kecil ini, dan tak lupa yang menurutku suatu yang penting. Makanan dan yang pertama aku tuju ialah kelapa muda di pinggiran trotoar, ah nikmat sekali.

Langit mulia menghitam ketika ketika kupacu ke arah Sukabumi, semoga tak hujan, aduh pasti basah.
Plang Gegerbitung membuat aku menghentikan niatku menghubungi temanku di Sukabumi, dan segera aku fokus pada alamat yang aku tuju, dan aku tak akan lupa alamat ini, desa Cisurupan Cijurey, Gegerbitung, Sukabumi dan itulah yang tertera pada memo di handphone ku.

“Pa dupi Cijurey kapalih mana?”
“Teras we jang, paling ge dua kiloan deui,”
Dan yang paling membuatku ketus, ialah aku bertanya itu telah ketiga kalinya aku dengar jawaban “Paling ge dua kiloan deui,” dan yang paling parah pertanyaan yang keempat menjawab
“Teras we jang paling ge dalapan kiloan deui,”
“Aduh Risna jauh pisan lembur teh,”
Setelah lama perjalanan tak aku lihat janur kuning, akhirnya aku temukan juga,
“Pa dupi ieu resepsina Risna Rubianti,”
“Sanes jang, ieu mah neng Astri,”
“Tapi leres pa ieu Cijurey?”
“Leres,”
“Dupi aya nu nikahan deui, didieu?”
“Taya jang, cobi kapalih kulon teras mung teu salah mah aya hiji deui,”
“Dupi eta lemburna Cijurey sanes pak,”
“Sanes jang, bilih lepat mah cobi kalebet we atuh,”

Ternyata yang aku dapati itu benar resepsinya Risna, dan kau tahu acaranya telah berakhir, ketika aku duduk di kursinya, pengantin tak ada dan tamu yang lainpun tak ada,yang ada itu orang-orang sedang berbenah.

Setelah mengisi daftar tamu, aku langsung mengambil alas makan dan mengisi secukupnya, baru saja suapan pertama, seorang pengantin baru menepuk pundakku, dan kau tak akan tahu betapa cantiknya ia, tak lama bertemu dan sekalinya bertemu dalam keadaan yang berbeda pula membuatku serasa aneh melihatnya.

“Gozi kadieu?”
“Nya enya lah kan ieu aya didieu,”

Tampaknya ia kaget juga ada tamu tak diundang datang.
“Nu lain mana?”
“Ke Ratna nuju kadieu,”
“Ok”

Setelah makan aku sempatkan shalat dulu, dan baru aku sadari aku telah menempuh jarak dan waktu yang lama, sungguh perjalan yang tak aku duga.

Tetanggal 5 juni tahun ini

Siang ini langit sungguh indah dengan awan putih yang bersandar mesra dengan latar biru yang menenangkan, namun jika kau tahu di kampusku ini sedang ada kegiatan, dalam rangka refleksi hari lingkungan hidup sepertinya dan itu diselenggarakan oleh MAHAPEKA, namun dari penuturan Amet temanku, tak perlulah aku perjelas ia anak jurnalistik semester 6 sama sepertiku, dari penuturan yang ia paparkan,sebenarnya hari lingkungan hidup itu agendanya tanggal 5 ini, namun karena hari itu hari Sabtu sehingga akan sepi acara sehingga dilaksanakan hari Kamis ini, “Menyongsong,” ujarnya singkat, namun karena aku telah mangikutinya dari pertengahan, maksudnya aku telat mengikuti cara tersebut sehingga yang aku ikuti itu mulai dari pemaparan Baba Icon, seorang dosen di kampusku ini uin, tentunya dengan huruf kapital.

Dalam pemaparannya Baba Icon memaparkan bahwa fungsi lembaga agama terhadap lingkungan kurang mempunyai efek yang signifikan, “MUI hanya memberikan fatwa yang tidak mempunyai makna lebih, sehingga terkesan kurang signifikan,” ketika negara lain bikin fatwa atau sebuah hukum maka berbondong-bondong mereka membuat hal serupa namun semuanya tidak pada substansi yang sebenarnya, kebanyakan lebih mengarah pada keakhiratan, bukan sifatnya yang duniawi, sehingga hasilnya lebih pada hal-hal fiqih bukan pada ibadah, “Buang sampah sembarangan bukan kategori dosa,” padahal ketika mengatakan kebersihan itu sebagian dari pada iman dan ketika kebersihan sudah tak terjaga maka masih adakah imannya jelasnya.

