Rabu, 30 Mei 2012

Beberapa hari kebelakang

Adalah saya yang sedang mendengarkan lagu GIGI malam ini, judulnya Andai, mungkin ada yang tahu kenapa judulnya seperti itu, lagu yang indah untuk tahu mengapa jarak begitu penting untuk tahu yang hak dan yang bukan.

Kenapa masih ingat saja beberapa hari lalu.

Saya masih cape untuk mulai menjahit lagi, tapi sepertinya itu tidak berlaku, karena delapan pasang tangan tertinggal di Cigondewah dan segera harus saya ambil untuk dipasangkan dengan potongan kaos untuk badan,dan sepertinya hari Kamis yang panjang untuk menjahit 134 kaos pesanan Andi temanku, entah mengapa kenapa pesanannya terkesan Kun Fayakun gitu, cepat banget harus jadinya.

Alhasil baru jam 10 malam semuanya beres, dan rencananya aku akan antarkan jam itu juga, namun sepertinya istirahat itu lebih baik, sepertinya rencana selanjutnya adalah tidur, tapi ternyata tidur berefek enak sekali, walaupun bangun sedikit kesiangan.

Andi telah beberapa kali menelepon, dan hasilnya janjian di Tol Buah Batu, dengan lumayan lama menunggu, akhirnya beres juga itu orderan, walaupun tak puas dengan hasilnya, tapi begitulah jika pesannya main gila2an.

Dan saya ingin jumaahan di SUAKA, sekalian ada janji sama Yoga dan Hamdan, motor saya melaju pelan di Jum’at yang cerah, langit Bandung kala itu dominan biru, begitu pun ban motor saya yang gundul semakin gundul saja hari itu, sepertinya harus saya ganti secepatnya.

Kompleks UKM yang ada di dua saudara telah saya datangi, terlihat monitor SUAKA lebih jadul dari angkatan saya telah dipajang cantik di sana, ternyata yang oldies2 lebih bisa bertahan daripada yang baru, entah perawatannya atau manusianya yang memakainya tidak merawatnya atau ya memang sudah waktunya monitor tersebut rusak, dan itu seperti yang tersurat di forum FB yang beberapa hari lalu saya baca.

Entah mengapa penghargaan atas benda di Sekre SUAKA kurang, ya terlihat dari banyaknya calacah yang terserak di karpet, begitu pun dengan kasur peninggalan Wicak, makin absurd saja, entah mengapa juga buku yang sekian banyaknya jarang kembali, dan mungkin alasannya paling praktis adalah fokus menulis, tapi apa benar?

Ya semoga saja SUAKA lebih baik lagi, toh saya kira itu lebih baik dan terasa dinamikanya oleh para anggotanya, begitu pun dengan produk, mereka lebih bisa menyajikan berita dengan baik, saya sangat salut untuk hal tersebut.

Hari itu ketika saya pulang membayar hutang saya ke Iqmah, saya bertemu Aad di SUAKA, ia mungkin habis kuliah, soalnya a tadi berpapasan dengan Santi  yang jaketnya hijau, ketika kami bertiga duduk2 depan rektor, semacam yang berdemo mungkin, namun ini tujuannya lebih ekonomis. Bayar hutang.

Selanjutnya adalah shalat Jumat, materinya sangat keren, tentang profesionalisme dan timbal balik manusia dengan manusia dan semuanya dalam bahasa agama yang keren, banyak hikmah dari sana, dan entah mengapa saya tak mengantuk hari itu.

Ternyata Aad pulang duluan setelah Jum’atan, begitu pun saya berjalan sendirian, tulisan, Tanrise GO TO HELL sempat saya baca di dinding proyek samping mesjid, ternyata kapitalis baru telah datang, dan bersiap-siap memberikan efek mekanis terhadap manusia setempat.

Aad telah duduk manis di sekre SUAKA, monitor tak hidup juga, sepertinya mengobrolkan desain untuk baju SUAKA dengan Hamdan hari ini tidak bisa berjalan lancar, dan agenda selanjutnya ialah menemui Yoga, mahasiswa Aqidah Filsafat jurusan MAHAPEKA ini ternyata belum sampai di bawah pohon rindang yang kami sepakati,  ada Riza Fahlepi sedang duduk di warung dan mengobrol dengan temannya, saya hanya makan ayam bakar disertai nasi saja, segelas teh sebagai penutupnya, begitu pun yoga akhirnya datang juga.

