Selasa, 10 April 2012

Riwayat obrolan hari ini

Godi Rangga

hai!

Sri Rahayu Atmadja

iya,,

Godi Rangga

ini anggota suaka kah?

Sri Rahayu Atmadja

iya tp dulu sih,, skr udh g aktif

Godi Rangga

oh pantes

sangkan teh saha

Sri Rahayu Atmadja

hehe,,

Godi Rangga

ada juga c sri

Godi Rangga

tapi kok beda mukanya ya

heheh

Sri Rahayu Atmadja

hehe,,, yg itu mah sri mulyani

Godi Rangga

iya meureun

kenapa ga aktif atuh

?

sibuk apa sekarang bu haji?

Sri Rahayu Atmadja

sering bntrok,,, jd drpd mnghmbat ke yg lain, sy menonaktifkan diri ,,, hehe

alhmdulillah skr sibuk ngajar sm nyusun...

Godi Rangga

keren!!

klo gitu lebih elegan sih

keren2!!!

sok atuh sing lancar

Sri Rahayu Atmadja

hehe,,, elegan gmn kang?

Godi Rangga

ya itu tadi suaka kan substitusi

primernya tetep kuliah

Sri Rahayu Atmadja

sama aja ah,,, cuma ya sy kurang bisa ngebagi wktu,,, pgnnya sih aktif semuanya kang

blum tercapai cita2 buat punya kartu pers, hehe

Godi Rangga

wkwkwk

santai aja tuh

main2 ke sekre dong

Sri Rahayu Atmadja

malu,, hehe

eh, ini teh kang godi yg bisa pesen tas tea bukan?

Godi Rangga

heheh

kok tau sih

Sri Rahayu Atmadja

iya sy tw dr Iqmah,,, dulu sy pgn pesen tas yg ky punya iqmah. cuma smpai skr blum sempet

Godi Rangga

sip!

kapan2 deh dibuat lagi klo sempet itu juga

nanti klo mau mah dikbarkan

lagi rariweuh

eng

Sri Rahayu Atmadja

siip,,,

sibuk apa skr, kang?

Godi Rangga

biasa aja, layani orderan

semacam halnya konveki

konveksi

Sri Rahayu Atmadja

ooohh,,, keren bisa berwirausaha

Godi Rangga

ya kyakna sih keren

tapi biasa ajah tuh

ya alhamdulillah ketang

hehe

Sri Rahayu Atmadja

akang masih suka ke suaka?

Godi Rangga

kadang kala

klo sempet

suka main kesana

kemarin ada disukusi

lumayan rame

Sri Rahayu Atmadja

ooh,,,,

ya sih pasti rame,,, yg diskusinya kan para jurnalis.. hehe

Godi Rangga

wkwkw

enggga

kemarin mah ngobrolin budaya menulis catatan

sama kronik

Sri Rahayu Atmadja

kronik? apa tuh?

Godi Rangga

itu sejenis straight

news

tapi lebih pendek lagi

Sri Rahayu Atmadja

oohh,,,,

smnjak g aktif di suaka, sy jd jarang nulis. jdnya kaku.... skr mw nulis cerpen aja mampet,,,,

Godi Rangga

sanatai aja, klo pintunya satu paragraf

Godi Rangga

biasanya klo dah masuk gampang buat eluarnya

kelyuar maksudnya

keluar

Sri Rahayu Atmadja

iya sih,,, tp memulainya lbh susah...

Godi Rangga

kayaknya bikin kebiasaan dulu

mencatat

Sri Rahayu Atmadja

iya,, sy pgn mulai nulis lg...

kang, sy off dulu ya, ada kelas lg.

insyaAllah kapan2 disambung lg.

Godi Rangga

sip!

ini percakapan dibuat note ya,

nanti ditag, klo udah bikin tulisan kabari dong

Sri Rahayu Atmadja

gimana mksudnya?

Godi Rangga

ga ada maksud giman2

sekadar pengingat aja

klo menulis itu proses

mencatat aja

Sri Rahayu Atmadja

ooohhh... iya iya...

Rasa KPBS

Hari-hari ke belakang saya kebanyakan ada di rumah, suasana yang tidak biasanya, di pagi hari mengajak jalan-jalan adik saya, dan biasanya jumlah anak kecil seringkali bertambah, soalnya adik saya mengajak saudaranya yang lain, ya maksud saya anak dari bibiku dan para tetangga sekitar.

Banyak cerita dari jalan-jalan kecil bersama para anak kecil, biasanya jawaban mereka itu seperti yang terlihat, "Trian, naha cing namina Ciapus," tanyaku tentang nama kampung ku, "emang kitu," jawabnya singkat, dan begitupun jawaban yang hampir sama dari anak kecil lainnya, "Naha naminya heunte Apus Ci?" tanyaku lagi, "Nya heunteu tiasa atuh, mun kitu mah sanes Ciapus," ujarnya.

Jawaban yang sangat pasti diterima olehku, sering kali saya hanya bertanya kenapa dan sering mencari alternatif jawaban yang sering saya buat sendiri alternatifnya, namun jawaban anak kecil sangat rasional, mereka menjawab sesuai dengan yang teriihat atau pun mereka kenal, ketika jawabannya mereka tak tahu,mereka jawab demikian, berbeda lagi dengan saya atau pun mungkin seperti saya, seringkali menggunakan rasio lain dalam menjawab hal lain, dalihnya ya paralelisasi atau pun analogi.

Seringkali jawabannya pun membuat gelak tawa yang panjang, seperti tadi Bella sedang marah pada saya, dan akhinya demi menyuap kemarahannya saya belikan susu KPBS, setelah sedikit tidak cemberut mukanya, "Bel, ari eta rasa naon?" tanyaku, "Rasa KPBS," ujarnya.

Saya hanya ketawa-ketawa mendengar jawaban yang pasti dari mulut kecilnya, ia sepertinya kurang mengerti KPBS itu seperti apa, tapi menurut sya itu jawaban yang sangat rasional, soalnya pada kemasannya yang paling besar tulisannya itu 'KPBS' dan itu lah mengapa anak kecil sangat misterius, mereka belajar dengan seperlunya.

Banyak dialog dengan anak kecil yang saya ingat selalu, baik itu merupakan ucapan jujur atau pun keluh kesah mereka tentang fenomena sekitarnya, dan saya kira mereka itu indah pada masanya, toh jika sudah besar mereka sudah bukan saatnya berlaku demikian.

*Banjaran, sore hari

Dini hari tadi beliau meninggalkan kami

Tadi dini hari, saya hanya duduk sendirian menghadap layar LCD dan menunggu kantuk untuk segera datang dan ternyata beberapa rumah di arah utara tetangga saya sedang dialunkan talkin oleh anak-anaknya.

Beliau saya kenal sebagai Pa Endi, setahu saya, Endi ropandi, dan itu berdasarakan undangan yang sering saya bagikan ketika kebagian membagikan undangan untuk pengajian atau pun jenis undangan lainnya di kampungku, kampung Ciapus maksud saya, entahlah saya kenal ini kampung, meski pun dikatakan sudah menjadi desa, saya ingin pulang ke kampung halaman bukan desa halaman.

Beliau mempunyai warung yang dikelola sendirian setelah ditinggalkan oleh Ma Anih istrinya yang telah lebih dulu meninggalkan kami, saya kenal beliau pribadi yang ramah, sering kali sewaktu kecil saya diberikan permen kopiko hitam yang manis, ketika mengantar mamah membeli jajanan di pagi hari, banyak sekali ragamnya, dari bala-bala hingga martabak buatan pasar sering kutemui di warungnya, ia pribadi yang ramah.

Seingatku, dulu ia sering bertanya saya kelas berapa dan aku jawab sebisanya, ia tak banyak berkomentar, ia hanya berkata, "Sok sing soleh diajarna," timpalnya, dulu saya sering bermain badminton di halaman rumahnya, soalnya halaman lain di kampungku belum ada yang disemen seperti halaman rumahnya, dan itu menjadi tempat bermain teman sebayaku sewaktu kecil dulu.

Entah sejak kapan saya jarang sekali ada di rumah, dan sekali waktu kutemui ia mulai sedikit pikun, ternyata ia sudah menikah lagi, dan saya tak kenal istri barunya, ternyata warungnya kini dikelola oleh istrinya, dan ia mulai sangat lemah.

Sempat ketika aku membagikan undangan untuknnya, tetangganya melarangku untuk memberikan undangannya, "Sigana mah Pa Endi mah tong dipasihan undangan, karunya bisi capeun," ungkapnya, dan itu aku amini, undangannya pun saya berikan pada anaknya.

Umur memang misteri, begitu pun hari esok, kini ia telah meninggalkan kami warga kampung Ciapus, semoga amalannya diterima di sisi allah SWT.

*diketik sepulang dari kuburan

Terlalu banyak membaca, seharusnya membuatmu lebih banyak menulis

Saya sempat tertegun mengapa saya berikan judul tersebut, sepertinya saya sedikit terpengaruh dengan hukum akumulasi, dengan analogi semakin banyak belajar seseorang akan semakin banyak tahu, atau pun semakin banyak berucap kemungkinan seseorang untuk berbuat sesuatu lebih besar, atau pun semakin banyak membaca seharusnya membuat seseorang lebih banyak menulis.

Banyak alasan untuk menghindar, menyalahkan sifatnya,” Ini kan sudah takdir,” atau pun, ”Maaf saya tidak seperti itu,” atau pun banyaknya kesibukan sehingga tidak sempat untuk menulis setelah lama membaca, atau pun kelebihan menulis dan lupa membaca, sehingga tulisannya hanya akumulasi dari nilai-nilai terdahulu, tanpa adanya penafsiran lebih banyak dari teks terbaru.

Sudah beberapa hari ini saya tidak menulis, entah alasan apa yang saya akan tulis kali ini, banyak hal yang mungkin sangat rasional untuk menjadi alasan untuk tidak menulis di setiap harinya.

Jikalau dulu saya selalu mencatat apa saja yang saya lakukan meskipun beberapa untuk kronik saja, ataupun deretan lagu yang saya pilih dan kemudian saya dengarkan sembari menulis.

Ataupun kegiatan menulis percakapan yang tadi saya buat dengan teman di chat, banyak hal yang bisa saya pilih untuk mengingat hari itu, dan tentunya untuk bersyukur bahwa saya masih bisa menulis.

Sepertinya akhir-akhir ini bacaan saya berkutat pada teks lama saja, perihal ekonomi, agama dan lain sebagainya, sehingga catatan saya hanya berkutat pada teks lama saja, sepertinya saya perlu target, target di tiap hari minggunya untuk menulis sebuah catatan yang akan saya ingat kemudian saya bukukan, catatan sebagai mahasiswa gagal dan penjahit pemula.

Sepertinya saya harus lebih membaca diri sendiri dan kemudian menulis catatan indah yang akan saya kenang, dan jikalau nanti banyak cerita suramnya, semoga menjadi tadzkiroh bagi yang membacanya dan tentunya renungan untuk saya dan orang yang mungkin seperti saya.

*Sehabis berbaris rapi di hari jum’at

Buang lah sampah pada temannya

Pagi ini Banjaran indahnya bukan main, maksud saya tidak main-main indahnya, langit putih dengan banyak awan yang membuat indahnya langit seolah tersapu rapih oleh anginnya, sepertinya sebelah timur dari pandanganku sedikit mendung.

Pagi ini suara indah membuat hari ini semakin indah saja dan aku ingin berolahraga, sekedar jalan kaki ataupun berlari kecil dari rumahku ke tempat lain.

Ke tempat lain maksudku, ya lain tempat maksudku.

Pagi ini sepertinya, tak cukup jika hanya berbekal dua kaki untuk berjalan-jalan, maka aku ajak adikku ikut serta,

"Bella, bade ngiring, urang jalan-jalan ka Soreang," ujarku

"Hayu, tapi kedap abi moekeun heula," ujarnya

Adikku sedang mencuci waktu itu, dan karenanya aku menunggunya untuk beberapa waktu, dan aku inginnya makan pisang aroma, ya pisang aroma yang ada di warung bibiku, Bi Ifat, rasanya lebih enak dalam udara yang dingin ini.

"A, hayu atuh," ujar Bella mengajakku

"Ngiring!" rengek shania

Dan akhirnya aku mengajak adikku berdua untuk ikut berjalan-jalan ke Kamasan untuk mengisi waktu luangnya, karena hidup itu mengisi waktu luang.

Di perjalanan Bella hanya cemberut terus, soalnnya ia kira ke Kamasan akan pakai motor dan perkiraannya salah.

"Tong miceun dimana wae runtahna," Ujarku

Adikku yang selesai makan wafer hanya memegang bungkusnya, ia hanya memegangnya erat.