Selanjutnya Baba Icon mewacanakan untuk melakukan gerakan hukuman sosial bagi yang tidak mengindahkan kebersihan, “Klo perlu ada dosen atau mahasiswa buang sampah sembarangan, carekan ku sararea,” ujarnya. Ia memandang bahwa sangsi secara sosial lebih tertera dari pada sangsi yang sifatnya personal.

Terlebih lagi dengan adanya modernitas dan urbanisasi yang cenderung merusak lingkungan lebih membuat manusia tak peduli terhadap tuhannya, “Tuhan tak peduli pada anda, karena anda tak peduli tuhan, dan dunia itu urusan anda bukan urusan tuhan, tuhan udah ngasih peringatan, tetep we ga peduli,” ujarnya.

Lain lagi dengan pemaparan dari kang Dedi, seorang aktifis dari WALHI, kata Amet mah ia itu adik semesternya, “Semester dua jurusaan Jurnalistik” ujarnya, ia menanggapi pada pertanyaan teknologi terhadap pengolahan sampah, “Tak ada teknologi yang lebih sempurna dari pada alam,” ujarnya. Lebih lanjut ia memaparkan bahawa semuanya akan kembali pada tempat awalnya seperti sampah basah maka hanya alam yang dapat berperan, seperti itu juga jika berawal dari pabrik maka ia harus kembali ke pabrik lagi. Plastik.

Ada ungkapan yang menarik sekali dari baba Icon, “Susah sekali melakukan kebaikan dan gampang sekali melakukan keburukan,” membuat sebuah cerminan dari dari manusia apakah lebih modern, tradisional ataukan primitif bahkan jika lebih sakit lagi adalah kategori hewan, namun bagi kita manusia apakah peradaban itu lebih baik bagi kita dan lingkungan apakah hasil peradaban hanya jadi pelengkap kerusakan di muka bumi. Semoga lingkungan kita menjadi lebih baik lagi dengan perilaku yang baik lagi tentunya.

Hari Minggu hujan

Siang hari biru mendominasi langit hari itu, ketika senja malam ingin memakan siang, warna abu mulai menjalar pelan dan pasti, memberikan nuansa redup, jalan Soekarno Hatta terasa lengang ketika hari minggu kujelang, tak terasa aku menunggu di SPBU telah lama, lamanya dari sebelum Dzuhur hingga setelah adzan Ashar berlalu. Dan hujan datang tak menentu kadang membesar, kadang juga rintik, dan kadang juga berangin hingga kulihat banyak orang yang memakai kendaraan tak beratap mulai dari anak kecil, bapak-bapak, hingga ibu-ibu bahkan remaja berpakaian basah dan beberapa memakai baju yang tahan air.

Roda duaku namanya Sogun, kupanggil demikian karena mungkin aku suka demikian sehingga, mirip sekali dengan merek yang diberikan oleh perusahaan Suzuki, Shogun F 125. Ia mulai renta dengan rantai nya yang mulai copot ketika perjalanan berkecepatan lebih dari 50km perjam.

Hari Minggu itu, merupakan hari yang diliburkan oleh pemerintah, bukannya gak tahu alasannya tapi mitosnya kebanyakan mengandung SARA, sehingga tak enak untuk ditulis atau dibicarakan. Minggu itu tanggal 28, bertepatan dengan dilaksanakn konser metal yang kata temanku akan dilaksanakan di Siliwangi, tapi ternyata ada perubahan dan konser itu berlangsung di Saparua. Hari Minggu terasa sangat membosankan karena banyak waktuku hanya duduk bernaung dari rizki Allah yang turun hampir setiap hari, butiran air turun dengan indah, berdansa dengan angin dan mulai menginjak tanah dengan percikannya, namun sayang jika saja permukaan tanah tak kotor maka penampilan itu akan sangat baik untuk diingat, tapi itu kehendak-Nya dan manusia hanya bisa berusaha.