Sepertinya harus segera pulang, karena makin siang saja hari ini, dan akhirnya sempat juga ngobrol sama Hamdan hari ini, sepertinya ia sedang sibuk dengan dirinya sendiri, banyak urusan mungkin?

Saya menuju parkiran motor saya berada, ternyata makin kacau saja kampus ini, bangunan boleh bagus, tapi sekeliling bangunan adalah reruntuhan yang entah  kapan akan jadi apa, semoga saja lebih baik lagi.
Jalan Soekarno Hatta pun aku lalui, dengan senang hati.


#diketik dengan senang hati
# ;)

Sembilan belas hari setelah hari buruh

Semisal hari ini, bangun pagi yang indah dimulai dengan mencuci pakaian yang telah baru saja aku dapatkan, dari temanku, sebuah celana jeans yang aku pastikan akan mengkerut, ya begitulah bahannya, entah mengapa sekarang sedang musim celana jeans yang strech, atau bisa melar, begitu pun warnanya sepertinya biru dongker akan berubah sedikit menjadi abu2, dan itu pun yang terlihat sekarang setelah dicuci, warnanya sedikit abu-abu.

Begitu pun dengan sarapan, ternyata, rice warner di rumah saya tidak hidup dengan listriknya, ada yang memutus aliran listriknya, sebuah tangan ternyata telah dengan sengaja mencabut saklar yang ada padanya, dan ternyata membuat imbas yang sedikit saya membuat pekerjaan lagi sebelum makan sarapan pagi ini, saya harus menyangrai nasi tersebut, setelah katel telah siap, saya pun memanaskannya di kompor gas tentunya, begitu pun katel tersebut, sepertinya telah hangat bahkan jikalau dipegang tengahnya mungkin akan panas sekali.

Nasi di piring telah sedia, waktunya untuk menjadi panas telah datang, dan saya pun menyangtrainya, ternyata sang katel sangat panas oleh apinya, begitu pun saya lupa untuk mengecilkan apinya, walhasil ternyata sedikit hangus dan berwarna lain dari nasi sangrai yang biasanya aku masak, pagi ini aku harus sarapan, mungkin hari ini hari yang panjang.

Sepertinya hari yang panjang bukan sebuah diksi yang baik untuk sebuah hari, namun lebih baiknya lagi aku istilahkan dengan hari yang biasa saja, soalnya masehi tetap dengan kategori 24 jam dan begitu pun hijraiah hitungannya tetap pada lima waktu, ya shalat itu tadi.

Sekarang saya belum shalat isya, maunya ingin segera namun saya tertarik untuk menyelanginya dengan menulis, ya maksud saya mengetik, sudah beberapa hari ini saya tidak mengetik, ya maksud saya mencatat, mencatat bahwa hari kemarin adalah hari yang indah seperti biasanya.

Sebetulnya, saya agendakan hari ini mendengar suara merdu di balik telepon, namun sepertinya kalah oleh hasrat untuk menulis, seolah suaranya tertulis saja, begitu pun hal itu, toh aku masih ingat suaranya seperti apa, jadi sepertinya menulis tak akan membuat waktu itu semakin mundur.

Siang ini ada motor yang terus melaju selam kurang dari empat jam tanpa berhenti maksud saya, dan jikalau kau tahu itu motor saya, motor Shogun 125 keluaran dealer tahun 2005, begitu pun dengan bannya, telah beberapa kali berganti, baik ban dalam maupun ban luar, saya sudah lupa berapa kali motor tersebut berganti ban, ataupun saya mengisi bensinnya, jika dulu saya suka mengumpulnya tanda terima dari tiap POM bensin yang saya beli bensin darinya, namun sepertinya saya sudah tidak seperti itu lagi.

Motor saya sudah hangat pagi ini, ya karena saya harus membeli bahan untuk kaos tim pesenan saudara saya, ya itu karena ibu saya terlalu pendek memotong rib untuk kaos tim tersebut, dan alhasil saya harus membelinya lagi.

