Jumat, 20 Juli 2012

Jumaahan 13

Adalah saya yang sedang mengendarai motor pagi ini menuju Bandung, Leles telah aku lewati beserta razia polisi itu juga aku telah lewati, pemandangan yang sedikit aneh untuk sepagi ini, tapi itu tak akan merubah pandangan burukku untuk polisi, mayoritas polisi maksudku, mereka para sipil yang bersenjata.

Begitu pula Rancaekek itu akan saya jelang dan ternyata Dinda masih ada di Subang tengah makan mie, dan segera ia akan ke Bandung untuk mengurusi urusannya dengan beberapa orang yang ia mendapatkan urusan dengannya, dan tentunya dengan kuitansinya.

Saya tengah sampai di Suaka, sebuah daerah yang ada di Cibiru, sebuah Sekre yang selalu saya kenang untuk masa mahasiswa yang telah saya lewati tanpa kesimpulan yang pasti, saya ingin mendengar khutbah di mesjid As-Siraj siang ini.

Jalanan cibiru tengah lengang siang ini, dan begitu pula Dinda tengah ada di buah batu untuk urusannya yang mungkin ia sangat pentingkan. Dan saya menuju kesana setelah Jumaahan selesai.

Sepulang dari masjid saya dapati Dede, ia seorang mantan presma saya dahulu ketika saya masuk kelas MKS, sepertinya ia tegah gusar kerena baru saja resign dari pekerjaannya, terkesannnya saja, soalnya perkataanya sepertinya tidak teratur untuk siang ini, ia tengah bersama seorang perempuan, mungkin ia itu istrinya, atau mungkin pacarnya, ia dulu kerjanya di CIMB, tapi itu dulu, saya hanya memberi saran yang mungkin tak banyak merubah keadaan, mencari kerjalah atau berwiraswasta.

Dan sayapun pamit pada Nasrul dan Salman, juga Hamdan untuk segera menuju Buah Batu.

Dan itu adalah saya yang telah duduk di halaman Stembi, untuk menunggu seorang bidadari jatuh dari tangga lantai dua, dan Dinda tengah ada di halaman lain parkiran sekolah tersebut.

Kami punya renacana untuk hanya bermain-main di Bandung ini, telah lama saya tak jumpai Dinda ternyaa hari ini ia pakai celana, saya tak menduganya sebenarnya, tapi begitulah adanya, dengan dandanan serba hitam ia terlihat seperti itulah. Cantik sekali.

Sembari menunggu waktu,menunjukkan jam 3 sore saya mengajaknya mencari panganan ringan di Buah Batu ini, dan SMU 22 adalah tempat saya sekolah dulupun saya jambangi saja, semoga ada jus dingin disana, dan tentunya ada Panji juga, saya masih ada urusan keuangan dengannya.

“Nda tanggal sabaraha ayeuna?” tanyaku singkat.
“Tanggal 13,” ujarnya singkat.
“Pangnandaankeun dina HP, taun engke jadi hari anniversary,” timpalku singkat.
“Najong...” jawabnya sembari tawa terurai.

Dan saya harap itu jadi kenyataan, tapi jiakpun harus kisah sedih sayapun akan menikmatinya, soalnnya sudah lama saya tak bersedih, tapi itulah adanya, saya sangat tahu pilihan kata sedih itu lebih sedikit dari senang.

Sebenarnya banyak sekali alibi yang saya bangun siang ini, hanya untuk berdua saja, eh mungkin banyakan dan itu saya dengan dinda, beberapa malaikat dan ratusan setan sedang ada dipikiran ataupun pada beberapa hal yang saya anggap itu sangat ghaib.

Dan ternyata Panji belum datang siang ini, dan para warga teater bohlam mau siap-siap untuk MOS hari senin esok, semoga saja saya bisa hadir esok, tapi entahlah, banyak kain di rumah saya soalnnya.

Mesjid di 22 tengah diam saja ketika koridornya mendapat penampilan baru, keramik yang baru mungkin untuk menyambut murid baru tahun ini, banyak sekali penampilan yang lebih hijau di 22 tahun ini, begitupun Dinda tengah shalat ditemani genderang drumyang ditabuh bertalu-talu.