Kuputuskan untuk memacu tunggangan besiku untuk segera pulang menuju Banjaran, sebuah kota satelit yang sangat indah menurutku, mungkin kata indah itu telah terkikis bagi sebagian orang, itu mungkin dari lingkungannya yang mulai rusak, dari kualitas tanah, air dan saluran air yang tak mencukupi lagi bagi rizki yang turun dari langit sehingga menjadi donor air hujan bagi daerah yang lebih rendah di Bandung Raya. “Banjaran aku datang,” ujarku dalam hati, dan pelan sekali aku mengendarainya. Tanpa sadar Bojong Soang akan segera habis kujelang, tapi itu membuatku miris karena beberapa hari yang lalu banyak sekali masyarakat yang meminta sumbangan secara langsung di badan jalan, dan itu membuatku miris, apakah pemerintahnya yang kurang bisa mambuat masyarakat yang yang mapan, atau masyarakat yang bermental lemah hanya ingin diberi tanpa ingin berusaha, memang secara langsung itu telah membuat sebuah kritik kepada masyarakat yang sedang mengalami musibah, tapi jika saja Allah itu adil, maka bukti dari adil ialah bukti dari hidupnya masyarakat tersebut.

Ternyata perkiraan itu benar adanya, mulai dari pertigaan tersebut hingga pertigaan selanjutnya menuju arah Bale Endah pemandangan ibu-ibu, bapak-bapak, hingga anak kecil membawa kardus atau sejenis wadah untuk mewadahi beberapa uang receh yang hadir dalam wadahnya.

Perasaan sedih, tapi memberikan uang receh bukan jawaban yang baik untuk musibah tersebut karena, musibah tersebut sering kali terjadi dan hampir tiap tahun terjadi, solusinya menurutku ialah pemindahan tempat atau pembuatan saluran dan drainase yang lebih baik bagi masyarakat setempat.

Banyak sekali perbincangan tentang bencana di Bandung Raya ini namun tinggal seriusnya masyarakat dan pemerintah untuk memperbaiki keadaan.

Wawancara sama Upi

Saya wawancara sama vokalis BTO [breez the overture] namanya Luthfian Anwar biasa dipanggil Upi


Saya: upi mau wawancara kamu boleh ga?
Luthfian Anwar: boleh, kapan? dimana?
Saya: sekarang aj chatnya bisa ga?
Luthfian Anwar: sok mangga
Luthfian sedang offline
Saya: klo menurut upi keperawanan itu sepeerti apa?
Luthfian sedang online
Luthfian Anwar: keperawanan itu suci dan nikmat, perhiasan bagi seorang wanita, jadi keperawanan harus dijaga dari para maling yg ingin mencurinya
Saya: pi klo keperwanan penting banget ga sih?
Luthfian Anwar: penting banget untuk masa depan seorang wanita
Saya: emang identik untuk wanita gitu?
Luthfian Anwar: kalo menurut saya sih iya, identik juga dgn buah kelapa
Saya: ppi tau ga siapa yang ingin mencuri keperawanan
Luthfian Anwar: para lelaki lah
Luthfian sedang offline
Luthfian sedang online
Luthfian Anwar: lanjut god
Saya: ini pi tau ga jumlah perawan di bandung dan sekitarnya
Luthfian Anwar: ga tau, saya bukan pegawai statistik penduduk, hahaha
Saya: oh, pi klo ngebedain perawan sama engganya gimana caranya
Luthfian Anwar: di colek2 aja, kalo nagih berarti ngga perawan kalo nampar berarti perawan
Saya: kwkwkw itu caranya toh, udah dicoba?
Luthfian Anwar: belum sih, belum ada keberanian
Saya: ada pesan buat yang ga perawan ga?
Luthfian Anwar: jagalah daging atah mu
Saya: klo buat yang perawan ada pesan ga
Luthfian Anwar: buat yg perawan mah pesannya coba dikit gpp asal pake karet
Saya: karet apa pi?
Luthfian Anwar: karet bahagia
Saya: oh, pi ada tips ga buat menjaga keperawanan, ya semacam petuah lah
Luthfian Anwar: tips nya mah ikut jgn keluar malem dan banyak minum air putih
Saya: oh, terakhir, klo cara paling ampuh untuk menjaga keparawanan ada ga?
Luthfian Anwar: tahan nafsu birahi sebisa mungkin dan sholat yg rajin
Saya: wah makasih yah sangat pisan lah, udah mau chat
Luthfian Anwar: sawangsulna :D:D
Saya: eh klo upi masih perawan ga?
Luthfian Anwar: saya alhamdulillah masih
Saya: gud! maksih pisan
Luthfian Anwar: okey


*sedikit absurd

13 January tahun ini

Hari ini, ya tepatnya senen jika pakai bahasa sunda ataupun senin dalam bahasa Indonesia, sedikit tentang kata Indonesia mungkin sebuah kata yang dibangun oleh sub kata lainnya. Sia-sia.