Bapak saya telah siap[ untuk pergi bersama saya, begitu pun motor saya ia sudah ada di gang depan rumah saya, adik saya membawanya ke sana, sepertinya bapak saya ada panggilan mendadak untuk menuju ke sekolahnya, ya mungkin engkau tahu, selain penjahit saya juga seorang lelaki panggilan antar jemput sembari senggang, ternyata saya senggang hari ini, yaa maksud saya menyenggangkan   waktunya saja, jalanan Banjaran telah ada di depan saya, begitu pun dengan helm yang ada di kepala saya masih warnanya abu-abu, dengan ban yang masih menyentuh jalanan, berdua saja dalam motor tersebut menuju Buah Batu,

Buah batu telah aku singgahi, begitu pun di depan saya banyak anak SMP sedang bernapas, saya tak menghiraukannya, setelah berpamitan saya pun menuju Sukajadi, sebuah daerah yang kerap kali macet dengan kendaraan plat b, saya sangat ingin membuat kaos bertulisan, PLAT B NGAN NGAMACETKEUN LEMBUR di belakang, semuanya bertulisan huruf kapital, dan LEMBUR AING KUMAHA PAMARENTAHNA di depan, dan semuanya dengan kapital juga, saya suka risih dengan orang asing yang suka bawa kendaraannya, buang sampah dan membuat macet kota saya, kota BANDUNG raya.

Borma itu telah ada di depan saya, ternyata menelepon beda operator itu membuat pulsanya berkurang banyak, sebanyak sisi dari pulsa saya habis terpakainya hanya untuk tahu adik saya sedang ada di mana, begitu pun ia sedang ada di Borma, dan saya menghampirinya dan memberikan titipan kakaknya untuknya, saya segera pulang untuk menghadiri resepsi pernikahan temanku Wulan Eka.

Banyak cerita tetang Wulan, ia itu saya tahu dari ibtidaiyah, yang secara saya kan murid yang bodoh pasti tahu klo murid yang pintar itu yang mana, hiks hiks, rasanya sedih juga saya mengakui kebodohan saya, tapi toh itu kan masa lalu, dan sekarang saya tak tahu apa saya masih lebih bodoh darinya.

Begitu pun sepertinya nasib berjumlah lain untuk masih berteman sekelas dengannya, ya maksud saya setelah pindah dari Garut saya sekelas dengannya di tsanawiyah kelas c, entah mengapa kelas itu seperti pembuangan orang-orang gagal, beragam sekali maksudnya, lebih jelasnya beragam kasusnya, ada saja kasusnya teh.

Begitu pun saya sepertinya harus jadi bagian dari beberapa kasus, dan kami pasti tahu akan indahnya kata teman sewaktu di kelas tersebut.

Hari ini Wulan dipinang oleh mempelainya saya tak tahu siap namanya, yang jelas tertulis Jay di bawah janur kuning yang ada di depan pos ojek di Patal tersebut, saya sadar saya sangat terlambat datang, oleh karenanya, sepertinya maaf saja biasa saja, karena nanti akan dimaafkan juga, atau mungkin entahlah.

Inginnya aku ngamplop saja, dengan uang sekadarnya, tapi sepertinya mengkado lebih baik, kado yang biasa saja untuk teman yang baik, ditambah lagi Kamilah temanku menitipkan lagi kadonya untuknya,

Ia serba ungu hari ini, entah mengapa warnanya mayoritas ungu, mungkin ia suka band Radja, hehehe, ia terlihat sangat cantik hari ini, begitu pun esok harinya mungkin, ia kan akan sedikit berubah karena setelah hari ini ia akan resmi dihamili oleh suaminya, dan kemungkinan besar akan menjadi seorang ibu yang keren sekali sangat pisan.

Jika ia baca saya akan tulis,

Jikalau Alloh itu maha tahu, saya harap ia tahu semua keinginan baikmu dan semoga ia mengabulkannya,
Begitu pun jikalau Alloh itu maha besar, maka besarkanlah perutnya, ya maksud saya ia akan segera jadi ibu, jadi tidak hanya ngurusin perut orang, ia kan seorang bidan,
Bagitu pun jika Alloh maha indah, maka saya harap hidupnya indah seperti kata indah ada dalam kamus bahasa Indonesia, tanpa adanya absurditas dan diksi tafsir yang mungkin akan membuat pemaknaannya kabur,
Dan masih jikalau Alloh maha keren, aku harap sebagian kekerenannya ada padamu untuk selama engkau hidup berdua dengan suamimu,
Dan ini jikalau yang terakhir, jikalau saja doa saya tidak dikabul oleh Alloh, saya harap masih ada kesempatan orang lain untuk mendoakan hal yang lebih baik untukmu,
Dan karena kami teman pada waktunya,
Aamiin!

Sepertinya aneh juga doanya tapi entahlah itu sepertinya tulisan yang biasa saya tulis.

Sepertinya jalanan Patal mulai banyak orang yang mau pulang ke rumahnya, sepertinya mereka lelah setelah habis bekerja di pabriknya masing-masing.