"A, kamari mah ceuk rerencangan I'a, cenah mun buang sampah kudu pada tempatnya, nya?" Tanyanya singkat.

"Muhun, ari ia kumaha dijawabna?" Tanyaku

"Mun abi mah, buanglah sampah pada temannya," Jawabnya singkat

"Naha kitu?" tanyaku singkat

"Kan sampah mah rerencangan sampah deui," Ujarnya singkat

Ternyata adikku mulai sepertiku, mungkin efek dari banyak pertanyaan yang sering aku pertanyakan yang kadang ia lakukan sebaliknya kepadaku, dan akupun tahu, manusia hanya misteri, begitupun hidup ini, keindahannya adalah misterinya.

Sepanjang jalan, aku pegang tangan Shania, sepertinya aku akan rindu perjalan seperti ini dengan adikku, Bella mulai mau baca koran, walaupun aku harus bayar lima ribu untuk satu koran, dan Shania mulai cerdas dalam berbicara dan bertindak, rasionalitasnya mulai nampak keindahannya.

*Banjaran kala jalan-jalan

banjaran kala panas

siang ini mulai panas, tapi minuman dalam kemasan dingin menmbuatnya tak lebih menjenuhkan, senang sekali adikku yang SD sudah mualai bisa berfikir dengan baik, dengan hitungan yang sepele namun ternyata jawabannya mulai tepat, meskipun waktu yang dibutuhkan itu sedikit lama, dan saya yakin itu lebih baik dibanding dulu saya seusianya, yang hanya bisa bermain-main saja.

"a, naha nya ditulisna bakso, padahal kan disebutna baso, terus mie pan disebutna mi," tanyanya singkat ketika kami diperjalannan pulang dari bengkel.

tampaknbya ia mulai senang bertanya dengan pertanyaan yang singkat.

"duka atuh, saha nu nulisna, eta meureunan nu nilusna nuju hilapeun," jawabku yang sama bingungnya.

dan sebelum gang rumah saya jelang, adikku bertanya lagi,

"a naha nya nu ageung mah sok hilap?" ujarnya singkat

"duka nya ari hilap mah, eta mah kumaha jalmina," ujarku singkat.

aku senang sekali adikku mulai bertanya tentang hal yang mendasar, hal yang kerap kali aku lupakan. lupa karena aku tak menghiraukannya, lupa karena aku ingin itu dilupakan, lupa bahwa aku mungkin pernah ada.

*diketik siang hari, banjaran kala panas

masa depan yang indah sekali pisan banget sangat

tiga tahun lagi jikalau masih hidup akan aku bangun sebuah rumah dengan beberapa pintu dan beragam hal yang akan kamu ingat selalu, bahwa aku pernah singgah dalam lembaran sejarahmu.

dan sekarang pun aku masih belum berhenti untuk masa depan yang mungkin akan aku lewati.

dan jika saja kamu tahu, aku tak bisa jika harus berbicara saja tanpa kau ketahui seperti jelas adanya.

dan sepertinya kata 'dan' tak cocok untuk ada antara kamu denganku.

sekian, aku masih harus mendapatkan masa depan yang indah sekali pisan banget sangat.

Menulis catatan saja tak cukup menyenangkan

Hari ini dompet saya diganti dengan dompet yang baru, yang baru saja saya buat, seperti tulisan ini juga bru saja saya buat, namun entah mengapa dari beberapa hari yang lalu saya tak ingin menulis seperti tiap harinya aku menulis, meskipun banyak cerita yang menarik semisal memandangi polisi yang menilang orang parkir di Indomaret bareng Salman, ataupun berita duka yang datang telat ketika aku asyik memilih bahan untuk sleeping bags, kakekku meninggal hari itu.

Entah kenapa aku bersedih hingga kini, ternyata menulis masih kurang untuk menghilangkan perasaan sedihku ini, menulis tak bisa jadi penawar lupa atas hari itu dan beberapa hari selanjutnya ketika sore harinya bibiku tahlilan, aku segera meninggalkan ruangan berbilik bambu di rumah nenekku.

Sudah empat hari ini aku tak jelas makan dan minumnya, hingga tidur dan memegang gunting pun aku hari ini tak fokus, mungkin aku sedang malas dan masih bersedihatau mungkin aku tak sepantasnya berlaku demikian, aku baru saja memegang gunting lagi dan aku bingung mau bikin apa, akhirnya ketika melihat dompetku yang mulai lepek, sepertinya aku mau buat dompet yang baru, dan mungkin dengan jala akan membuat tampilan yang berbeda.

Aku ingin semua uang yang ada dalam dompetku bisa terlihat, seperti aku bisa melihat dari dalam dan luarnya cita-citaku, dan esok mungkin aku segera jelang dan aku harap esok lebih baik seperti baiknya almarhum kakekku sewaktu masih hidup, semoga ia dalam ridlo Alloh SWT.

Esok aku akan buat label dan mungkin aku akan pindah kuliah segera setelah aku punya bekal untuk mendaftarkanku tentunya.

*diketik sembari senggang

Adele temani saya menulis

saya baru bangun pagi ini, saya tadinya ingin dengarkan lagu hujan dari KOIL, mungkin karena di depan saya itu terlihat mendung, mungkin juga sebentar lagi hujan temani saya menjahit, lagunya indah menemani pagi saya yang indah ini, seperti suara yang membuat saya tahu kalau kekecewaan itu membuahkan karya yang dahsyat pula. tergantung siapa orangnya yang menggunakan rasanya untuk karyanya, someone like you.

meskipun saya tahu beberpa track hanya hasil download dari mediafire, ternyata tetap saja bagus suaranya, adele juga mengcover band yang ia suakai dan kerap kali membawakannya dalam sesi jazz yang berbeda di konsernya, ia membawakan love song dari the cure dengan versi yang berbeda, sepertinya nirrra membutuhkan hiburan seperti yang saya dengarkan ini, sejumlah track yang menyenangkan.

entah mengapa saya ingat nirra, mungkin dari smsnya, semoga ia baik-baik saja.

saya buat nama saya Alm, soalnnya saya sadar mungkin kematian itu harus saya hadapi sebentar lagi, untuk waktu yang tak saya tahu kapan. dan mungkin sebenarnya itu hanya lelucon, karena hidup mu itu senda gurau dan hidup saya itu biasa saja.

sepertinya pagi ini sudah cukup saya dengar tiga track dari adele. dan entah mengapa artis yang satu ini tidak datang ke indonesia untuk Javajazz, selisiknya sih ternyata ia menjalani perawatan pita suara selama setahun jadwalnya akan vakum.

*diketik pagi2 tanpa edit

Mesin

akhirnya saya jadi mesin juga

mesin penghasil uang untuk digunakan lagi

dan hanya mengisi dompetku sementara

seperti halnya mesin yang sering aku pakai

tak lama saya menjadi materi lainnya

menjadi rutinitas, yang kurang aku sukai sekarang

saya hampir menjadi mesin

sepertinya hasrat eksplorasi sudah cukup sedikit memuakkan

meskipun satu sisi materi datang terus

saya mulai takut saya sepenuhnya menjadi mesin

banjaran siang hari, februari 2012

Dibuat dengan lantunan Yellow dari Coldplay

Hingga kini tepat 78 jam tak aku dengar lagi suaramu, suara lembut yang kerap kali terdengar lucu mengalahkan lucunya suara vokalis Olive Tree, indahnya vocal Jonas dalam Symetry dan inginnya aku dengar itu sekarang.

Sekarang aku sedang merindukanmu, rindu segalanya. Segalanya tentangmu, tentang senyummu yang kerap indah terlihat di sore hari dan ekspresimu yang kerap kali aku tak mengerti dengan keterbatasanku.

Malam tadi aku sempat lihat tulisanmu mempertanyakanku tapi aku enggan berbohong dan mungkin aku sedang mengigau tentangmu, mengigau bagaimana nanti aku tanpamu. Sepi.

Sepi mengalahkan semuanya, aku kadang kala suka kesepian, mungkin itu juga yang membuat aku senang bepergian sendirian. Tak mengajak seorang pun, bahkan kamu yang bukan halal untukku.

Bepergian untuk mengisi waktu senggangku sebelum senggang itu kubagi untukmu, seringkali dalam perjalanan seharian penuh aku ingin mendengar suaramu, mengajakmu mencoba kelapa muda yang kerap kali aku cicipi untuk siang yang panas, dan ingin sekali aku ajak cicipi manisnya cendol yang menjadi langgananku ketika aku lewati Otista menuju Soekarno Hatta, begitupun tempat lainnya yang kerap kali aku kunjungi sendirian.

Begitupun aku ceritakan penasaranku tentang hal detail yang kerap aku perhatikan, mulai dari bahan dan bagaimana baik dan buruknya sebuah barang dibuat, dimulai dari bahan itu ada dan bagaimana sebuah barang itu dibuat.

Begitupun dengan bacaanku yang sering aku baca, bagaimana teori ekonomi kapital dalam Das Kapital berjalan, secara menjalar dan sistematis dalam ekonomi. ekonomi yang aku minati.

Aku tahu, aku hanya mengigau, mengigau yang tak mungkin aku tahu esok seperti apa, seperti inikah atau itukah dan esok akan tetap menjadi misteri.

Untuk Esok Hari

Aku inginnya kamu kupanggil sayang atau pun suatu sebutan yang akan aku ucapkan sampai tua nanti menjelang, sebuah sebutan sayang yang aku panggil padamu setiap kamu bangun dari tempat tidur kita kelak dan aku pun demikian, aku inginnnya dipanggil apapun sebutan sayang yang kau berikan padaku, untukku yang hanya dimengerti oleh kita berdua kelak, ketika nanti kita mempunyai sebuah amanah berbentuk bayi dan nantinya aku panggil dia ananda.

Aku tahu aku banyak sekali keinginan yang aku tak sempat katakan padamu, sebuah keinginan yang mungkin kau pun tak akan pernah tahu hingga saat ini, mungkin tali ketakutanku terlalu keras memegangku, sehingga lidah ini kelu jika pembicaraan dimulai dan banyak kata terucap dari mulutku, mungkin jikalau kau sempat, kaupun mendengarkannya. Jika dialog dalam bentuk tulisan aku sangatlah terbatas dan begitupun kamu. Dialog kita hanya berkutat pada hal-hal itu saja.

Setiap kali aku mendengar suaramu di spaekers handphone yang aku pegang, rindu ini sepertinya bertambah dan setelah aku ucapkan have a nice day, rindu itu semakin bertambah begitu pun setiap pagi setelah shalat shubuh aku dengar suaramu, sembari senggang begitupun di lain waktu.

Aku ini penakut, takut karena jikalau nanti ridloNya berubah menjadi hal yang tak terkendali oleh nafsuku, aku ingin sekali bertemu denganmu, namun ketika suaramu saja terdengar olehku, hasrat ingin memilikimu terlihat nyata dan aku tahu itu buhan haknya, dan begitupun kamu tahu itu bukan hal yang halal untukmu.

Aku inginnya kamu tahu, aku sangat suka padamu. Luarnya dan mungkin dalamnya juga aku menyusul sangat menyuakainya hingga kau kupandang sebagai sebuah misteri yang belum terpecahkan, mungkin nanti jika aku berjodoh denganmu, aku bisa memecahkan misteri sifatmu yang sebenarnya, jika kamu marah, jika kamu sedih dan jika kamu takut begitupun aku akan terus belajar menjadi sesorang yang lebih baik di sampingmu dan akan aku buktikan bahwa aku bisa menjadi yang terbaik pilihanmu.

Dulu aku tahu kamu hanya sepintas, namun ternyata penasaran ini mengalahkan segalanya. Aku penasaran dan memberikan ritme yang tak menentu, untuk tahu dirimu ternyata butuh penelitian yang lebih keras dibanding dengan penelitian tugas akhir yang belum aku bereskan hingga saat ini juga. Mungkin penelitian seumur hidup untuk tahu bagaimana gusarnya kamu, dan bagaimana isi dan kosongnya kamu.

Dan mungkin kamu juga akan tahu betapa brengseknya aku dan tahu bagaimana baiknya aku, tahu lebihnya dan tahu lebih banyak dari kekurangannya, kurang dan lebih untuk hidup lebih baik kedepannya.

Aku hingga kini belum punya rumah, jika saja aku sudah siap aku mungkin segera akan mempersuntingmu, namun entah mengapa ternyata aku belum mendapat restuNya untuk mendapatkan rumah sendiri dan mungkin tiga tahun kedepan aku segera mempunyai rumah untuk kita hidup berdua.

Sebuah pintu yang awalnya aku masuki berdua denganmu dan nanti keluar dengan orang yang bertambah seiringnya usia.