Aku terbangun dari tidur dan ternyata telah lumayan siang juga di kampus ini, ya maksudku di sekre SUAKA tentunya, rumahku yang kedua ini ya di sekre ini. Entah mengapa tadi malam aku memasuki ruangan ini seolah aneh saja, mungkin hanya perasaan ku saja, atau mungkin aku terlalu lama tak masuk rumah ini lagi. kau tahu kabarnya sekre ini akan berpindah tempat Mei esok.

Aku sendiri bagaimana? ya begini saja berkelit dengan masalah dan bertemu dengan masalah lainnya, sepertinya curhat namun aku yakin semua orang hadir dengan masalahnya masing-masing.

Aku mahasiswa yang tak benar menjalankan program akademiknya, tapi itu mungkin hanya anggapan aku saja atau mungkin aku curiga semua orang mengira hal tersebut sedemikian adanya, memang sih kuliah itu penting tapi ada yang lebih penting lagi menurutku yaitu ilmunya sendiri aku juga heran dengan orang yang mengejar titel saja, tapi ilmunya itu bukan refresentasi dari titelnya,mungkin secara tori yang menjadi cerminan dari ilmu ialah tindakan karena frame dari tindakan adalah ilmunya sendiri, jika ia berbicara tentang keadilan seharusnya, tdak akan mencontek ketika ujian berlangsung, atau ketika berbicara tentang tatakrama mungkin ia tak akan berbicara lebih keras dari lawan bicaranya, ataupun mereka yang berbicara pendidikan seharusnya berpendidikan, mendidik, dan menjadi contoh yang baik.

Aku sendiri tak seharusnya menulis sebijak paragraf yang diatas karena secara pribadi belum siap untuk menjadi yang sempurna, tapi untuk hal yang kecil akan selalu dicoba untuk menjadi manusia yang memanusiakan orang lain, berdiri sama tinggi dan duduk sama rata.

Suci juga

Banyak bertanya perihal kesucian, jika benar manusia itu dilahirkan suci, apa yang kemudian membuatnya bernoda, tidak suci lagi, ataukah suci itu hanya nama sebuah jalan? Ah tak penting juga untuk terus bertanya dimanakah Suci berada, kita tinggal jawab Suci itu sedang ada di rumahnya, atau kita terus bertanya suci itu apa, tinggal jawab suci itu empat hurup, diawali oleh s dan diakhiri oleh hurup i, tak sulit namun begitulah adanya jika nalar yang lain menjawabnya.

Namun kata suci sendiri jika bersanding dengan imbuhan ke dan akhiran an akan lebih bermakna lain, menjadi sesuatu yang lebih mempunyai sifat tertentu, dangan artian yang berbeda pula.

Jika di mesjid mungkin akan jadi “jagalah kesucian masjid ini,” sehingga mungkin orang-orang yang bikin masjid ini jangan dimasuki oleh orang yang tidak suci, atau masjid ini hanya dimasuki oleh orang-orang yang suci saja, atau juga masjid ini khusus untuk tempat yang akan mensucikan diri, ah terkesan mubazir tulisan ini, tapi tak apalah jua dalam rangka mengisi waktu luang.

Jika dalam sebuah ritus agama yang dibawa dari arab, makna kesucian sendiri akan lebih rumit karena kesucian harus selalu senantiasa terjaga, ya maksudnya lima waktu dalam sehari mereka meyebutnya berwudlu. Ataupun hal lainnya yang menyangkut wanita ketika setelah menstruasi ia harus bersuci sehingga ada anggapan klo sedang melaksanakan ritual menstruasi itu wanitanya itu tidak suci.

Namun jikalau melihat pada kosakata bahasa Indonesia yang sedikit absurd ini, kesucian itu lebih pada pada pemaknaan kata sebelum dan sesudahnya, karena dalam kosakata bahasa Indonesia itu banyak kata yang akhirnya bersifat ambigu, mungkin karena bahasanya itu masih baru dibangun sejak tahun 45 dan dibangun oleh banyak umat, ada umat jawa, sunda, melayu, maluku, aceh, batak, dan lain sebagainya.

Kesucian diartikan sebagai kata yang identik dengan kebersihan dan hal-hal yang belum terjamah, mungkin kata terjamah itu kurang cocok karena terjamah apa dulu? Ah mungkin juga seperti halnya kata yang lain jika pemaknaan itu subjektif, yang terus ditularkan oleh individu lainnya sehingga adanya standarisasi pemaknaan yang bersifat kolektif.