Da hari ini saya akan kenang untuk beberapa jam yang singkat, saya tak ingin membaginya menjadi tulisan mengingatnya saja sudah cukup, mengingat kalau hari ini adalah hari yang indah, meskipun ke Cimahi hanya untuk mengisi bensin premium, dan sedikit mengantuk ketika menjalankan motor menuju pulangnya badan ke rumah di Banjaran, dan itu adalah saya yang mengetik catatan pagi ini.


*diketik dengan senang hati

Jum'at pagi ini

Sepertinya itu adalah saya yang sedang bingung mencari alamat Cirengit tempat futsal di Garut raya, itu tempat futsal yang tengah Husni, Udin dan teman-temannya bermain bola. Bola kaki tepatnya.

Setelah beberapa menit saya mencari tempat tersebut akhirnya saya jumpai juga tempat tersebut, sebuah daerah yang bisa ditempuh dengan 10 menit berkendara motor dari Rancabango.

Mereka tengah asyik bermain bola dengan kaki dan badannya, tawa ringan kerap kali terdengar merdu di malam Jum’at yang dingin ini, Garut sepertinya tak menampakkan banyak bintang malam ini, ternyata Zaki telah pulang dari kampusnya di Malaysia, Zaki itu adiknya Husni, adik kesayangannya. Sepertinya begitu.

Malam ini mereka sepertinya tengah asyik bermain bola dan saya pun tak dihiraukannya, saya hanya mendengar suara merdu di telinga saya, seorang yang mungkin jika pada waktunya akan menjadi cita-cita saya untuk hidup saya yang singkat.

Ternyata ada Fikri tengah bermain bola, saya sendirian sangat kaget untuk beberapa bulan tidak bertemu penampilannya berbeda jauh sekali dari sebelum ia menikahi istrinya, ia berubah beberapa kilo lebih banyak, dan futsal sepertinya sangat cocok untuk jadwalnya sebagai seorang suami.

“Ka pesantren heula atuh?” ujarku
“Hampura ke we deui, aya urusan heula,” ujar Fikri
“Wah nyaan teu bisa di pending heula ieu teh?” tanyaku singkat
“Biasa malem Jumaah, nyunahan heula,” jawabnya singkat
“Aiihhh, heureuyna make status KTP euy ayeuna mah,” timpalku

Obrolan yang singkat diakhiri oleh tawa riang dari banyak orang,  ternyata Fikri menjadi seorang petani hari-hari ini, semoga lancar saja, diselingi oleh bermusik sepertinya, soalnya ia meminta beberapa referensi band yang saya tahu, semisal Bloc Party dan Pale saint, Mogwai dll, semoga saja bermanfaat.

Dan adalah saya yang tengah mengendarai motor menuju Rancabango, Udin telah pulang mendahului sepertinya sama akan melaksanakan tugasnya di malam Jumat ini.

Gerbang pesantren telah tertutup malam ini, dan mi hangat sangat nyaman untuk dimakan malam ini, sepertinya itu pun diamini Husni, begitu pula Zaki.

Malam ini Husni hanya main poker onlen saja, sepertinya ia tengah keranjingan main permainan itu, bermain kartu dengan entah siapa,
“Judi etamah ning, ni?” tanyaku
“Kartu,” ujarnya
“Aslinya ni,” timpalku
“Judi mah teu perlu modal, nupasti mah kawani na,” ujarnya

Entah sampai jam berapa ia bermain game, yang pasti ketika saya terbangun subuh sudah datang, begitu pun para jemaah telah hadir di mesjid, jumlahnya pun seperti halnya saya dulu ketika pertama kali datang, jumaha yang akan saya kenang, ketika shubuh itu lima shaf, dan itu sangat keren, karena shubuh di tempatku itu paling banyak dua shaf.

Pagi ini sepertinya cerah, tak banyak awan putih yang menemani langit Garut, dan sepertinya hangatnya air sempat terlintas, namun ada janji yang harus saya tepati di Bandung hari ini. Saya harus pulang.


*diketik sembari senggang

Kamis Juli, tahun ini

Dan saya sedang duduk di depan komputer ketika Movie Script Ending mulai dinyanyikan oleh Death Cab For Cutie, ternyata mengetik itu mulai tidak secepat dulu ketika hampir tiap kronik saya ketik, sepertinya jari ini mulai lambat dalam mengetik.