Aku tahu aku orang yang tak mempunyai hasrat yang banyak, aku ingin sederhana saja sesederhana rumah kecil dan keluarga yang bahagia dan diridloi oleh Allah SWT tentunya, tuhanku yang maha keren.

Aku inginnya kamu tahu, bukannya bermaksud aku tak punya keberanian untuk mengucapkan maukah kau menjadi pacarku atau hal lain yang mungkin setelah itu, aku akan menjadi rutinitas yang baru untukmu, namun aku lebih berani jika nanti setelah siap, aku ucapkan maukah kau menjadi istriku dan tentunya menjadi ibu dari anakku kelak.

Bukannya aku tak menghargaimu sebagai seorang hawa yang kerap kali menerima keluhku, ataupun ceritaku yang mungkin kau pun tak akan percaya dengan yang telah terjadi. Begitupun aku, kau menjadi misteri untukku dan entah kenapa aku selalu bingung untuk misteri yang satu ini, semoga saja esok hari aku bisa sampaikan, maukah kau menjadi jawaban untuk hidupku.

Aku tahu, aku bukan orang yang cukup baik untuk menjadi pilihanmu, tapi percayalah jika hanya aku ucapkan aku tak sanggup dan katalis kalimat sepertinya tak bisa berbohong untuk perasaanku padamu.

*diketik sembari senggang

Menunggu Adzan Shubuh

Saya masih terbangun sekarang dan disamping saya sedang terbaring mesra tiga sahabat saya, Ojan dengan pulasnya tertidur, begitu pun dengan Yoga dan Miko, mereka berbaris rapi disamping saya. Dan saya menunggu adzan Shubuh tiba.

Di samping kanan saya JAV, sedang melantunkan lagu Hujan, sama halnya menunggu hujan reda, saya masih menunggu adzan Shubuh. Saya ingin shalat Shubuh.

Rasanya hari begitu panjang, dipagi hari matahari bersinar dengan teriknya dan cerah langit menemani saya mendengarkan Battle to Heaven dari Mono.

Dan begitupun rutinitas selalu berlanjut dengan seiringnya waktu, semuanya terkesan rutin dan saya mulai bosan degan rutinitas dan teori yang kadang kala tidak masuk dengan praktek, bagaimana pengertian itu hadir tanpa paktek yang nihil.

Jika memakai hukum akumulasi, manusia akan terus baik jika ditambahi dengan nilai-nilai dan pengetahuan yang baik, namun sepertinya ada variable lain yang mempegaruhi hukum akumulasi.

Begitu dengan hidup saya yang risau, saya seharusnya jadi orang yang baik dan tak usah risau dengan hidup karena Alloh SWT yang maha baik, telah memberikan jalan yang terbaik untuk saya. Dengan rutinitas ini tentunya.

Tapi mengapa masih saja saya merasa risau, seolah ada yang kurang dalam hidup saya, saya kadang kala berfikir apakah saya harus hilangkan kata takut dalam benak saya, namun sepertinya takut adalah tali kekang yang baik untuk saya yang kadang kala tak bisa terkontrol dengan baik.

Sepertinya istilah menulis adalah tempat terbaik untuk menghilangkan penat. Begitupun saya, jikalau sedang risau dan gundah mulai menghampiri sebaiknya menulis adalah menjadi pilihan yang saya pilih setelah mendengarkan alunan musik yang mewakili perasaan saya, dengan begitu saya bisa mengalihkan kerisauan saya dan mulai berfikir lebih jernih.

Saya sering kali bertanya, apakah mungin saya kini karena bacaan saya, ataupun karena teman saya, dan saya hanya bisa menyalahkan pemikiran saya yang picik, saya tak boleh menyalahahkan, karena menurut saya, benar dan salah itu milik Alloh saja, atau mungkin saya telah dijauhi Alloh SWT atau saya yang menjauhi Alloh swt.

Saya mulai rindu degan atmosfir saya dulu di pesantren, seolah dulu saya begitu dekat dengan Alloh SWT, atau mungkin saya telah memberikan jarak untukk Alloh SWT oleh saya sndiri, saya takut kalau bacaan saya telah menjauhkan saya darinya.

Sudah beberapa bulan ini saya tak baca Al Quran, oh alangkah tidak beruntung saya.

Saya harap esok itu lebih baik, dan bukan hanya menunggu pagi saja, Karena esok jika diijinkan mungkin saya masih bisa menjalankan rutinitas saya.

*diketik sembari tak tahu ingin menulis fokusnya apa.

Hammuck

Beberap menit lalu, satu mangkuk mie ayam telah habis, rasanya enak seperti sebelumnya aku pernah makan, tukang mie ayam itu hingga sekarang aku tak tahu namanya, tapi anehnya ia sangat tahu namaku.

Aku tadi memasang hammuck yang sering aku jual, di depan rumah jahit yang aku sering pakai untuk berkegiatan, ya, maksud saya berkegiatan jahit-menjahit, menjahit kain yang nantinya menjadi kain yang lebih berharga.

Sembari makan di atas hammuck yang aku pasang tadi seolah duduk di atas ayunan saja, semakin bergerak, semakin terasa bahwa aku tidak diam, sebenarnya aku tahu namanya hammuck itu dari saudaraku yang PA atau lebih dikenal dengan Pecinta Alam.

Hammuck dalam bahasa Indosesia berarti belaian atau buaian, ya itu maksudnya secara harfiah saja, sedang dalam arti kata lainnya sering diartikan alat untuk bergelayunan, rasanya rancu katanya. Singkatnya, semua orang tahu ayunan, namun ini ayunan bisa digunakan tidur dan beristirahat.

Ketika main ke Jatayu, hammuck yang sering saya buat itu kategorinya hammuck daun, sedang yang lainnya biasanya dibuat dari tali atau yang nantinya seperti jala, dan saya kira, lebih nyaman memakai yang daun saja.

Biasanya saya pakai untuk mengisi waktu luang saja, namun biasanya yang pesan dipakai untuk alat mereka beristirahat ketika menuju pegunungan, dan saya pun telah mencobanya, dan ternyata lebih nyaman daripada harus tidur di alas tanah.

*diketik sembari senggang

rokok tahun ini

Di depan saya itu ada kaleng permen FOX yang telah beralih fungsi menjadi asbak, di atasnya terlihat tiga bungkus Djarum Super isi 12 batang sisa bapak saya, entah mengapa telah lama saya pandangi itu bungkus rokok, seolah-olah saya harus menghitung seberapa banyak asap rokok yang telah mengisi rumah ini.

Saya tahunya dari kecil klo orang tua saya itu suka ROKOK, ya maksud saya bapak saya, karena ibu saya dan anggota keluarga saya yang lain sangat tidak nyaman untuk asap rokok.

Saya juga dulu semasa SD merokok, ya dari bungkus rokok yang dibawa oleh bapak saya di ruang kerjanya dan saya bagikan ke teman-teman saya yang lain, dulu jikalau tak salah mereknya itu Marlboro, atau Dunhill ya? Saya sudah lupa akan hal itu, namun saya ketahui semenjak saya kecil saya tak begitu kenal dengan ayah saya, ia itu kerjanya mengajar di Tanggerang dan semenjak pindah tugas di Bandung, saya mulai tahu jika ia itu ayah saya.

Bapak saya itu seorang pengajar, tepatnya bahasa Indonesia, namun secara naluriah saya tak begitu kenal dengan bahasa Indonesia, bahkan percakapan yang dibangun di keluarga pun bercampur dan secara naluriah juga saya belajar bahasa Indonesia, autodidak.

Jika, dihitung rokok yang telah dibakar oleh ayah saya mungkin sudah sebesar rumah saya, soalnya saya ini umurnya 23, dan sedari kecil saya sudah tahu kalau beliau itu merokok dan enggan untuk berhenti, hingga kini.

Sempat beberapa kali terjadi perdebatan sengit, karena ibu saya dan saya berdebat keras tentang rokok dan bapak saya pun mengadu ke orang tuanya, rumah kami ditinggalkannya. Sungguh ironis, karena sebagai pengajar dan ustad, ia tidak bisa menjadi contoh untuk menerima pendapat orang lain, meskipun itu istrinya dan anaknya.

Saya sangat tidak suka asap rokok hingga sekarang, sangat tidak nyaman dengan asapnya, saya sempat lihat adik saya sangat menderita karena paru-parunya itu bolong dan yang lebih parah lagi, sang dokter menyimpulkan itu penyebab rokok, selama setahun penuh adik saya harus makan obat pahit setelah bangun tidur dan semuanya akibat rokok.

Ayah saya tidak berhenti merokok setahun ini.

Sebentar lagi tahun berganti, dan begitu pun seterusnya, namun poster di kamar saya tak akan berganti, ‘marilah kita bimbing anak-anak kita untuk tidak merokok’ terpampang besar sekali di dinding kamar saya.

Dulu saya lihat teman saya tak bisa bernafas, saya kira itu penyakit asmanya, ternyata bukan, paru-parunya telah rusak, dan mungkin akibat dari rokok yang saya sering kasih dahulu. Saya merasa berdosa untuk hal itu, dan hingga kini saya enggan untuk memberikan uang, ataupun hal lainnya yang membuat kegiatan merokok tetap berjalan, bahkan saya sering berdoa yang merokok mendapat ganjaran yang setimpal atas racun yang mereka tebar, namun bukan maksud untuk keburukan mereka tapi kebaikan yang tidak menghisap asap rokok.

Jika diperhatikan lebih lanjut tak banyak dari rokok, lebih hanya pada devisa, dan lapangan kerja, namun mengingat sumber daya Indonesia yang luas, semuanya bisa dicari alternatifnya. Ya maksud saya memproduksi rokok, bukan jalan satu-satunya.

Saya sering kesal, mengapa teman-teman banyak yang merokok, dan seolah merasa bangga atas kegiatan tersebut, entah mengapa seolah menjadi kebutuhan dan jikalau merokok itu kebutuhan sebaiknya dimakan dengan abu dan kuntungnya.

Semoga tahun besok, ayah saya dan teman saya berhenti merokok.

*diketik dengan senang hati

sebelum ashar, ditemani jet

Saya sering sering aneh tentang pengertian, bukan nya pengertian sepertia ihwal seseorang perempuan diminta pengertiannya oleh pacarnya, bukan pula suatu sikap yang selalu memaklumi, namun lebih kepada pengertian suatu kata, batasan hingga bagaimana dan sepertia apa hal tersebut dapat diartikan.

“Pengertian dari kata ini adalah…..” ungkapan yang saya sering dengar semasa kuliah dulu, bisanya sebelum kata pengertian diawali oleh bab apa ini orang menjelaskan, selanjutnya menurut bahasa artinya ini…. Menurut istilah artinya ini…. Menurut si anu ini artinya…. Menurut si itu artinya ini…. Kesamaannya ini…. Perbedaannya itu…. Dan begitu selanjutnya, proses membedah pengertian, dimulai dari memisahkan tubuhnya dan selanjutnya merangkainya kembali menurut dasar pengetahuan personalnya.

Ada yang aneh kadangkala bagaimana saya memandang ‘arti’ seperti halnya kata ‘mengandung arti’ saya sering mengartikannya sebagai yang mempunyai waktu untuk dilahirkan dana rtinya akan keluar pada waktunya, sehingga ketika sesorang mengatakan “… menganung arti,” sama saja ia berkata itu hanya alasan bukan jawaban, soalnnya atinya akan lahir kemudian, bisa saat itu, bisa kapanpun ia mau, bisa juga itu ambigu dan hanya memberikan kiasan lain atas keambiguannya.

Bahasa memang singkat, bisa juga kompleks, bisa juga terbatas, bisa juga satra, bisa juga seperti yang aku mau, bisa juga seperti yang mereka mau, bisa karena kebiasaan.

Pengertian, menurut saya adalah kiasan saja, hanya meraba hal yang tak mungkin teraba, hanya teori, hanya ada dibun-ubun pemikiran saya, karena yang bekerja di ujung kulit pancaindera itu adalah praktek.

Karena seringkali membaca, saya sempat bingung, bagaimana seseorang berteori tanpa melakukan praktek, seperti halnya orang terus saja bertanya tanpa mencoba, mungkin itu juga yang menjadi kiasan bagi kaum bani sirail untuk keangkuhannya karena tak mau menurut pada nabinya untuk mencari sapi betina.

Apa masih perlu, mengunakan pengertian dalam sebuah kajian ketika pengertian itu hanya terbatas pada pikiran saja, tanpa bisa didefinisikan secara nyata.