*diketik pagi-pagi dan diedit juga demikian dengan hati senang

Tafsir keperawanan

Mungkin kata tafsir pada judul sebenarnya kurang refresentatif karena terlalu berbau agama, tapi itu tak penting. Kata keperawanan itu sebenarnya sebuah tema yang dikasih temenku. tapi apa yang mesti digali dari tema tersebut?

Dari pirasatku kata perawan itu sebetulnya sebuah akronim dan mengalami perubahan penyebutan dan penulisan, jika menilik kata tersebut sepertinya itu ‘perawan’ terdiri dari dua kata ‘pra dan wanita’, memang sepertinya sepele, namun jika melihat sindikasi dua kata tersebut, yaitu ‘sebelum menjadi wanita’, kalo di daerah saya awam disebut gadis.

Kata wanita sendiri mempunyai artian yang spesifik, soalnya identik dengan yang telah menikah, sehingga kadang ada ungkapan kalo sudah menikah pasti sudah tidak perawan lagi, mungkin karena hubungan yang telah legal tersebut sehingga ungkapan tersebut muncul di masyarakat setempat, tapi jika sindikasinya hanya pada organ-organ tertentu mungkin itu sepele, tapi bagaimana kata keperawanan sangat sakral di masyarakat kita.

Kata keperawanan itu identik dengan kesucian, khususnya untuk perempuan karena untuk para kaum adam sebutannya itu keperjakaan. Memang suci gitu? Suci kan nama jalan, ah tak penting. Kaum hawa umumnya menganggap kesuciannya sebagai gadis itu seperti mahkota yang harus dijaga sebagai barang yang sangat mahal, yang ga mahal mah mungkin yang suka dijajakan dengan seenak hatinya, ataupun seperlunya, ya mungkin ia itu perlu makan, dll, atau mungkin yang sudah pasrah dan merasa pantas untuk diambil mahkotanya oleh pangerannya. Ah sudahlah jangan mengungkit mereka yang pacaran mungkin mereka akan menikah, tapi jikalau tak jua pun selamat hilang mahkotanya.

Kalo untuk jaman sekarang perlu ga sih sebuah keperawanan, atau menafsirkan keperawanan itu sesuai yang ia ingini sehingga standarisasi tafsiran ‘keperawanan’ di masyarakat makin absurd saja.

Setelah 52 menit tahun ini

Kau tahu jam berapa ini, saat ini jam 00.52 waktu indonesia bagian barat, kau tahu tahun berapa ini? kau tak akan percaya tahun berapa ini, baru saja lewat satu jam kurang beberapa menit dari 2010, angka setelah itu kau pun tahu.

Kau tahu dimana ini? ah tak penting aku sebutkan bahwa ini hotel sedang dalam pembuatan dan belum sepenuhnya rampung, dan di lantai empat kulihat indah sekali percikan-percikan kembang api di udara, dengan warna yang beragam, dan yang paling menakjubkan itu adalah sementara.

Beberapa saat yang lalu aku berfikir jikalau biaya yang dikeluarkan untuk kembang api yang terjadi tadi di Pangandaran tepatnya ini, dibuat beasiswa bagi para santri ataupun siswa yang memerlukannya, mungkin itu lebih indah dari kerlipannya itu.

Kesemtaraan memang terkesan ironis karena indahnya hanya sementara, sementara yang lain kerja keras untuk mencari harta yang halal dan yang lain mencari harta dengan yang haram, sementara yang lain beristirahat yang lain menghabiskan energinya dengan percuma, sementara yang lain merasa kenyang dengan makanan yang berlimpah yang lainnya lagi merasa lapar dengan rasa lapar yang melimpah, sementara bintang bersinar dengan indahnya, manusia membakar kembang api untuk mengalahkan indahnya kerlipan bintang di langit.

Yang kuingat tahun lalu aku selalu membuat resolusi, namun semua itu tak aku indahkan lagi karena kukira itu tak penting lagi, karena semua telah ada jalannya, dan aku ingin santai saja mengalami hidup ini tak perlu dengan ambisius dengan ambisi-ambisi yang membuat aku menjadi egois, atau mungkin lebih membuat sedih hatiku lagi.

Tahun lalu aku ingin segera lulus namun itu aku tak ingini lagi, karena temanku yang lulus dan mungkin ia itu lebih pintar secara nilai, sulit untuk menjadi pekerja, sedangkan aku lebih berpikir itu membuat pekerjaan bagi orang lain. Ah sialan! ketika aku belajar sosialisme yang menjungjung tinggi akan nilai-nilai sosial di kaum buruh sementara itu aku lebih memilih menjadi seorang kapitalis.