*diketik sebelum shalat Isya
*diketik dengan jari semaunya
*begitu pun semuanya tak tertulis dengan detail

Malas Menulis

Sepertinya aku sedang malas menulis, malas untuk mencatat, baru saja aku terbangun dari tidurku ternyata Isya belum aku jelang.

Aku sepertinya sedang malam hari ini, malas untuk mengobrol, malas untuk mengingat hari ini ada apa, malas untuk berolahraga.

Aku malas untuk menceritakan pagi ini sangat cerah, begitu cerahnya, bahkan mematahkan ajakan untuk tidur kembali dan beristirahat dari panjangnya hari kemarin, begitu pun ajakan ibuku untuk mendengarkan ceramah pagi ini, ceramah ustad Arif apalah itu terusannya, aku kurang hafal.

Aku malas untuk menceritakan bahwa Pa ustad telah lama telat untuk datang, mungkin dari persiapan penyelenggaranya, PC Persis Banjaran, begitu pun isinya sangat Persis sekali, bab kejamaahan, begitu pun aku malas untuk mencatatnya, aku hanya mendengarkannya, dengan kesimpulan, bahwa ajakan untuk mendapat kartu anggota Persis, tapi seberapa penting mendapat kartu tersebut, walaupun banyak unek-unek untuk Persis, yang aku kira lebih ortodoks dari sistem Ormas lainnya.

Aku malas untuk menceritakan bahwa alun-alun pagi ini sangat ramai dengan para penjual, barang, mulai motor hingga basreng, ternyata banyak kegiatan ekonomi di sana, walaupun Perdanya tertera jelas di setiap gerbang yang ada di alun-alun kota saya, Banjaran.

Aku malas sekali berbicara untuk membuat surat pembaca ke media, soalnya aku kira alun-alun kota aku tetap akan jadi taman kota, begitu pun malam harinya akan tetap jadi ajang prostitusi terjelas yang aku ketahui sepanjang hidupku, dan aku kira akan tetap begitu selama masyarakatnya merasa tidak memiliki alun-alun sebagai ciri dari masyarakatnya.

Aku malas sekali hari ini, sehingga aku tidak segera untuk hadir di pernikahan temanku, sebenarnya kata teman mungkin saja dipertanyakan kembali, memang ia teman seangkatanku dulu ketika di pesantren dan mungkin saja ia tahu siapa aku, tapi saya kurang tahu dia siapa selain nama dan alamatnya, yang dulu aku kenang sebagai tempat rekonsiliasi reuni yang tak jadi.

Inginnya aku tidak malas hari ini, karena hari ini kemacetan aku jelang dengan berkeringat-keringat, begitu pun alamatnya Rika NS aku jelang di Rancaekek, lebih tepatnya di rumahnya, soalnya saya tak tahu apa nama desa yang ia tempati, ataupun nama gang yang harus saya tulis hari ini, begitu pun dari undangannya, lewat SMS dari Rivan saja, menunjukkan hanya rumahnya saja.

Sepertinya kemalasan membuat hasil yang jelas, ketika datang ke resepsi pernikahannya sang mempelai wanita tidak hadir di tempat duduknya, aku kira teman-teman sudah lebih dulu datang dan mungkin sudah pulang, dan aku temukan Dendi dengan baju yang serba kuning emas, keren! Sekedar bersalaman dan ucapan goodluck terucap pelan, dan selanjutnya mengantri untuk makan siang di resepsi pernikahan.

Dan yang aku tahu, ketika makan itu tidak boleh membuat hal mubazir terjadi.

Begitu pun hari ini sepertinya sepertinya aku akan segera pulang setelah bersalaman dengan mempelai nanti, namun sebelum pulang ternyata Wahid dan belahan hatinya datang, Wahid, saya kenal itu sebagai teman yang lebih saya kenal dari pelaku pernikahan hari ini, ia itu warga Cigondewah yang awal mengakunya warga Mahmud, atau apalah itu tempatnya.

Sebenarnya aku sangat malas membahas Wahid itu seperti adanya, yang saya tahu ia itu aktivis HIMA HIMI Persis yang ga jelas juntrungannya, ya maksud saya tak tahu akhirnya, ia akan tetap jadi aktivis atau jadi apa setelah jadi aktivis, dari ucapannya ia berminat jadi sepenuhnya belahan hatinya Lena, ia berminat untuk berbisnis makanan ringan, oleh karenanya itu semoga ia sukses untuk usahanya, berbeda jauh dengan masa lalunya yang kelam di pesantren dulu, yang kerap kali tersingkap dari obrolan semua teman.