Bahasa itu adalah kesamaan persepsi pada sebuah masyarakat? Betul? Jika memang bahasa itu hasil sebuah kesepakatan bersama, mengapa harus ada sifat ambigu pada suatu kata, atupun juga adanya penafsiran lain pada sebuah karya sastra atau juga adanya kalimat yang terkesan rancu atau juga banyaknya pujian ketika orang lain menghinanya.

Pengertaian memang sebuah cara seseorang untuk memandangnya, dan mungkin itulah sebabnya ucapan seseorang akan jadi acuan untuk orang lain mengartikan sesuatu hal dan begitu pula berbagai pandangan tentang suatu hal, terus saja berubah bahkan sampai semakin tidak berubah sehingga pengertianya tersebut menjadi patokan untuk mengartikan sesuatu.

“Klo yang itu dosa, dan yang ini pahala,” kadang kala saya sering dengar banyak orang berkata demikian, seolah-olah mereka itu adalah hakim atas dosa dan pahala, sehingga menihilkan adanya Alloh untuk bab pahala dan dosa.

Saya sering dengar bahwa tidak semua orang yang berilmu itu mengerti akan ilmunya, seperti halnya kiasan ‘lupa’ pada sebuah alasan, semuanya akan tak bisa mengelak lagi, “kamu kenapa tidak….”, dan jawaban paling tidak bisa dijawab lagi, “lupa,” kemudian ketika orang yang mempunyai gelar atas keilmuannya ditanya, ”klo ini artinya apa,” jawaban yang paling tak bisa dielakkan ialah lupa.

Bagaimana seseorang mengartikannya ilmunya, dengan hanya menuliskannya? Sehingga menjadi patokan orang lain, ataupun dengan contoh nyata, praktek?

Kemarin, sebuah mobil hijau bertuliskan PASKHAS, membuat ulah kemacetan yang luar biasa di jalan Gardujati, seolah mereka yang punya itu jalan, apakah karena mereka itu abdi negara yang harus seenaknya pakai jalan dan mereka hanya ketawa-ketawa sedangkan yang lainnya dipaksa minggir, bukan pula cerminan dari abdi negara yang tugasnya mengayomi warganya.

Sepertinya bukan ilmu yang harus diketahui, tapi bagaimana membahasakan praktek atas ilmu tersebut, sehingga ilmu tak hadir di ubun-ubun saja, tapi sampai ke kulit.

*diketik sembari senggang

Ciwidey, bulan Desember

Motor saya telah melaju ke Soreang, tugu bapak-bapak yang bawa bedil juga telah saya lewati, dan udara dingin pun menjadi teman seperjalanan yang asik di Selasa malam waktu itu.

Sebetulnya saya harus di Cibiru namun karena ternyata saya sudah berjanji akan datang, maka saya tidak bereskan lay outan garapan saya dari Miko, kau tahu Miko, ia itu jurnalis mahasiswa dulu, ya sekarang ia sudah lulus dan bekerja di Mizan.

Sebetulnya hanya tinggal cover, iklan-iklan fiktif, dan halaman, dan mungkin jika ingin materi baru, maka silahkan sajaisi, semuanya sudah ada tempatnya, tinggal masukan halaman dan disusun, Miko pasti tahu hal itu.

Karena, hal itu juga saya ke Buah Batu, mengantar orang tua saya pergi ke Cikutra, sepertinya ia ada keperluan dengan BRI di sana.

Sepertinya sore mulai menjelang ketika telepon saya hidupkan, dan terdengar suara merdu di ujung sana, namun beberapa dering telepon lainnya membuat aneh percakapan dan sebaiknya saya sudahi.

Banjaran kami jelang, dan setlah makan dulu di Rengas Condong, perut saya sepertinya sudah nyaman lagi, sebelum sampai ke halaman rumah, saya baru ingat kalau motor saya sudah diisi bensin.

Setelah bermodal ijin dari orang tua saya, saya pergi menaiki motor saya, dan Pasir Jambu saya jelang. Alamat di SMS menunjukkan Cikeurteuw, aneh? Ya itulah ungkapan saya yang pertama, dan ternyata sulit juga untuk dapat alamat itu.

Bangunan tingkat dua, sudah di depan saya, dan saya naiki tangganya, dan terlihat Upi sama GIles sedang memegang mic, mereka mengucapkan selamat datang ke saya dan saya pun menerima selamatnya.

Setelah bersalaman seperlunya, saya pun makan jagung hangat, dan saya berterima kasih untuk yang menyediakan makanan dan minuman yang ada.

Acara itu, hari itu maksudnya, adalah liburannya anak-anak? Eh bukan para peserta teater Bohlam, ya mereka kan telah dibagikan raportnya, sepertinya mereka bosan untuk sekolah dan ingin keluar rumah, meninggalkan rumahnya dan beberapa hari kemudian mereka pulang lagi.

Saya tak bisa lama untuk pegang mic, saya hanya ucapkan beberapa kata selamat yang tidak penting untuk pilihannya, dan karena jika lama saya pegang mic, saya sepertinya akan segera diusir oleh pihak keamanan setempat.

Dan acara pun berlangsung, ada yang nyanyi dan ada juga yang bernafas, ada yang duduk-duduk saja, dan ada yang ngomong terus kayak Giles dan Upi, sepertinya saya harus jumroh untuk menghentikannya, namun saya tak lakukan itu, karena mereka saya kasihani.

Setelah usai, saya harus tidur sepertinya dan malam itu sangat panas, soalnya saya menggunakan SB, dan ketika mereka asik berisik, saya tidur.

Saya mulai bangun ketika mereka ingin tidur namun sepertinya saya tidak bisa, karena waktu Shubuh telah datang dan setelah lama meracau. Mereka akan segera tertidur pulas. Dan saya pun demikian.

Setelah senam pagi pakai doa bahasa arab sekalian berterima kasih kepada Alloh SWT karena telah memberikan Shubuhnya, sepertinya saya harus segera pulang karena ada janji yang belum saya tepati, mengantarkan barang ke Pak haji Arif untuk segera dibordir.

Hujan telah turun dan udara dingin menemani percakapan pagi dan sebelum pulang, saya pamit dulu.

*diketik pagi-pagi

Menentang keren

Kemarin ada pembicaraan menarik di SUAKA, tentang ‘keren’ yang menjadi korban konteks dan dijajah teks itu sendiri.

ke·ren /kerén/ a 1 tampak gagah dan tangkas; 2 galak; garang; lekas marah; 3 lekas berlari cepat (tt kuda); 4 perlente (berpakaian bagus, berdandan rapi, dsb)

Banyak persepsi bagaimana ungkapan keren itu datang, namun Ojan sepertinya terjebak pada bagaimana kata keren terpatok oleh tren yang berlaku, yang pake BB itu keren, yang pake ciput warna-warni itu keren, yang pake highheels itu keren, yang pake rok mini itu keren, dan bagaimana tren mengubah paradigma kesederhanaan itu hancur secara diam-diam.

Saya sekarang mengerti, mengapa Ojan memilih kata tersebut sebagai acuan dari tullisannya, sepertinya ia cemas dan tidak mau kesederhanaan menjadi rusak oleh hal-hal yang berlebihan, dan sikap berlebihan di UIN ataupun di Indonesia menjadi tren yang akut.

Saya artikan keren itu sebagai ungkapan untuk hal yang bukan menjadi kebiasaan awam, satu hal yang lebih dari hal-hal lainnya, satu pencapaian yang ada dalam batas wajar.

Secara tak langsung, saya sering ungkapkan keren untuk hal yang positif maupun negatif, saya ungkapkan keren untuk Hitler dan Fir’aun, karena keberaniannya, walaupun itu salah namun keberanian adalah hal lebih dibanding manusia pada kaumnya saat itu. Bukan berarti saya mendukung keingkaran, namun itu hanya ungkapan saya terhadap Hitler dan Fir’aun.

Saya sering menganggap keren Otong KOIl dan semua bagian dari band KOIL, karena saya suka semua lagunya, bukan berarti saya ingin menjadi seperti Otong atau pun anggota KOIL lainnya, ini masalah karya. Mereka berkarya di jamannya yang berbeda dengan tren yang ada saat itu, metode sampling kala itu belum terjadi namun KOIL berani untuk bereksperimen.

Suatu kelebihan yang berani melawan keinginan pasar menurut saya adalah satu hal yang keren, namun tidak berlebihan, karena semua menurut saya ada batasannya, ketika kata sangat, pisan, sekali, banyak, dan semua kata yang bersanding dengan kata lainnya yang mengindikasikan kata ‘lebih’, menurut saya akan kalah dengan kata ‘maha’ yang semuanya berujung pada Alloh SWT dan saya yakin manusia disempurnakan dengan keterbatasannya.

Begitu pun dengan tren

tren /trén/ n gaya mutakhir;

me·nge·tren a bergaya mutakhir; bergaya modern: muda-mudi dng telepon genggam di tangan ~ dewasa ini

tren diasumsikan dengan kecenderungan, jika itu menurut ilmu statistika, dan jika menurut ekonomi tren dipandang sebagai persilangan antara permintaan dan penawaran dalam kurun waktu tertentu.

Menurut saya tren itu ada rentang waktunya dan semuanya berlaku, syarat dan kondisi, mungkin saja sekarang itu dikategorikan ‘keren’ untuk mereka yang berbehel, berBB, berciput warna-warni, berhighheel, ber apapun, namun itu ada rentang waktunya, karena semua hal itu tergantung kebutuhan dan kemampuannya.

Jika berbehel itu tidak disertai kemampuan akan menyusahkan dirinya sendiri, dan begitupun berBB jika tak punya uang ya selamat mencari uang, ber hak tinggi selamat keseleo, dan hal lainnya.

Saya kira tak bisa memaksakan bahwa persepsi kolektif harus menjadi persepsi personal, karena persepsi itu hadir dari rembukan konsensus.

*diketik siang hari

Teruntuk Reinanissa Pratiwi

Jikalau kau tahu,

Sesungguhnya saya menyesal melihat pipimu harus memerah

Karena tetesan air yang tak lama menetes dari matamu yang lelah

Bukankah kau beberapa waktu tadi ceria itu sempat datang

Jikalau kau tahu,

hidup itu bukan pada angka dan penilaian dalam buku

Hidupmu adalah hidupmu

Dan begitu pun hari esok adalah milikmu sepenuhnya

Sepenuhnya milikmu, dan hanya kau yang bisa merubahnya

Jikalau kau tahu,

Tulisan tangan gurumu, akan jadi sejarah untukmu

Nikmatilah, dan bukan untuk kau sesali

Ketika yang lalu harus berlalu

Begitu pun hari ini adalah milikmu

Hanya milikmu

Jikalau kau tahu,

Kesedihan itu bukan pilihan yang bijak

Bukan sepantasnya pilihan mu yang harus kau pijak

Dan begitu pun esok hari adalah sepenuhnya milikmu

Milikmu sepenuhnya, dan kau hanya tinggal merubahnya

Semoga keceriaan itu datang dengan bijak

Dan kau bisa memilikinya di setiap harinya

Bangun tidur di Banjaran, 25 Desember

Teruntuk Fadlan, Aktivis kampus

Kau tahu Drown? Itu loh judul lagunya The Smashing Pumkins, lagu yang keren pisan! Keren pisan! Saya sangat ingat intro lagu ini, jika waktu itu JAVAROCKINGLAND pas ngundang The Smashing Pumkins, iklannya pake lagu ini, aslinya keren pisan lah ini lagu, eh kenapa jadi ngomongin lagu ini teh, saya kan ingin cerita tentang teman saya.

Saya kenal ia dengan nama Fadlan, begitupun dengan teman-teman yang saya kenal mungkin memanggilnya demikian, cukup fadlan saja, atau mungkin ada panggilan lain yang dimilikinya, maaf saya tak tahu, begitupun dengan panggilan lengkap dari orang tuanya.

Pertemuan kami itu di Garut, tepatnya di sebuah pesantren yang lingkungannya tidak lebih dari dua hektar, semuanya dikelilingi oleh sawah, sehingga kadang serasa ada di sebuah daerah yang terpisah dari lingkungan lainnya, pesantren itu disebuT pesantren Persis No 99 Rancabango.

Rancabango itu nama daerah di Tarogong, itu loh sebuah daerah yang dekat dari Cipanas Garut, dan ketika itu saya tahu itu awal Juni dia awal millenium kedua, santri baru pada berdatangan, sebuah ritus sosial yang menjadi kebiasaan di kalangan Persis untuk meneruskan sekolahnya ke sekolah Persis juga ataupun mereka yang ingin, termasuk saya dan mungkin juga teman-teman yang selanjutnya mengenalku.

Pagi hari yang aneh, ya maksud saya mungkin ini memang yang pertama, kami berjajar dan berbaris, dan berbanjar rapi, yaitu sebuah hari pertama untuk mengucapkan doktrinasi untuk santri takjiziah, ya itulah masa saya melihat rombongan Cicalengka.