Kau tahu tahun ini aku mendapat beberapa sms, standarlah! sms selamat tahun baru masehi dan ucapan minta maaf, mungkin sepele, ketika orang lain meminta maaf atas dosaya, apakah seseorang bisa memaafkan dirinya sendiri atas dosanya, atau mungkin dosa itu hanya kesemtaraan, seperti halnya hidup mungkin untuk menghindari kesentaraan dengan berbuat kebaikan.

Jikalau ingin membuat sejarah maka buatlah sejarah yang indah, sejarah yang dikenal denga kebaikannya, keindahannya, manfaatnya.


*dibuat dengan hati senang

Jalur Bahasa

Suatu hari adikku yang masih sekolah SD bertanya padaku, "A ari artina mengandung arti jeung berarti artina naon?" awalnya aku sedikit bingung, "Lamun mengandung arti engke bakal lahir saatos salapan bulan, lamun berarti eta artina gaduh nami lain," jawabku singkat.

"Jadi engke iraha atuh lahirna artina?" tanya adikku lagi, "Nya engke we lamun tos waktuna oge akalan ngarti," jawabku singkat.

Mungkin ulasan di atas tak terlalu penting untuk diingat namun yang jadi ingatan di pikiran ku, ada pada bahasanya yang terkesan ambigu yang permanen, bahkan jika melihat ke aturan bahasa atau lebih dikenal dengan EYD, lebih aneh lagi, dan jikalau kau tahu adikku bertanya tentang siapa itu pelajar.
"A ari pelajar asal katana teh belajar?" tanyanya singkat, "Enya meureun," jawabku singkat.

"Lamun pekerja teh tukang kerja, pe tambah kerja, tapi naha pelajar pe tambah lajar, sanes belajar?" tanyanya lagi, karena pusing aku jawab, "Teu apal nik aa mah urang sunda sanes urang indonesia," kau tahu ia itu hanya tersenyum, "Teu apal mah nyarios we atu," tatapnya sinis.

Aduh jadi kepikiran bagaimana bahasa indonesia itu terbuat, jikalau diklaim dibuat pada sumpah pemuda mungkin, bahsa Indonesia itu adalah bahasa yang sangat baru dengan bangsa yang baru juga.
Ada yang sedikit aneh di bangsa kita ini, dalam pendidikan kita harus belajar bahsa inggris dan bahsa daerah tau bahasa ibu sekaligus bahasa para penjajahnya, bahkan dibuatkan jurusan di universitas tertentu.

Secara bahasa saja masih dijajah, bagaimana dengan sistem lainnya?

Aduh umurku makin sedikit

Akhirnya September datang juga, kau tahu bulan apa itu, ya itulah bulan ke Sembilan dalam hitungan masehi, walaupun ukurannya lewat matahari, tapi tak apalah, namanya juga begitu adanya.

Bulan ini, ya maksudnya bulan September maksudku, sekarang ini tanggal berapa ya, oh ternyata tanggal 17 September ketika aku mengetik tulisan ini, ah sungguh membosankan rupanya.

Kau tahu sekarang ini umurku tengah menjalani umur yang ke 23 tahun, dan kau tahu apa yang ada di perasaanku saat ini, aku semakin takut saja jadinya, ya mungkin karena mengingat dosa yang pernah terjadi ataupun hutang yang mungkin belum terbayar karena alfa yang telah terjadi pada diriku, ah mulai membuatku makin takut saja.

Mungkin juga wajar saja sebagai manusia yang terbatas dengan kekurangnnya, tapi dalam umurku yang makin tua ini, mungkinkah amalku itu diterima, dan apakah dosaku kan diampuni ataukah ada skala kepantasan dalam masuk surga, dan apakah nilai skalaku masuk hitungan, karena seringkali aku berpikir ketika mata ini mengajak untuk tertutup di malam hari, “Apakah aku berdosa hari ini, dan apakah hidupku ini rahmat bagiku atau sebuah bencana bagi orang di sekitarku?” ujarku dalam hati.

Aku memang kadangkala menjadi pesimistis ketika hendak tertidur, tapi tak apalah, toh itu mungkin kebiasaan yang sulit hilang.

Ah umur! Kau memang menjadi misteri yang keren, jika aku pengikut pemikir matematika maka aku pasti berpikir hidup itu adalah kalkulasi, dengan rumus, kau hari ini adalah jumlah kau masa lalu dan kau masa depan adalah jumlah kau hari ini.