Begitu pun lena aku tahu ia itu dari facebook, dan dari group yang telah aku sadari aku keluar dengan sadar, begitu pun lena, ia bertunangan dengan Wahid, namun aku bisa tak datang di harinya, sepertinya aku sedang lupa hari itu aku ngapain saja.

Wahid dan Lena berjalan di depanku, berjalan menuju rumah Riska, yang aku kenal juga hanya dari facebook saja, ia telah menikah dulu, ya maksud saya ia telah menikah dengan suaminya mendahului Rika NS teman seRancaekeknya.
Jika tak salah ia menikah dengan seniornya dulu di pesantren, dan begitu pun suaminya aku kenal ia dengan Hasan, dan aku tak tahu lebih dari ia siapa selain ia suaminya Riska, ingatan dan pengetahuan saya terbatas dari hal-hal itu saja.

Dan saya sedang duduk di rumahnya Riska, di depan saya ada minuman yang saya bawa dari resepsi tadi, dan begitu pun di depan saya ada Ulan, dan siapa itu saya lupa lagi, sepertinya ia juga teman seangkatan saya dulu di pesantren, di samping saya ada Leli, ia itu seorang ibu guru yang belum menikah, ia itu barusan menanyakan apakah saya bawa sampel kaos atau tidak, sepertinya ia harus mengerti saya itu datang menghadiri resepsi pernikahan bukan untuk berbisnis.

Adalah Leli yang saya kenal dulu ketika konsolidasi reuni yang ga jadi, begitu pun ia, saya kenal ia sebagai teman seangkatan saya dahulu di pesantren.

Siang kini telah makin siang, sepertinya aku sedang malas hari ini untuk berdiam lama-lama, dan ternyata teman-teman telah datang, begitu pun kami berjalan untuk menemui sang mempelai, dan teman-teman telah duduk di kursinya ketika saya datang, Danil telah berkemeja, begitu pun Rijal Bejo, dan ada Faisal Icang telah duduk di kursinya bersama istrinya.

Dan aku malas untuk menulis hari ini, esok aku teruskan lagi



*diketik sembari senggang

Cibiru, pagi ini

Saya sedang duduk manis di depan layar komputer ini, barusan telah sarapan dan begitu juga segelas susu putih telah cukup untuk membuatku bersyukur untuk bisa menulis kembali, sekedar menunggu waktu cahaya semakin terang di luar sana.

Sembari senggang saya sering berfikir, apalagi ketika senggangnya saya sedang duduk ceria di WC, aduh kok jadi rada garila kitu nya? Tapi itulah yang mungkin saya tulis, dan sepertinya tak akan saya hapus, dan begitu pun saya sering membawa handphone saya ke dalam WC, untuk sekedar membalas SMS dan mendengarkan lagu.

Pagi ini saya secara sengaja mendengarkan Kyte, judulnya Each life critical, entah mengapa suara manusia di lagu ini Cuma beberapa detik, maksudnya kurang dari satu menit, dan hampir semuanya lagu tersebut instrumental, dengan kata lain lagu yang keren sekali, entah apa mereka menamainya, alirannya ataupun genre yang sering masyarakat katakan untuk lagu, dan saya kategorikan bahwa lagu ini keren sekali.

Kadang kala saya mempunyai anggapan bahwa hal ini lebih baik, ataupun hal itu lebih indah, dari lagu hingga hal-hal detail yang sering saya pikirkan, dan begitu pun kebingungan, yang kadangkala membuat saya bingung dan tidak, mungkin juga itu berlaku untuk banyak orang yang hampir seperti saya.

Kadang untuk membuat rasa itu berbeda adalah dengan merasakannya, semisal bagaimana indahnya cinta, ya paling bagus adalah merasakannya ataupun rasa lainnya, atau mungkin saja itu hanya perasaannya saja.

Semua orang pasti tahu bahwa sakit itu seperti itu, begitupun sedih itu sangat menyakitkan, namun bagaiman mendefinisikan bahwa sedih itu adalah hal seperti penggambaran kesakitanya, jikalau sedih itu larangan, maka sebaiknya sedihnya itu tetap bersenang-senang.

Saya sering aneh ketika banyak persepsi berbeda dengan yang saya tafsirkan, mungkin banyak variabel untuk menjawab banyaknya kemungkinan, ataupun banyaknya cara untuk menihilkannya.