Maksud saya rombongan Cicalengka itu adalah Fadlan, Icad, Ahmad dan Hibban, ya mungkin mereka sekeluarga besar sekali sehingga mereka terlihat berjajar rapi, dengan baju krem cerah dan celana cokelat kami mulai berkata bahasa arab yang awal mulanya sangat saya tidak kenal, seolah mantra semua orang hampir menurut kecuali ustadnya.

Fadlan itu orangnya sangat suka untuk berolahraga, ya terlihat soalnya ia sering memakai baju olahraga semisal sepakbola, dan mungkin ia sangat ingat sepatu bolanya yang sangat ia banggakan semasa pesantren dulu, tapi itu dulu, sekarang aku tak tahu jelas apakah ia masih sama, namun dilihat dari ukuran celananya yang besar dan ukuran badannya yang mulai tambun, sepertinya saya sarankan ia kembali berolahraga.

Saya sudah lupa ia duduk di bangku urutan berapa ataupun ia duduk dengan siapa, yang pasti di angkatan kami itu dibagi dua kelas untuk para calon lelakinya, dan satu kelas untuk calon perempuannya, dan aku ikut ke jemaah kelas c, dan Fadlan entahlah? ia masuk kelas mana, aku sudah lupa.

Ia itu masuk ruangan Bukhori, ya maksud saya, karena sistemnya asrama jadi setiap ruangan mempunyai nama dan ruangan yang berbeda pula membuat setiap ruangan tahu siapa teman terbaiknya, dan Bukhori itu terbagi atas 3 ruangan, jika tak salah ia masuk ruangan Bukhori 3, jikapun salah tak apalah juga, soalnya itu kewajaran dan kesempurnaan hanya milik Alloh SWT.

Saya tak tahu jelas tentang kebiasaannya yang baik maupun yang buruk di pesantren, soalnya saya kenalnya sebentar, yang saya tahu ia sangat gencar tentang Isaba, ataupun Ikatan Santri Asal Bandung, mungkin jiwa organisatorisnya sudah terbentuk sejak dari pesantren dulu, hingga ia masuk universitas.

Angkatan saya di pesantren itu angkatan ke 13, kata orang itu sih angka sial, namun pandangan berbeda datang dariku, menurutku, karena aku juga angkatan tiga belas dan bisa lulus, namun temanku yang lain itu angkatan ke 13 setengah banyak yang dominan tak lulus, awalnya aku sangat prihatin untuk itu, namun aku sadar ada hikmah di balik itu, dan Fadlan sangat tahu akan hal itu.

Aku tinggalkan pesantren diawal aku menginjak tsanawiyyah, dan kau tahu, aku sangat berduka akan hal itu, dan mungkin sebagian temanku ada yang berduka, dan mungkin juga mereka ada yang senang karena orang yang selalu menghujat dan mengkritik mereka telah pindah sekolah.

Cibiru terlihat cerah hari itu, ya sadar itu tahun 2007, tahun yang setahun setelah aku lulus au mulai kuliah, atas pilihan sendiri aku masuk UIN, dan hingga sekarang aku belum lulus, dan aku temukan Fadlan sebagi panitia ospekan masa itu dikenal dengan Taaruf, tak kenal maka tak kenalan dan mulai dari itu aku kenalan dengan UIN, baik buruknya adalah rumahku untuk saat itu.

Fadlan itu masuk HMI, itu loh Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus, yang bisa aku pastikan berbuat politik kotor, kayaknya straight ya aku menulis politik kotornya, namun tak apalah, jika ada yang mempertanyakan aku akan jawab sebisa mungkin. Namun aku tak tahu apakah Fadlan ikut politik kotornya ataupun ia akan menjadi susu ditelan nila sebelanga. Entah mengapa aku sangat tidak suka HMI, hingga saat ini pun demikian dan yang paling aku tak sukai adalah kata islam yang dipaksa ikut ke organisasi tersebut.

Jika tak salah Fadlan ikut ke dalam struktur atas di HMI, teman-teman di kampus biasa mengenalnya dengan sebutan hijau saja, bahkan kelakar teman sering menyebutnya manusia hijau atau HULK? Ah itu tak penting, karena Fadlan yang aku kenal itu baik orangnya, atau mungkin juga berpura-pura baik orangnya. Entahlah.

Fadlan sekarang itu ngekost bareng Rivan dan Anggun, teman baik kami semasa di pesantren dulu dan hingga sekarang menjadi teman baik, teman sekosan juga, kosannya juga sangat menjorok ke dalam, ya maksud saya masuk ke dalam beberapa komplek kosan lainnya. Dan itu uniseks.

Oh ya, Fadlan sekarang punya pacar, awalnya saya lupa itu pacarnya, setelah saya ditegur Fadlan bahwa itu pacarnya, saya mulai kembali mengingatnya. Dan saya sadari kelupaan saya. Namanya itu Jewel... apa ya saya lupa, keren kan namanya? disadur dari bahasa Inggris mungkin, dan Fadlan sepertinya nyaman dengannya, semoga menjadi kisah indah di kemudian hari.

Apa lagi yah? Klo ngobrolin Fadlan biasanya tak jauh dari organisasi, demo, pacarnya, pesantren, dan lain sebagainya. Yang pasti semoga Fadlan kembali menjadi anak yang soleh, klo nulis kembali teh asa gimana ya? Seolah ia itu tidak soleh sekarang, namun karena saya tak tahu ia soleh ataupun tidak, maka tak apalah jua.

*untuk Fadlan diketik malam-malam, diedit pagi-pagi sembari senggang

Tracklist sebelum tidur

Di telinga saya sedang berbisik Placebo, “Please don’t die…” ujarnya, memang juara ini lagu Commercial For Levi, dengan dua menit lebih tapi terus teringat klo lagu ini sering dinyanyikan dulu sewaktu SMU.

Track selanjutnya lagu Tourist dari Athlete, “Just wanna be with you…. My baby….” Ujarnya, entah kenapa lagu ini selalu terngiang setelah Wires yang dulu kerap kali menjadi teman sebelum tidur.

Mungkin aku juga akan segera tidur menjelang lagu ni berakhir, namun ada Shoot The Runnernya Kasabian yang belum beres aku perdengarkan, entah kenapa sedari awal aku mendengar lagu ini sangat khas dengan petikan distorsi yang aneh, namun tetap harmonis. Walaupun secara harfiah kata-katanya kasar, namun tetap mengingatkan saya akan The Datsuns.

Ini adalah Camera Obscura, lagu yang mengalun, pastinya saya hapal ini judulnya apa, Lunar Sea, jikalau sering mendengar ini lagu pasti tahu kalo kebanyakan stick drum yang digunakan oleh band ini seperti sapu lidi. Terompetnya pun demikian, halus pisan, tidak seenerjik lagu ska, namun bukan pula bossa ataupun jazz, hanya tiupun panjang pada satu nada. Dan mungkin akan dikenal juga lewat petikan gitarnya yang santai, namun sayang track yang aku miliki sepertinya cacat, sedikit scratch terdengar barusan, atau mungkin juga komputernya, ataupun sindikasi lainnya.

Aku menunggu track selanjutnya, judulnya Heartbeat dari Tahiti 80’s, sayang sekali band ini telah bubar jika tak salah dan beberapa personilnya membuat band yang namanya Fugu, mirip biskuit kan? “Can you feel my heartbet when I close to you…” ujarnya, “Enough for me, is not much for you” ujarnya diawal, selalu terngiang selalu, lagu-lagu masa silam, semasa indah itu sering ada di seragam abu putih.

Lagu Heartbeat belum usia, namun sepertinya track trakhir saya sangat tunggu ialah Pale Saint, judulnya A Thousand Star Burst Open, lagu yang pendek sih, empat menit duapuluh tiga detik jika tak salah jumlahnya, sebuah lagu yang mengalun, saya juga bingung ini postrock atau shoegaze, soalnya kesan yang timbul itu gloomy dan lagunya pun sekarang terdengar, sehingga sepertinya saya harus menutup akhir tulisan ini, sebuah tracklist di malam hari sebelum tidur.

*diketik malam-malam sembari senggang

hari yang biasa aja

hari ini tanggal 22 desember, ya menurutku hari yang biasa aja, namun kenapa sering dianggap hari ibu, sepertinya penghormatan atas ibu itu harus tanggal itu, yang aku tahu penghormatan terhadap ibu itu sepanjang mampu aja, bukan sepanjang masa, jikalau sepanjang masa, mungkin selama hidupnya seorang anak akan mengabdi kepada ibunya, sehingga ia tidak terbebas untuk menjadi orang tua, karena masih terikat untuk tetap mengabdi kepada ibunya, selanjutnya jalan pintas yang ditempuh adalah menunggu masa hidup seorang ibu usai, tragis.

jika saja nabi tak berkata tiga kali terhadap ibu, aku akan tetap berterima kasih untuk ibuku, karena atas segala kebaikannya aku menjadi aku seperti ini, tak bisa menyalahkan, karena dari setiap kekurangannya adalah kemampuannya yang ia bisa lakukan, tak bisa saya paksakan orang tua saya menjadi seperti saya inginkan, dan begitu juga sebaliknya, mereka tak bisa paksakan saya seperti mereka inginkan, untungnya orang tua saya itu pengertian, mengerti seperti apa mendidik anaknya menjadi yang terbaik menurut kemampuannya.

jika saja hari ini bukan hari ibu, saya akan tetap menghormati beliau, bukan karena ingin dipuji atau pun pendapat orang, karena yang saya tahu orang tuaku lebih menghormati orang tuanya daripada menghormati siapa pun yang saya kenal.

setiap hari saya ucapkan doa semoga orang tuaku diberi keberkahan oleh yang mempunyai waktu, entah itu dikabul atau pun tidak, yang pasti aku hanya berdoa, jika dikabul mungkin aku berucap syukur dan seterusnya jika belum dikabul ya berdoa lagi.

kadang kala, saya sering terjebak dengan konteks yang ada di lingkungan, tanpa sering mempertahankan hakikat yang bisa dielaborasi lebih maslahat, semisal hari raya iedul fitri, sering sekali bermaafan dan setelah itu usai ya mulai berdosa lagi, dengan alasan nanti juga akan ada iedul fitri lagi, atau pun anggapan menyepelakan suatu momentum untuk menjadi lebih baik. baik orangnya.

saya sempat tertegun ketika ada ucapan dari teman, "jika hidup itu seremonial saja, dan ritus-ritus sosial saja yang diinginkan, tak ubahnya seperti benalu di pikiran orang yang tak lama akan disingkirkan orang karena tak berguna," ujarnya, saya takut demikian.

*diketik pagi-pagi sembari senggang

Sulitnya itu indah, part 2

Garut sudah kami duduki, maksud saya, saya sudah duduk di daerah Garut, kau tahu Garut kota apa? Sudahlah semua juga tahu kalau Garut kotanya orang-orang Indonesia dengan sub suku bangsa, yaitu sunda, ah tak penting juga paragraph awal ini.

Gerbang pesantren yang warnanya hijau telah kami masuki, setelah sebelumnya kami sempat makan dan minum di warungnya Udin, bentar, bukan warunganya Udin ketang, warung yang punyanya. Namun Udin bekerja di sana, tempatnya di sekitar pesantren jua, jika kau tahu jalanan yang berdebu di seberang warung selalu jadi saksi bisu para santri membeli barang dari warung itu.

Mesjid kami telah masuki dengan berwudlu sebelumnya, dan yang ceramah itu ustad yang sebelumnya sering marah kepadaku karena sering membangkang dari pendapatnya, namun karena seringnya aku dimarahi, aku jadi seperti aku sekarang ini, bebal.

Dan suasana Jum’atan sepertinya seperti Jum’atan pada khalayak ramai di daerah lain, ya begitulah namun tempatnya saja yang berbeda, di masjid itu banyak santrinya dan warung itu saya kembali masuki, mulai makan dan minum lagi, mulai obrolan yang tak terlalu penting, bagaimana hidup setiap orang melakukannya dan memaknainya.

Tak lama, motor telah kami tumpangi, ya maksud saya, saya dan Anggun yang akan mempaketkan barang ke ibunya, setelah makan mie dan kelapa muda kami berpulang.

Tak terasa adzan Ashar mulai terdengar, mungkin bagi beberapa orang yang tak kenal bahasa arab, mungkin mereka anggapan itu mantra yang menghipnotis umat Islam untuk masuk masjid dan sepertinya akupun demikian, aku masuk mesjid.