Jika aku ini ikut pemikir yang selalu pasrah mungkin aku selalu berpikir bahwa masa depan akan terjadi seperti itu adanya, tetap dengan perasaan yang tak ada gairah dan lupa akan masa lalu dan masa depan.

Ah banyak sekali kemungkinan, aku kadang jadi pusing, dan kadang kala hanya menebak seperti apa hati esok dan hanya mengenang masa lalu ketika mata hendak tertutup.

Polisi Tidur

Ah kamu pasti gak ada kerjaan membaca notes seperti ini, soalnya saya juga yang buat dalam rangka mengisi waktu luang saya dalam beribadah, hah sungguh terkesan alim pisan, namun dalam rangka mengisi waktu luang dalam kerendahan hati ,maka saya akan bercerita tentang polisi tidur.

Polisi..... hah ia pasti sangat suka tidur, ah kata-kata yang basi untuk dibaca ....... gimana kalau ia itu terkena racun tertidur selamanya... ah juga sangat konvensional, bagaimana jikalau ia itu mengidolakan seseorang, itu mungkin akan lebih bermakna.

Dahulu kala hiduplah seorang bernama.......... ah jadi pusing klo nulis si Ahmad, takutnya ada bapanya yang namanya Ahmad, atau ia sendiri yang bernama Ahmad, karena saya suka sama Mirza Ghulam Ahmad maka kita sebut sebagai Miras aja, biar sedikit memabukkan.

Miras ini ialah seoranga anak dari keluarga kaya, seorang yang sangat mapan, dan secara material ia itu tak kekurangan apapun, jika ingin makan ia tinggal ngomong mau makan apa, “Aku ingin makan sup kuda nil,” ujarnya, maka para pembantunya segera membuatkannya, namun ia itu menghayal terlalu tinggi, ah sepertinya tingginya langit dan dalamnya lautan itu bisa diukur namun dalamnya dan tingginya keinginanya itu sulit untuk diukur karena sampai sekarang tak ada ukuran dalam nafsu, kan klo panjang mah ada mulai dari milimeter hingga kilometer, tapi klo nafsu masa sebutannya milinafsu hingga kilonafsu, ah sulit juga klo ngomongin ukuran nafsu.

Secara.. Miras itu anaknya pejabat, ya seperti yang diungkapkan oleh Andy RIF mungkin, tinggal tunjuk ini, tunjuk itu tetep aja mirip yang ditunjuknya ga ada perubahan maksudnya… hah!

Aduh mulai bosen, mari kita obrolkan apa yang diinginkan oleh si Miras ini, ternyata ia sangat ingin jadi polisi, maka dalam waktu panjang iapun menjadi polisi, kenapa dalam waktu panjang, ya biar terbaca ada prosesnya, masa ujug-ujug bleg we jadi polisi kan teu rame, singkat kata karena keinginannya yang kukuh menjadi polisi iapun menjadi seorang polisi.

Aduh ternyata ia mempunyai tokoh yang sangat ia kagumi, namanya Malin Kundang, dan kau tahu ia telah mengidolakannya dari ia kecil rupanya, ia sangat terkesan dengan keteguhan hati dari malin kundang sehingga demi prinsipnya ia rela jadi batu dan tetap mengabadikan prinsipnya bersama hidupnya yag singkat.

Tak tahu mengapa ia menjadi mirip sekali Malin Kundang, dan orang tuanya pun sadar dengan perubahan yang terjadi pada Miras, ah mereka menyesal dengan semua kasih sayang yang telah tercurah bagi Miras, apapun yang diinginkannya mereka tepati, bahkan ketika Miras ingin menjadi juri dalan African Idol, merekapun menyanggupinya dan menyewa orang sejumlah benua Afrika untuk berakting dan demi mengabulkan permintaan anaknya.

Miras tumbuh menjadi pribadi yang sehat wal afiat, ia rata-rata tak pernah sakit, Cuma sakit yang sepele saja yang menimpanya, seperti patah tulang rusuk, HIV, batuk meradang menahun, dan sakit itu sangat membuat para orang tuanya semakin sayang padanya. Sehingga mereka tak sadar rasa saya itu telah membuat buta mata Miras.