Saya rasa tak semuanya harus sama, begitupun dengan selera ataupun sebuah hal detail yang kerap kali menjadi buah pemikiran, ataupun buah bibir di masyarakat, karena saya pikir semua halbaik pasti disetujui, yang saya pastikan berbeda adalah sangsi untuk hal buruk.

*sembari senggang

Terbilang

Jikalau ini rayuan maka anggaplah demikian dan jika pun ini hanya sekedar iseng mengisi waktu luang maka anggaplah demikan dan jika pun kau tahu ini kebohongan, aku ingin kau tahu bahwa kebohongan ini tak bisa mengalahkan katalisnya padamu.

Sering sekali aku dapati rasio sebagai bandingan kamu dan orang lain, rasio sebagai pengingat sejarah bahwa aku sangat suka kamu luar dan dalamnya, tentang kamu yang tak pernah berlebihan untuk hal yang kamu ketahui, apa adanya kamu begitu pun kurangnya kamu ketika sadar dan tak sadarnya aku.

Aku tahu rasio perbandingan aku untukmu belum aku ketahui hingga sekarang, hanya hitungan kalkulasi yang mungkin sekali aku pahami kemungkinannya, kamu untukku nantinya.

Rasio yang mungkin sebagai bandingan kesempatan aku mendapatkanmu untuk selanjutnya aku pinang didepan orang tuamu, orang yang sudah tua yang mungkin sekali jadi orang tuaku juga nantinya. Kamu mungkin belum sadar atau tahu betapa seriusnya aku untuk kamu, ataupun kamu bagi aku.

Aku tahu rasio ini hanya diskusi-diskusi nonformal yang selanjutnya hanya jadi katalis panasnya rasaku untukmu, katalis yang membuat semua perhitungan buyar untuk sesaat, hingga kata-kata lainnya akan menjadi sebagian hidup kita. Kata yang akan aku ingat setelahnya.

Kau tahu beberapa waktu lalu, aku sempat hitung berapa percakapan yang telah kita buat, atau pun setiap kronik percakapan yang aku buat untuk mengenang bahwa aku pernah berbicara denganmu, untuk mengingat sejarah, sejarah yang kosong dan isinya kita berdua.

Namun rasio untuk menulis tersebut saya hapus menjadi biner, bahkan menjadi tak hingga ketika kau bilang hal tesebut  tak kau sukai.

Jikalau kau tahu, rasio untukmu hampir tak terbilang bagiku, mulai hitungan biner hingga tunggal penjumlahnnya tetap sama, begitupun keinginanku kau menjadi sama dengan di hidupku.

Bagimu yang tak terbilang, sempat aku cari cara bagaimana hitungannya tetap sama dengan kamu, bagaimana menghitung penjumahan, bgaimana menghitung pengurangan, perkalian, bagi kurung, faktor, hingga bagaimana mencari koma untuk selanjutnya kamu menjadi titik dalam batasan bilangan.

Kau tahu mengapa aku sangat berhati-hati untuk menjumlahkan kamu dengan aku, harap kamu tahu saja, aku ingin kamu menjadi sama dengan dalam semua cara penghitungan rasio dalam kehidupanku.



*diketik sembari senggang

Siang Ini Bandung Cerah Sekali, 2

Beberapa saat lalu jalan otista telah aku lewati, beserta jajaran angkot yang sedari tadi menunggu para penumpangnya, di hadapan saya jalan BKR tengah lengang, tak seperti biasanya tapi itulah yang saya lihat, perempatan BKR- Mohamad Toha terlihat lengang, atau mungkin belum ramai seperti biasanya.

Saya menyebrang setelah jaket waterproof saya saya lepas, gerah sekali rasanya, udaranya mulai panas di Bandung sekarang ini, namun melihat langit cerah, sepertinya rasa syukur sepatutnya terucap, karena jika hujan orang di Dayeuh Kolot sepertinya kurang nyaman dengan agenda Alloh tersebut.

Saya ingin berjalan panjang hari ini, hingga dayeuh kolot jika bisa, dan nyatanya pasti bisa.
Kau tahu musium apa yang ada di depan saya, itu namanya musium Sri Baduga, saya tak tahu pasti mengapa namanya seperti itu, seperti nama seorang perempuan, hal itu dibuktikan oleh beberapa teman wanita yang ada di kampus ataupun beberapa saudara yang bernama sri, mereka perempuan, atupun mereka itu bukan perempuan, entahlah juga, saya tak pernah lihat apa yang ada di balik pakaian mereka selama ini, atau mungkin meraka itu mengaku-ngaku aja jadi perempuan.