Di mesjid tidak seperti tadi penuh, namun sekarang itu dua shaf saja, dan aku tak sengaja memperdengarkan lagu Jamming di rakaat kedua, aduh malu benar dan ternyata Bob Marley tetap berteriak di HP saya, dan ternyata sulit juga menghentikannya. Setelah shalat pun demikian, ternyata panggilan dari bapakku, dan HPnya saja yang memanggilku, soalnya terpencet mungkin. Entahlah.

Tak lama setelah beberapa saat keluar masjid, ada mobil datang ke parkiran mesjid dan keluarlah raksasa dan bermuka lima puluh dan berkaki seribu… aduh mulai kacau ini tulisan, sebenarnya itu adalah Baduy dan Andi yang datang, ternyata mereka datang bersama-sama jangan-jangan…. Mereka itu teman baik dan ternyata mereka benar adanya teman baik, sepertinya mereka seperjalanan, dan itupun yang saya lihat.

Saya sebenarnya enggan melihat Baduy atau tepatnya Muhamad Riyadul Irfan, soalnya saya tak datang ke pernikahannya, ya ia telah menikah, ia telah menikahi seseorang yang tak saya kenal, dan saya belum mengucapkan doa.

Saya hanya berucup selamat dan meminta maaf karena tak hadir di pernikahannya.

Dan Andi terlihat seperti sebelumnya dan saran saya sebaiknya ia kembali ke khittahnya sebagai pemilik badan yang proporsional, sekarang ia lebih terlihat besar dibanding tahun-tahun pertama saya bertemu dengannya.

Sebetulnya dari angkatan kami itu telah banyak yang menikah, ya semisal Udin atau lebih dikenal dengan Fahrudin atau Pehul, atau Udin Serancabango, ia telah menikahi perempuan dan mungkin sebentar lagi ia resmi jadi bapak, ya maksud saya seorang ayah yang sah dari anaknya yang mungkin akan segera lahir, perkiraan saya demikian, soalnya itu lumrah.

Sepertinya alunan Eksplosion In The Sky telah membuat ritme tulisan saya menjadi semakin tak menentu, namun tentunya kehidupan bukan seperti itu, hidup itu terus berjalan dan demikian selanjutnya hidup akan terus berjalan.

Sulitnya itu indah, part 1

Jikalau kau tahu di telinga saya itu Anggun yang cantik sedang berbisik indah “Breathe in the water,” ujarnya pelan, ya maksud saya buka Anggun Pramudia teman saya di pesantren itu, itu loh saya ka pernah mesantren di Garut, dan sekarang pun saya ada di tempat itu, penuh kenangan yang indah, dan mulai membuka pemikiran saya yang kampungan ini.

Sehari sebelumnya jikalau kau tahu aku berda di Banjaran, dan setelah bersiap-siap untuk berangkat ke Garut tentunya aku SMS Anggun, nah ini Anggun yang temanku di pesantrenku dulu, dan tentunya teman hingga saat ini, ternyata ia pindah tempat kosan yang baru, dan ternyata pula ia telah pindah selama kurang lebih empat bulan, dan setelah bertemu, awalnya ia tak ingin berangkat pagi hari, ya maksud saya karena saya temukan ia di Indomaretnya itu kurang lebih jam sembilan an, WIB tentunya.

Dan setelah lama menunggu, ketika aku ingin mencoba melumat Ice Cream, akupun membelinya di Indomaret tentnya, dan tak lupa minuman berenergi, atau mungkin lebih tepatnya Kratindaeng, bener ga sh nulisnya kayak gitu?

Dari balik kaca yang bening itu, terlihat sesosok tubuh yang namanya Anggun, dan saya pun ke kosannya dan saya temukan teman lainnya yaitu Rivan Muttaqin, jika tak salah mungkin menulis namanya demikian, begitu pun ada Fadlan dan calon istrinya , ya maksud saya jika ia mau untuk menikahinya dan sang calon mau menerimanya, ya jika maksud saya, atau jika pun mereka kehendaki mereka bisa memiliki anak yang shaleh tentunya, aamiin! Itu juga terserah mereka mau anak yang sah maupun yang kurang sah.

Ternyata Fadlan akan berangkat keesokan harinya dan selanjutnya Danyo atau Rivan itu akan pergi naik bus saja dan meninggalkan Ahmad sendirian bersama Danil, kaupun tak akan tahu ia siapa, tapi tak penting juga saya jabarkan danil itu siapanya teman saya seBanjaran, nanti jikalau sempat saya jabarkan eh ukan saya jabarkan deng, saya tuliskan seperti saya tahu saja.

Sedari awal saya sangay ingin ntuk Jum’atan, atau mendengar ceramah di pesantren yang kerap saya sekolahi dulu, untuk nanti saya dapatkan sertifikatnya, namun untuk saat ini saya ingi Jum’atan saja.

Dan ternyata setelah beberapa lama menunggu Anggun datang pula dengan punggungnya yang sakit, dan kamipun pergi meninggalkan kosan yang ada saat itu dan mennggalkan Cibiru, Rancaekek kami jelang setelah sebelumnya memasuki kosan Husni Muttaqin, ituloh temannya Rivan, meskipun sama dalam penamaan Muttaqin nya tapi mereka berbeda keluarga, berbeda juga macam-macamnya, kok rancu ya? Ya maksud saya mereka tidak bersaudara, namun saya paksakan saja mereka muttaqin brother, jadi seperti bersaudara kan, soalnnya mereka sering menginap di kamar kosan yang sama, jangan-jangan….

Aw! Tidak saudara mereka itu teman dekat, dan Husni sudah punya pacar, tapi Rivan entahlah, mungkin jodohnya terkesan menyedihkan dari status FB nya yang pathetic, turut bersedih buat Rivan pokonya, cemungudh eaaa!

Perihal Nama

Biasanya saya selalu bertanya perihal nama seseorang untuk memulai sebuah pembicaraan, kebanyakan bisa memperkenalkan namanya dengan singkat, baik nama asli maupun nama samaran, ataupun juga hanya sekedar julukan.

Perkenalkan nama saya bla bla bla... dan seterusnya, biasanya tak kenalan maka tak sayang, begitu pun juga untuk lebih tahu maka selanjutnya berkenalan, karena dari pandangan saya tahu saja tak cukup untuk mengenal, dan untuk lebih tahu sebaiknya berkenalan saja, aduh absurd juga kata tahu, soalnya tahu itu terbuat dari kedelai, tahu?

“Nda, kenapa nama kamu kok gitu” ujar saya di depan Hp saya.

“Oh, Dinda itu nama kesayangan orang tua saya untuk saya, dan Hermawati itu singkatan nama orang tua saya, ujar Dinda.

Dinda itu biasanya saya ajak seteleponan pagi-pagi buta, ya soalnya sempetnya pagi dan jika ada wakttu aja, dan ternyata dari awal ‘kepencet’ selanjutnya sering seteleponan dan ternyata tak sia-sia, ia jadi teman seperbicaraan yang nyaman.

Adapun yang mungkin nama yang terkesan ga nyambung sama sekali, seperti namanya itu Panca, tetapi ia itu anak pertama, saya juga awalnya pusing, tetapi untuk lebih tahu sepertinya pertanyaan itu tak etis jika ditanyakan langsung ke anaknya, soalnya ia masih kecil, lalu saya tanyakan ia ke orang tuanya, “Panca mah incu kalima na Ma Eni,” jawab ibunya singkat, padahal sebelumnya aku berfirasat, mungkin ia itu anak kelima dari ayahnya yang poligami, ataupun menunjukkan rasa sukanya pada Pancasila, atau juga Pancakaki.

Nama memang unik, walaupun hanya seucap, dan seterusnya berkesinambungan, terus akan dipanggil demikian, jika singa mati saja bisa meninggalkan kulitnya untuk pajangan di dinding orang tak berperikesingaan sebaiknya mereka mencoba raja singa untuk tahu sakitnya hatinya singa, dan gajah pula meninggalkan gadingnya untuk jadi pajangan orang tak berperikegajahan, sebaiknya mereka berkaki gajah untuk tahu sakitnya tercerabutnya gading gajah.

Begitu pun panggilan, teman saya ada yang dipanggil Ee, aduh saya sangat penasaran atas panggilan itu, dan ketika iseng membaca tumblr miliknya, ternyata alasannya singkat, karena keisengan saja menulis di akun game onlen, dan seterusnya teman-temannya memanggilnya demikian, dan ketika ditanyakan itu kenapa dan bagaimana? “Biar cepet aja,” jawabnya. Dan panggilan itupun tertera lama sekali, sehingga sekarang nama itu saya ganti di phone book hp saya, secara sadar saya tak ingin memanggilnya demikian, namun kadang kala saya tak sadar.

Panggilan Giles sering sekali saya dengar, terkesan nama orang luar negeri bukan? Dan ternyata bukan, panggilan jajaka asal Bubat itu ternyata adalah akronim dari namanya, bilangnya sih itu teh singkatan, salah! Itu mah akronim, makanya! Sering baca KBBI.

Oh panggilan! Oh panggilan! Kadang kala membuat saya aneh dan sempat berpikir keras untuk sebuah makna, namun, ketika saya bertanya tentang makna nama saya ke ibu saya, “Apalah artinya sebuah makna dari nama, jika bukan dari cerminan dari sikapnya,” ujarnya singkat.

Kadang kala, nama merupakan sebuah doa yang mungkin akan dipikul seharian, dan mungkin saja jika ada orang yang ingin anaknya sepeti Abu Jahal ia akan menamakannya Abu Lahab, dan mungkin juga akan menyingkatnya Ajahal ataupun Alab, sepertinya paragraf ini itu tak penting.

Namun ini sepertinya penting, begitu pun dengan analogi nama, menulis pun demikian, tanpa judul tak akan tahu seperti apa penulis ingin mengungkapkan grand design dari tulisannya, jika benar mungkin akan diamini pembacanya, begitu pun jika salah akan dipertanyakan pembacanya.

Untuk pembaca dimulai dari Judul, dan kemudian diakhiri oleh titik di akhir paragraf, namun untuk penulis yang ingin mengungkapkan grand design pikirannya, bisa dengan berbagai cara, tergantung tiap kata yang ingin ditulisnya dan begitu pun untuk urusan nama dan bersikap.

*diketik malam-malam untuk mengisi waktu senggang

Untuk menulis hari Sabtu dan Minggu

Beberapa jam lalu, masih berupa kertas kosong yang atau lebih tepatnya halaman yang masih kosong saja, belum tahu harus memulai dari mana cerita pendek ini, cerita di hari Sabtu dan Minggu yang membuat beberapa pemikiran saya berubah.

Saya kira, saya ini orang yang paling terlambat datang dipagi itu, pagi Sabtu yang cerah di bulan Desember, Commonroom sudah saya jelang, dengan jarak yang lumayan jauh juga, jika Banjaran hingga Buah Batu saya tempuh dengan 32 kilometer dan mungkin jika ditambah lagi Buah Batu ke Dipati Ukur mungkin ditambah 10 kilo lagi untuk menggenapi jarak yang saya tempuh untuk datang ke Commonroom.

Ternyata saya tidak terlambat, karena workshop tersebut belum dimulai, dan untungnya saya bukan orang yang paling terlambat, picik juga pikiran saya, masih terlambat tetap merasa untung.

Acara workshop tersebut, ialah kerjasama Pemerintahan Kota Bandung dengan Commonroom dan The Illuminator, dengan fokus pembuatan desain, produksi dan pemasaran merchandising band. Pokoknya lebih tepatnya semua tentang merchandising band, tapi lebih fokus pada band yang sifatnya underground atau lebih tepatnya metal dan sejenisnya, pokoknya unrated di masyarakat awam, soalnya stigma yang dibangun ialah kesan yang keras, cadas, sadis dan kekejaman.

Commonroom, ialah ..... apa ya? Saya sendiri tak tahu secara detail apa itu Commonroom, ya sepertinya seperti organisasi NGO atau LSM aja yang biasa ada di Bandung dan bergerak dalam bidangnya, apa ya bidangnya? klo diringkas, tentang kreatifitas pokoknya mah.

Dan pemerintahan, ya pemerintahan pada awamnya, yaitu donatur uang lah untuk kegiatan-kegiatan seperti itu, ya seperti pemerintahan yang memerintah saja, namun ini perintah yang enak menurut saya, belajar.

Dan The Illuminator ialah kelompok ilustrasi skala nasioal dan internasional yang keren sekali.

Acara workshop dimulai dengan bagaimana membuat sketsa, namun terlebih dahulu membuat riset seperti apa klien kita, pokoknya seputaran klien kita, kita? Lebih tepatnya target, soalnya itu saya berperan sebagai saya saja. Dalam mememuhi permintaan klien sebaiknya mengetahui karakter yang ada dalam klien semisal, aliran musik, karakter bermusik, bahkan mungkin keinginan yang lebih spesifik dari klein seperti ingin ini ataupun ingin itu.