Ada cerita pendek tentang nama Miras dari orang tuanya, nama itu ia dapatkan ketika berada di apotek ketika mereka sedang mabuk, “HINDARI MIRAS” ujar tulisan di dinding apotek tersebut, karena orang tuanya yang sedang mabuk maka ia berkata, “Ibu nanti jika kita punya anak kita kasih nama MIRAS aja,” mungkin yang dipikirkannya Mira situ sangat disegani dan entah mengapa asisten seumur hidup ayahnya Miras itu menuliskannya, sehingga ketika ibunya melahirkannya kontan diberi nama seperti itu.

Ah sungguh makin kacau saja ceritanya ini, Miras kini telah mencapai pangkat yang lumayan tinggi dari juniornya kali ini, namun karena ia sombong dan durhaka kepada ibunya, kakeknya, bibinya, pamannya, bapaknya, dan tetangganya, iapun dikutuk oleh atasannya menjadi batu, mendengar kutukan itu Miras tak kunjung juga sadar, mengingat ia itu sangat terinfluence oleh Malin Kundang maka ia berkata,”Malin Kundang aku juga sepertimu, tegar akan keputusanmu yang membatu, dan kekal akan jiwamu yang keras,”

Tak beberapa lama ia mencapai komplek yang dihuninya lewat THR yang ia dapat, kemudian dengan ijin tetangganya ia menjadi batu di depan pekarangan rumahnya.

Siapa mau dikata, ternyata karena ia polisi dan membatu di jalan iapun diabadikan oleh rata-rata arsitek Indonesia dalam setiap karya perumahannya dengan sebutan polisi tidur, dan kau pasti jumpa dengannya di setiap perumahan atau jalan-jalan setempat.

Memang terkesan tak terlalu nyambung namun dalam rangka beribadah tolong tersenyumlah.



*diketik dengan jari dan dalam senang hati

Beberapa hari setelah Lebaran

Kau tahu arti dari lebaran, mungkin kau tak tahu dan asal nyebut aja itu istilah lebaran, namun dalam rangka itu aku chat aja, dan beginilah chatnya.
ternyata chatnya belum ada yang nyangut, hah ternyata ada juga,
inilah

Hari Ini
17:19
Windy:
godiii
minal aidzin pisan yah
maafin salah wndy
17:24
Saya:
iya sama2
terus jangan diulangi lagi
17:24
Windy:
iya?
apa?
17:26
Saya:
iya minal aides wal faides
salahnya maksudnya
17:26
Windy:
zzzz
17:26
Saya:
mudik?
17:27
Windy:
enggak uy
eh cetakan soklat!
*coklat
kumaha ih?
msh d wndy
17:27
Saya:
iya ih kamu mah ga bailiki2 wae
17:28
Windy:
hihih
gimana dong?
ntip k yogi aja?
17:28
Saya:
terserah, yang penting cetakannya sehat walafiat
17:28
Windy:
hemmm,hehhe
17:28
Saya:
kamu onlen dimana
17:28
Windy:
D rumah
17:30
Saya:
eh di rumah banjir ga
17:31
Windy:
nggga doong
17:31
Saya:
kapan ada rencana banjirnya
17:32
Windy:
blm tau,,gak pernah berencana soalnya
17:32
Saya:
eh kamu mah
klo banjir uang mau ga
17:33
Windy:
hmmm
halal ga?
17:33
Saya:
halal lah semuanya rupiah, mau ga
17:35
Windy:
nggak ah,,pgn hujan yogi ajah
ahahhahha
17:36
Saya:
klo yogi kan g halal
mending ujang uang receh
17:36
Windy:
ntar dibuat hala, dia kan bisa menghasilkan uang kertas dan receh
17:36
Saya:
kwkwk
kamu kapan kuliah lagi
17:37
Windy:
tgl 16
kpan tah?
yaa tgl segitu pokoknyamah
17:37
Saya:
turut prihatin
17:38
Windy:
heu euh ,,parah
17:38
Saya:
kamu kapan jadi dosen
17:39
Windy:
gamau jd dosen
(ih gelo ngbrol sama km mah)
17:39
Saya:
berarti jd pns
kamu pusing ga
17:39
Windy:
pusing
da huhujanan kmren
17:41
Saya:
eh atuh hujan wae, kamu meureun..
17:42
Windy:
hoh?
17:42
Saya:
kamu huhujanan dari majalaya?
17:43
Windy:
eta pisan!
naha nyaho?
17:43
Saya:
pantes huhujanan
da ka majalaya
win kamu minta maaf sama orang tua kamu ga
17:44
Windy:
iya euy,, uyut diditu soalnya
17:44
Saya:
sangkain teh k c yogi


ah ternyata rada ngaco, dan nanti kapan2lah chat lagi