Di depan Sri Baduga sedang ada panggung dan tenda yang besar, sepertinya akan ada acara yang akan berlangsung, atau mungkin juga telah berlangsung, atau mungkin juga sudah selesai, dulu saya pernah iseng bersama teman main ke Sri Baduga, musium yang keren menurut saya, ya seperti khalayak ramai itu menyebut musium, dengan berbagai benda di dalamnnya, menjadikan kita tahu beberapa benda itu sangat bersejarah.

Dan di depan saya itu dulunya itu pom bensin, namun entah mengapa sekarang tak beroperasi lagi, mungkin karena BBM nya naik, ataupun entahlah apalah itu alasannya mereka menutup POM tersebut.

Dan berikutnya itu markas Pemuda Pancasila, beberapa orang sangat tahu apa itu Pemuda Pancasila, mungkin mereka sangat nasionalis sehingga mereka berani memakai lambing negara sebagai identitas mereka, tapi mengapa harus loreng hitam orange, tidak seperti warna nasionalis yang merah putih, atau mungkin mereka itu anak jurnalistik uin yang menyamar, soalnya meraka itu suka warna teresebut, atau mugkin juga The Jak yang berpura-pura jadi Pemuda Pancasila.

Yang saya tahu Pemuda Pancasila itu memungut retribusi kepada para pedagang di beberapa daerah, bahkan seorang pemborong proyek jalan, sempat marah-marah di Koran PR soalnya ia terus dimintai uang pajak jalan oleh Pemuda Pancasila dan BBC.

Mereka itu ormas, atau organisasi kemasyarakat, atau mungkin  juga preman yang terorganisir.

Selanjutnya jalan Mohamad Toha saya jelang, di sepanjang jalan banyak sekali orang memperbaiki jalan, ya maksud saya membuat gorong-gorong di sepanjang jalan tersebut, yang saya anehkan kenapa harus di musim hujan, bukan pada musim kemarau ang airnya sedikit, atau mungkin mereka sukanya pada masa air merlimpah sehingga gorong-gorong cepat basah, basah seperti waktu banjir dadakan menyerang semen padat.

Tapi itulah beberapa rizki bagi mereka yang melaksanakannya, toh semua ada alasannya, begitupun saya yang menganggap aneh atas fenomena tersebut, alasannya juga sangat sepele, saya tak bisa berbuat apa-apa selain mempertanyakannya.

Tak terasa gedung BPK dan jalan kurdi telah saya lewati, dan saya jelang jalan paling panjang di kota Bandung, jalan Soekarno Hatta, jalan yang sangat gersang menurutku, berbeda jauh dengan jalan Aceh atau Cipaganti, yang ademnya belum bisa dikalahkan oleh jalan lain.

Di jalan Mohammad Toha sedang ada razia kali ini, banyak pengemudi motor memutar arah ketika melihat polisi, entahlah mengapa mereka seperti tak punya wibawa, atau mungkin mereka hanya preman yang menyamar, dan seperti itulah anggapan saya, saya tak percaya polisi memberikan efek positif jika sikap arogansi masih ada di akar rumput organisasi mereka.

Banyak masalah klasik untuk polisi mulai apalah hingga itulah, semuanya seolah jemu dengan masalah yang hampir sama tak punya akhir.

Ternyata jalan-jalan itu membuat cape, seolah lama berjalan, padahal baru dua jam saya berjalan, tak terasa Palasari hampir saya jelang, dan itu membuat saya ingin membuang air kecil dan walhasil karena tak ada WC terdekat akhirnya saya harus bersembuyi untuk buang air kecil dan oleh karena itu saya baru sadar kenapa banyak supir Angkot dengan seenaknya buang air kecil di samping jalan, mereka itu pasti kebelet seperti saya.

Dan Palasari saya jelang dengan menghirup udara coklat khas PT ceres, penghasil polusi udara paling mengenakkan untuk saya, namun entah untuk mereka yang setiap hari harus menghirup bau coklat.
Dan palasri saya jelang untuk makan dahulu.

Enak juga rasanya seelah beberapa jauh berjalan, dan selanjutnya masakan khas padang sembari istirahat. Dan teh dingin sebagai penghilang dahaga telah habis.

Jalan ini masih tidak seramai biasanya. Begitupun suara yang saya kerap dengar tak terdengar dari speaker handpne saya, inginnya saya dengan sekarang.