“Memang sih terkesan kejam, namun gambar kami tak lebih kejam dari mereka yang melakukan kekejaman lebih nyata dibanding gambar,” ujar kang Dinan.

Dalam workshop tersebut diputuskan untuk memilih band yang memiliki aliran deathcore, dari penjelasan om, bang, kang atau apa ya? Saya harus menulisnya, mending kang Dinan saja, ia memutuskan bahwa tema yang diusung ialah teologi, yaitu sebuah ilmu yang mempelajari ketuhanan, tuhan? Awalnya saya bingung bagaimana menggambarkannya, sangat absurd sekali menggambarkan tuhan, menggambarkan? yang manusiapun tidak diperkenankan untuk melihatnya, namun ketika sub tema mengacu pada agama, ternyata yang digunakan ialah simbol-simbol agama, dan yang menjadi fokus simbol agama pagan.

Aduh! Saya sepertinya habis babak belur dalam urusan menggambar tangan, sepertinya gambar saya yang paling amburadul, aduh menyedihkan sekali saya, tak pede dengan karyanya sendiri.

Setelah didapat sketsa gambar maka gambar ditransfer ke komputer, ya maksud saya ke program yang mendukung untuk proses selanjutnya, yaitu inking, karena sketsa yang ada dalam gambar kertas masih berupa garis halus, sehingga selanjutnya dibuat garis yang lebih tegas dalam photoshop, ada anekdot menarik, “Selama ada photoshop tak usah takut wajah goreng, karena semua masih bisa diedit,” ujar orang di samping saya, benar juga. Dari garis yang terkesan semena-mena, ternyata setelah dibuat garis tegas, gambar lebih terlihat jelas.

“Enaknya pake pen tablet aja, biar lebih gampang,” kata Ridwan Bulldog.

Selanjutnya garis tersebut diwarnai, atau lebih tepatnya coloring atau pewarnaan dan shading, sehingga diketahui bagaimana membuat warna yang diawali oleh warna tua dan diakhiri oleh warna terang sesuai arah pencahayaan yang dipilih untuk gambar tersebut.

“Klo mau mewarnai liat aja cermin, jadi tau arah cahaya sama sudut pandangnya,” kata Bobby disela-sela ia mewarnai

“Geus lila nya bob?” kata Dinan

“Heeuh euy,” timpal Bobby sembari terus mewarnai

Selanjutnya, ialah kami hanya memperhatikan sedangkan yang lain menggambar saya memilih untuk menulis saja, soalnya saya taluk untuk gambar ilustrasi seperti itu, saya mending pakai gambar blok dari corel dan hidup vektor!

Sayapun pulang di hari Sabtu, ditemani gerimis dan malam ini akan ada gerhana bulan, sepertinya saya harus menyolatinya.

Bangun pagi di hari Minggu memang terkesan menyenangkan, ternyata tidak terlalu menyenangkan, karena saya kesiangan, maaf sepertinya paragraf ini tak penting.

Jika tak salah saya sampai di Commonroom itu 09.51 atau lebih kurangnya tergantung jam masing-masing yang dipercayai itu menunjukan waktunya, ah panjang. Dan ternyata acaranya juga belum mulai, melihat jadwalnya sih jam sembilan, namun sepertinya ngaret lagi.

Acara dimulai dengan meneruskan bagaimana coloring dihari kemarin, dan kemudian ialah menyablon, jujur saja, dari semua rangkaian selain pembagian baju, proses penyablonan ini yang menarik, terlebih lagi menggunakan cat sablon minyak, sering disebut plastisol atau apalah itu nama aslinya, pokoknya keren ternyata tak asal sablon saja, harus presisi bagaimana menempatkan gambar, jika melenceng sedikit saja maka silahkan dapatkan hasil gambar yang nyengsol.

Setelah disablon diteruskan dengan dikeringkan, saat itu menggunakan hot gun atau apalah itu namanya bisi salah nulis, dan selanjutnya terlihat kepulan asap tipis disela-sela gambar, dan bau seperti yang sedikit terbakar.

Menarik, sungguh menarik karena menggunakan meja banting, disebut meja banting karena ya memang gampang untuk dibanting, apalagi jika orangnya suka membanting meja, kayaknya cocok.

“Klo kualitas kita bagus, kita ga usah cari-cari konsumen, biar konsumen cari-cari kita,” ujar Popo

Meja dilem rapat, sama lem, ya ialah pake lem masa pake remeh, did you know what the meaning with remeh? Remeh itu ceceran nasi yang tergeletak tak berdaya dan tak dipilah untuk dimakan, kayakya paragraf ini ga penting juga.

Selanjutnya diskusi, ya seputaran memasarkan produknya, ada perwakilan dari Mocca Mercahandise dan Crossover dua pihak itu bergelut di bidang merchandising band yang sangat keren menurut saya, karena keren saja dan tak ada alasan lain.

“Promosi ialah investasi,” kata Sevty Crossover

“Data base pembeli ada uang, karena mereka adalah pembeli paling potensial,” ujar Wansky dari Mocca Merch

Dan setelah banyak coffebreak yang mengisi waktu luang saya, dan tentunya orang lain juga ikut makan, masa saya makan sendirian, kan ga adil untuk peradaban, dan terima kasih karen makan yang enak telah sempat kami makan.

Selanjutnya setelah dibagi bajunya, ya maksud saya baju hitam yang bergambar keren, yang saya pakai ini sepertinya harus segera didokumentasikan, saya dan banyak orang berfoto bersama.

Terima kasih banyak atas ilmunya, semoga ilmu yang dibagikan itu bermanfaat sangat, dan menjadi amalan baik untuk semuanya, demi peradaban yang lebih baik tentunya demi kelangsungan karya seni kreatif yang indah.

*diketik dengan jari, setelah makan kwetiaw yag tak kalah enak dari menulis sembari senggang

chat malam ini part 2

berikut juga chat sama jurnalis handal jua, seorang jurnalis dari rancaekek, seorang guru mengaji juga, tapi ini mengaji soal agama islam, dan tak lupa ia menjadi pemilik UAng di SUAKA, lembaga pers yang keren.

Godi Rangga

halo yang banyak uangnya1

Sopi Aja

ahahahha

amiin

puguh da naon

Godi Rangga

menteri keuangan nich

giman kabarnya meni awis tepang

Sopi Aja

hehhe nya

tara ikut rapat

soalna malem

pulangna malem pisan

didieuna lg kerusuhan

jd takut pulang mlm

Godi Rangga

wah aslinya ada kerusuhan?

Sopi Aja

iya lagi perang antar kampung, cuma yang punya kepentingan aja

Godi Rangga

aw, parah dongs

kamu ikutan ga?

Sopi Aja

ikutan dong

paling depa bawa pacul

hahahha

Godi Rangga

wah asik tuh pasti bawa benih sekalian

asal jangan libatkan para santri cilik itu

hehehe

Sopi Aja

ih digiring juga

mereka disuruh baca sholawatnya

hehe

Godi Rangga

aw! mau dong disholawatin....

udah ada lowongan buat jadi wasik kerusuhan gag?

Sopi Aja

hahahahaha

wasik naon?

Godi Rangga

aduh salah ketik wasit maksudnya?

Sopi Aja

hahahha

Sopi Aja

ada si mang unang

Godi Rangga

aw! munduh ah klo udah ada mah

berarti saya jadi bek aja

wkwkwk

Sopi Aja

ya okok

hahahha

Godi Rangga

kenapa bisa ada kerusuhan kayak gitu bu?

Sopi Aja

biasa orang2 kampung... hehehe

ga mau pada kalah

tp bukan daerah pi

kampung belkang

Godi Rangga

keren pasti itu masalahnya prestasi pendidikan gitu ya?

Sopi Aja

gubrakkkk

hahaha

jegerrrrr ini mah

Godi Rangga

wah pasti jegernya itu seorang propesor ilmiah yah?

Sopi Aja

hahahhaha gokiiiil mun aya nu kitu mah

Godi Rangga

curiga ada konplik plagiasi inimah?

pastinyah

Sopi Aja

hohoho ah

dan ketika tulisn ini dibuat semoga kerusuhan segera berakhir indah.

*diketik dengan tergesa-gesa, tunduh!

7 Desember, Dengan kemenangan mutlak Persib

Udara Bandung Timur terasa sejuk di tubuh ketika jaket hitamku mulai kubuka, sejuk sekali, mungkin karena sejak perjalanan dari Banjaran hingga Buah Batu tak aku buka sehingga panasnya mulai membuat keringat keluar dari kulitnya.

Ada yang menyengat di kaki sebelah kanan, sinarnya membuat kaki kananku terasa tak nyaman di perjalan tadi, mungkin karena sendal yang aku pakai membuatku keadaan sedemikian rupa, sedemikian panasnya hingga aku tak tahu bahwa waktu sudah dekat menuju jam dua siang.

Motorku berhenti di kosan temanku, sebuah tempat kosan yang unisex ya, maksud saya ada bagian untuk para wanitanya dan ada bagian untuk para pria nya, sedangkan temanku itu berkelamin pria, mungkin, ya mungkin saja karena aku tak tahu apakan Rivan atau Fadlan atau Anggun itu seorang lelaki tulen.

Sedari awal aku ingin sekali membawa data yang aku buat di garut beberapa hari sebelumnya, sebuah artikel sebagai kado pernikahan temanku, ya perikahan pertamanya, dan semoga menjadi pernikahannya yang terakhir, aamiin!

Di depan bengkel terlihat fadlan dengan seorang wanita, aku lupa wanita itu siapanya, mungkin selingkuhannya atau pun juga mungkin ia itu seorang teroris yang telah menteror hati temanku, dan aku ungkapkan bahwa aku inginkan dataku yang telah aku buat itu, ternyata datanya dibawa oleh laptop milik pacarnya, dan setelah beberapa kata terucap, akhirnya ia akan membawa laptop tersebut ke kosannya Anggun.

Dalam ruangan kosan itu, terkesan sangat muram, mungkin karena suasana yang acak-acakan dan buku yang berserakan, ditambah lagi tata cahaya yang sangat minim, sehingga aku sebaiknya kategorikan itu ruangan tak bercahaya.

Rivan terlihat aneh dengan bajunya yang mirip penyanyi dangdut, sedangkan Anggun sedang asik menonton film, jika tak salah ingat judulnya Knight Day, ataupun apalah nama judulnya? Tak jadi masalah untukku, dan sembari menunggu Fadlan aku menonton film itu juga, dan ternyata lumayan rame, untuk sekedar melepas kejenuhan.

Tak lama berselang, Fadlan datang dan membawa data tersebut, setelah aku dapatkan data yang aku inginkan akupun pamit pulang ke SUAKA, ya itu loh tempatku dulu suka diam, tidur dan melamun, ditambah lagi sepertinya hujan akan turun dan film sudah usai.

Sekre SUAKA aku jelang, ada Hamdan sedang asik di depan layar komputer, dan tak lama berselang Nasrulpun datang, dan mulai curhat, sepertinya tak etis aku sebutkan curhatannya terhadap temannya, dan aku enggan untuk mendengarnya sehingga akupun segera mau cari eskrim, ditambah lagi entah mengapa aku mulai suka es krim sekarang-sekarang sehingga kadangkala, jika sempat beberapa es krim apa itu lupa lagi mereknya aku cicipi.

Menuju sekre SUAKA sepertinya ada yang aneh sekarang itu, oh ya hari ini katanya laporan LPJ PJMTD, ituloh kegiatan rekruitmen anak baru SUAKA, kegiatan yang pendek menurut saya, dan mungkin itulah yang mereka inginkan, tapi semuanya telah terjadi dan selanjutnya tinggal ikhtiar yang terbaik.

Saya menunggu Resita, ituloh, mahasiswa jurnalistik semester lima jika tak salah itupun ungkap Ojan ketika saya bikin tulisan ini, ia minjam jas hujan yang saya miliki, katanya ia ikut Taekwondo atau Karate ya? Pokoknya yang aku ingat itu beladiri pokoknya, keren sekali ungkapanku untuk hal itu, namun lebih keren lagi jika ia konsisten dengan SUAKA dan beladirinya karena semua hal pasti berkesinambungan.

Tak lama Nirra datang, entah mengapa ia ujug-ujug curhat, curhat klo ia .... ah takut marah juga klo ditulisnya, klo mau tau mah ya konfirmasi aja sama Nirra nya, tapi saran saya mah semua hal ada konsekwensinya, ada positif dan ada baik buruknya, kayak lagu Efek Rumah Tangga, Jatuh Cinta Itu Biasa Saja. Heideggerian bukan?