Hari di tanggal dua belas Juli ini saya tengah mengendarai motor yang sudah lama saya kendarai, akhirnya sampai juga di Moch Toha, sebuah jalan yang saya harap tidak ada pabrik di sisi jalannya, dengan selokan yang bersih dan sungai Citarum yang jernih seperti kata taruma diartikan oleh kaum pribumi di tanah pasundan ini.

Adalah saya yang tengah mengantarkan ibu saya untuk membeli bahan yang ia kehendaki untuk membuat baju dan beberapa kaos pesanan dari langganannya, begitulah risiko untuk menjadi seorang penjahit seperti saya dan mereka yang punya hajat hidup atas bantuan jarum.

Dan Otista telah saya lewati untuk segera memulai kesibukan lainnya, mengambil uang di teman saya, Santi namanya, ia anak suaka yang tengah Aad sangat sukai, saya sangat merasa bersalah karena perhitungan saya salah dalam menentukan waktu, janjinya saya sampai jam 12, ternyata sampainya jam 1 siang, alangkah saya menyesal untuk itu.

 Ternyata Santi tengah berdiri manis di samping pak Satpam di depan kampus, ternyata ia akan segera pulang untuk menemui ibunya di rumahnya di Salawu, sebuah daerah yang dulu saya jadikan tempat penelitian untuk tugas sosiologi dan antropologi saya ketika SMU, kampung naga namanya.

“Bumi abimah terus deui ti Naga teh,” ujar Santi menerangkan ketika mengobrol di kosannya, entah mengapa saya jadi ingin ke Garut, karena hari ini saya tak ada kerjaan dan saya pikir Salawu bukan tempat yang jauh untuk ditempuh.

Alhasil, akhirnya saya akan mengantarkan Santi ke Salawu setelah lama menunggu di kosannya, ketika Santi telah beres mencuci pakain, sebelumnya saya ke Suaka, inginnya mengajak Aad untuk ikut serta, dan mungkin jika jodohnya ia akan menemui calon mertuanya yang bisa bahasa Inggris.

Saya tak mengira ternyata Salawu itu tempat yang lumayan jauh, ditambah lagi jalanan yang baru untuk jalur saya yang belum saya kenal sehingga perjalanan itu saya lalui dengan santai saja.

Pemandangannya sangat bagus untuk saya yang kerap kali di depan mesin jahit, begitu pun dengan udara dingin sepertinya kurang cocok untuk celana ketat yang saya pakai.

Tasik malaya itu artinya, tasik yang malaya, begitulah dari penuturan Santi, kabarnya banyak batu sisa Galunggung yang menyembur sehingga sepanjang sawah yang saya lewati banyak batu sebesar pintu kerap terlihat, dan begitu pun kampung naga saya jelang, dan sebentar lagi rumah Santi akan saya jumpai.

Hari telah sore untuk wilayah Tasikmalaya, ketika saya sampai di rumahnya, ia mempunyai seorang ibu yang membuka les privat bahasa Inggris, mungkin jika mengobrol denga Miko ia akan memulai bahasa Britishnya, ataupun dengan Ratna, Hayati ataupun Risna yang sejurus dengan bahasa tersebut.

Santi punya dua orang adik yang sekolah di SMK dan SD, namanya Nabil, mirip dengan pacarnya Miko, mirip namanya saja maksud saya tidak secara fisik, soalnya ia itu laki-laki.

Saya jadi enak sekali ketika ada makanan di depan saya, ikan goreng telah tersedia ketika saya makan, dengan nasi panas tentunya jadi enak sekali.

Dan saya harus segera pulang sepertinya, karena teman di Garut telah menunggu saya, di perjalanan pulang ada suara merdu yang hadir di earphone di samping helm saya.

Ternyata Salawu tak sejauh tadi ketika rutenya mulai saya ingat lagi, saya kira anak-anak SUAKA sangat bisa menjadikan Salawu sebagai arena untuk mengisi liburan yang nanti akan dikenang oleh tuan rumah dan semua anggotanya.

Dan Salawu saya pulang dulu, jikalau sempat main lagi ke sana.

*diketik sembari senggang