Begitupun sura itu terus terdengar, dari Palasari hingga Dayeuh Kolot menjelang, dan ditutup oleh habisnya baterai handphone dan magrib saya jelang di depan POM bensin Dayeuh Kolot.


*diketik sembari senggang

Siang Ini Bandung Cerah Sekali

Sepertinya saya sedang bingung dan inginnya berjalan-jalan, bahkan berlari-lari jikalau itu mampu, saya sedang ada di jalan Otista sekarang ini, sebuah jalan yang katanya itu adalah nama tokoh yang ada di hampir seluruh bagian Indonesia, Otto Iskandardinata, ia itu murid nya HOS Cokroaminoto seingatku, untuk Bandung jalannya memanjang dari ujung gubernuran hingga batasnya di Tegallega.

Dan saya sedang berjalan-jalan disana, jalan yang banyak sekali penjual buah-buahan semisal dukuh, begitupun semua jajaran toko di sana tak buka semuanya, mungkin jalan itu sudah tak seramai dulu, soalnya jikalau Perdanya jalan, jalan tersebut dilarang ada PKL nya, tapi entahlah mereka tetap berjualan saja di ruas jalan itu, mungkin permasalahannya dilematis, soal kesungguhan dalam menata kota.

Beberapa waktu kebelakang toko yang akan aku kunjugni itu melaksanakan tutup. Ya maksud saya toko tersebut tutup, inginnya aku membeli bahan di toko tersebut, namun tidak jadi sepertinya soalnya aku tak menggira kalau paskah menjadi hari yang panjang menuju hari sabtu.

Begitupun hari ini menjadi cerah, cerah sepertinya cocok untuk jalan-jalan.

Kaki saya sedang berjalan kaki menuju arah Kebon Kalapa, ya maksud saya perempatan itu, sebelumya saya cicipi kolek khas yang ada di Kalipah Apo, saya tak tahu pasti mengapa jalan tersebut namanya itu, tapi saya sadari itu nama yang unik, dan terlebih lagi jika terus saja ditelusuri ada sekolah yang menjadi cita-cita dan angan-angan besar umat Persatuan Islam, ya maksud aya itu Persis. Persis dengn p besar.

Tapi entahlah, bahwa Persis itu besarnya karena apa? Karena sejarakah? atau karena tokohnya, saya harap Persis besar karena umatnya, bukan masalah jumlah, namun kualitasnya.

Kolek itu rasanya manis sekali, dengan makan di samping jalan rasanya enak sekali, ditambah lagi rasanya seperti dulu saya cicipi, ketika lanit cerah, dan ibuku mengajakku untuk mencicipinya. Itu dulu, mungkin aku tak ingat itu kelas berap, karena yang aku ingat pakaianku masih berseragam abu putih.

Beberapa toko telah aku lewati, beberapa siswa SMP berjalan di belakangku, begitupun di depan beberapa sisiwi SMU menunggu Angkot di perempatan jalan,  dan bank itu pun telah aku lewati, perasaan aneh mulai datang, ketika kulihat, seorang wanita tak berbaju sedikitpun cekikikan di trotoar, semua orang yang berjalan  menghindarinya. Aku miris melihatnya, mungkin perasaan sebagai seorang penjahit membuatku merasa bersalah, karena tidak bisa memberi lebih baik selain doa, semoga lekas sembuh, dan yang paling aneh lagi, seorang polisi ada di depannya, menyuruh para pedagang untuk tetap teratur, dan POM bensin satu-satunya di Otista aku lewati, dan hampir saja aku masuki kantor Tiki, namun aku urungkan karena Tegallega akan aku singgahi sebentar lagi.

Tegallega, sebuah daerah yang mungkin asalnya tegalan yang luas, ya itu merunut kata Tegallega itu , namun sepertinya hal itu benar adanya diperkuat oleh adanya lapangan yang luars beserta tugu yang besar itu, besar seperti cita-cita Bandung lautan api, yang pasti pengorbanan Mohamad Toha dan Mohamad Ramdan tak akan sia-sia.

Mereka mati dengan pengorbanan yang mungkin tak semua orang akan terpikir, kalau untuk bersungguh-sungguh itu bisa dengan nyanya sendiri.

Terminal itu aku singgahi, Angkot Banjaran telah hadir dibelakangku, sepertiya aku akan tetap bejalan hingga baterai HP ku mati.


*diketik sembari senggang