Adapun jika pakai nihilisme, semuanya juga akan mati, dan hidup itu hanya bernafas, dan sebagai penyempurna bernafas dengan ibadahnya.

Kata Nirra ia kan nonton teater di STSI, dan mungkin juga aku pun demikian, soalnya aku ada janji nganterin barang ke UPI, dan mungkin akan nyimpang ke STSI.

Akupun pulang, setelkah membawa barangku yang ada di Resita, dan sore hari ketika PERSIB menang aku menuju STSI untuk menonton teater, kesanku lumayan, mungkin karena aku telat, dan ketika pulang aku lihat banyak anak SUAKA, ada Nirra, Miko, Alin, Pitiw dan Sri, dan Iqbal, namun sayang Nirra tak seriang di sekre SUAKA tadi siang, sepertinya ia sedang bersedih, dan semoga sedihnya tak lama, karena hurup sedih lebih sedikit dari hurup yang dikandung senang, dan aku sarankan pilihlah hurup yang terbanyak.

Karena hidup itu hanya mengisi waktu luang, dan waktu luangnya terserah yang meluangkan waktunya.

*diketik dengan senang hati

13 November, setelah pulang dari Cibiru

Hari ini kampus saya seharusnya bersedih, ya seharusnya menurutku tentunya, tadi pagi sudah banyak oang di kampusku yang aku kira akan adanya suatu acara beberes kampus seperti apa, ataupun banyak juga para pekerja bangunan yang mengerjakan bangunan kampus kami dengan wajah yang sedikit dipermak, tanpa merubah fondasi awalnya.

Oh ya, hari ini aku disuruh ke kampusku oleh Nia, nama aslinya jika tak salah Sonia, atupun mungkin itu salah, salah sebut eh tulis atau apalah kepanjangan nama itu mungkin Niaaaaaaaaaaa, panjang kan? Ia itu seorang Pemred di SUAKA, itu loh SUAKA tempat aku menimba ilmu secara otodidak dan bagaimana menulis dengan baik dan tentunya bagaimana bersikap.

Sejujurnya aku sudah mulai bosan ke SUAKA, yang aku lihat banyak produk jurnalistik tergeletak dan acak-acakan, ditambah lagi kesan dari debu yang menempel di bagian lainnya di SUAKA seolah SUAKA hanya menulis tanpa melihat apa yang dilakukan untuk rumahnya, saya sadar saya tak lebih baik sewaktu saya masih menjabat sebagai anggota yang entah dikategorikan aktif, namun mungkin hal ini yang saya rasakan saat ini, dan mungkin saja saya itu bukan orang pertama merasakan kebosanan ini.

Saya bosan dengan kultur di SUAKA sekarang, sudah jarang adanya diskusi keilmuaan, ya sekadar berbagi ilmu yang berbeda dari perfektif keilmuan yang berbeda pula, namun mungkin karena mayoritas itu jurnalistik sehingga berbagi ilmu hanya menyangkut jurnalistik saja, yang saya pandang untuk menjadi seorang jurnalis memerlukan ilmu lain tak hanya jurnalistik karena jurnalistik hanya mediasi, tempat, media sebuah ilmu bisa didapat dari produknya, atau pun mungkin bukan karena hal itu dan masih banyak hal lain yang membuat gundah belakangan ini, ditambah lagi karena saya hanya memantau dari jauh dari kabar di SMS ataupun kabar di internet saja sehingga parsial ataupun saya hanya memberikan pandangan atas prasangka saya saja.

SUAKA baru saja punya rumah baru, di tempat yang baru, jika tak salah namanya Dua Saudara, tapi jika salah pun tak apa menurutku, karena dulu aku kenal itu sebagai tempat ma'had dari Psikologi, ya menurut Iyan temanku itu begitu. Sebuah lingkungan yang terkurung dikelilingi oleh tempat UKM lainnya, sangat khas dengan kosan mahasiswa, namun dengan sekejap disulap jadi tempat para mahasiswa berkarya,maksud saya berkarya sesuai dengan minatnya.

Oh ya SUAKA punya dua ruangan, kata Miko sih itu tempatnya teater, namun teater minta satu rumah saja untuk tetap berkarya di bidang dan minatnya, sehingga sekre SUAKA punya dua kamar, dan tetangga kami sedari dulu, ya maksud saya KOPMA, sepertinya penulisannya harus Kopma saja, soalnya itu akronim, jd kembali ke topik Kopma, Kopma punya tiga ruangan tepat di sebelah kiri ruangan SUAKA.

Tepatnya ruangan SUAKA itu nomer 11 dan 12, ruangan sebelas itu penuh dengan barang-barang yang materialnya kertas, sedangkan yang satunya lagi ruangan dengan empat kursi dan satu bangku panjang yang muat untuk duduk berempat, tentunya dengan tertib jika duduknya.

Oh ya, barang mahal di SUAKA bertambah, yaitu dua buah WC dalam berbeda kamar, dua-duanya ada airnya, ya maksud saya airnya mengalir tanpa adanya intervensi dari saluran air lainnya, saya sendiri senang untuk ada di WC tersebut, karena untuk sebelumnya harus numpang ke WC samping Mahapeka yang selanjutnya tak enak ketika harus mengantri lama dan seterusnya mengotori lantai yang sudah dipel oleh mereka, semoga saja yang pakai WC di sekre yang baru tidak jorok, dan lebih bisa bersyukur.

Beberapa hari yang lalu, aku bersikeras untuk tidak ke SUAKA, entahlah perasaan ini sepertinya tidak nyaman untuk ke SUAKA, seolah saya harus mundur secara teratur dari SUAKA, untungnya SMS dari Ojan memberikan pilihan untuk menjadi anggota non aktif dan selanjutnya saya menjadi anggota yang non aktif yang saya pilih di sela-sela kesibukan saya yang lain.

Terus terang, saya sudah ingin non aktif sedari beberapa bulan sebelumnya, mungkin karena kesibukan saya sendiri dan lain hal, ditambah lagi perasaan bersalah karena mangkir dari tugas jurnalistik ketika saya perhatikan, saya tidak memberikan perubahan yang berarti untuk SUAKA, saya malu jika hanya jadi benalu, hanya bisa berdiam diri di SUAKA, tidur di SUAKA, makan di SUAKA, dan tidak memberikan hal yang berarti untuk SUAKA, saya kira seharusnya saya mulai ditegur sejak saya jadi anggota oleh Wicaksono Arif, dan dimarahi oleh Miko ketika Miko jadi Pemred, dan seharusnya saya dicerca Fikri dan Agus yang tidak bertanggung jawab atas kelakuan saya di SUAKA, untuk sekedar saran mungkin pernah terlempar dari mulut teman namun sepertinya sanksi sosial jarang terjadi di SUAKA.

SUAKA kini menjadi perhatian saya, ketika mulai dana di SUAKA mulai kering, saya perkirakan jika hanya menganut pada mesin cetak maka SUAKA tak akan maju lebih baik, karena kadang saya berfikir produk yang bagus tidak berarti isinya itu bagus. Sehingga saya lebih tertarik dengan SUAKA yang difotokopi saja, ketimbang hanya menjadi sampah dan terlupakan siapa yang telah membuatnya, siapa yang menulisnya, ataupun siapa yang cape untuk mencetak produk jurnalistik yang disebut, majalah, dan tabloid.

Bahkan untuk alat produksi, printer HP yang bagus itu raib, untuk rencana Print On Demand pun hancur, karena kelakuan orang tak bermoral, telah meraibkan printer SUAKA, ketika mendapat SMS dari Nasrul pun, saya mulai curiga ada yang aneh di SUAKA, ditambah kabar dari Miko, Raibnya Printer membuat saya sedih, terlebih lagi kultur untuk menjaga barang di SUAKA sepertinya sudah mulai luntur, sekarang kamerapun tak punya, rekorder entah kemana, dan hal paling tak disukai pun datang. Menuduh.

Dua buah, lemari tersisip di ruangan sekre SUAKA yang lama, entah punya siapa itu lemari, dan entah mengapa ada di sekre SUAKA, dan tentunya barang yang pernah aku buat bareng Miko dan Wicak, sebuah rak yang mungkin tak berharga lagi sehingga harus ada di sekre SUAKA yang lama, dan aku sarankan ke Nasrul untuk membawanya, namun entah mengapa perasaanku Nasrul malas untuk mengangkut rak buku itu.

Setelah kenyang, dengan beberapa suap nasi, dan ketan tentunya, yang hadir di siang hari sebelum hujan Nasrul, Bayu, Riza berpulang, saya dan Miko duduk-duduk saja, sembari menonton Film dan beberapa video unggahan dari Youtube, tak lama Hamdan dan Ojan datang, dan sebelum hujan hadir lagi, saya sebaiknya harus pulang.

Tiap generasi punya masa yang dibatasi, dan saya sadari hidup saya bukan hanya di SUAKA saja, mungkin sebentar lagi saya akan hadiri pernikahan Ratna di Cianjur ataupun acara Miko meminang seorang pilihannya, Elli, Lina dan teman lainnya.

Dan waktu muda pun berangsur dewasa, SUAKA akan tetap menulis.

Mudah mudahan SUAKA pindah ke tempat yang baru membawa hal yang baru juga, dan kebiasaan buruk di sekre yang lama segera hilang, Aamiin!

*sehabis hujan reda, dan kemenangan mutlak Tim Sepak Bola Indonesia.

*ditag ulang, maaf mic, komentar terdahulu dihapus dan belum dibaca semuanya

*ketika saya rasa proses tag-tag an akan berefek buruk maka saya rasa dihapus saja

Buat Nyi Vinon

Tadi pagi saya khatam baca bukunya Nyi Vinon, secara keseluruhan saya anggap semuanya keren, bahasa yang bertutur, sangat subjektif, bahkan terlalu personal untuk ditulis sebagai rangkaian cerita hidupnya.

Dari halaman awal, bahasa yang diusung sangatlah bertutur, naratif, sehingga terkesan teratur, namun setelah membaca halaman demi halaman, banyak keteraturan berubah menjadi acak-acakan, kembali ke masa lalunya dan dalam sekejap kembali ke masa ‘tidak terlalu’ lalu baginya.

Jika menurut tulisannya, namanya Vinondini Andriati, namun ketika saya baca di bukunya ada yang janggal juga, kenapa saat gurunya di Aussie memanggilnya Miss Effendi? Nah mulai dari situ saya anggap ini buku hanya karangan saja, atau lebih lengkapnya cerita fiksi bagi saya sendiri, namun mungkin bagi mereka yang tahu siapa itu Nyi Vinon akan menganggapnya sebagai kenyataan karena dia awal ini dibuat sebagai Otobiografi, dengan alasan saya, saya tak bisa membedakan ini based On True Story atau bukan, meskipun ada literatur lain sebagai lampiran keterangan, tapi saya tetap tidak mengerti di bidangnya sebagai Arsitek.

Namun secara garis besar banyak pemikiran-pemikiran bu Vinon yang saya rasa keren, mulai dari argumennya yang terkesan blak-balakan, hingga menyembulkan hal yang kadang tabu dalam kemasan tulisan yang terkesan peminim, ketika saya perhatikan lagi, kebanyakan mengarah pada sisi kewanitaannya, tentang inilah tentang itulah, dan hampir mayoritas tokoh yang disebutkan atau berperan penting dalam bukunya itu perempuan.

Saya sempat kaget, ketika membaca, ketika Vinon tidur dan ibunya menyuruh makan, “Kamu boleh ga solat asal jangan ga makan,” soalnya berbeda sekali dengan keluarga saya, ibadah yang dijunjung tinggi, dan kemudian makan nomer keduanya jikalau sudah sholat, namun ketika saya perhatikan itu adalah ungkapan yang cerdas dalam mengungkapkan suatu kondisi, ketika bangun biasanya akan lebih sadar yang mana yang wajib dan yang mana yang sunah, dan mungkin saja pilihan setelah makan itu adalah sholat.

Banyak cerita yang saya ambil hikmahnya dari bukunya Nyi Vinon ini, gambaran akan mahasiswa Itenas, yang sempat dulu di pikiran saya jika terdengar kata Itenas, itu Ospekannya yang gahar dan Film karya mahasiswanya yang membuat Bandung lautan asmara, dan sekarang saya akan lebih ingat bahwa Itenas telah memberikan alumni yang membuat karya sebuah buku otobiografi, sebuah karya yang secara tak langsung memberikan saya pandangan lain untuk Itenas.

Terima kasih atas karyanya yang keren, semoga menjadi hal baik untuk renungan hari ini dan esok kelak.


*diketik untuk apresiasi saja buku yang bagus yang telah berpindah tangan ke tangan yang mungkin nanti saya akan genggam secara halal