Kamis, 20 Desember 2012

Mencari Ratu di ladang manusia


Adalah saya yang baru saja pulang bermotor ria di pagi hari, dan mendapatkan nomor handphone yang baru, diberikan oleh Hamdan, karena ia ingin mempunyai kupluk seperti yang saya pakai, dan itu setelah saya pakai beberapa kali, dengan ikhlas ia memberikan saya pulsa sebesar sepuluh ribu setelah ia saya berikan uang sebesar sebelas ribu juga dengan ikhlas juga ia memperbolehkan saya pulang karena saya ada urusan di rumah saya, seorang teman yang dulu pesan jaket ingin ke rumah dengan temannya yang sebenarnya adalah tetangga saya.
Dan saya sedang mendengarkan puisi Sapardi dengan petikan gitar di antaranya, Ku Ingin judulnya. Sepertinya ungkapan aneh yang atas nafsu nya api membakar kayu sehingga aku ingin itu seolah ketiadaan saja dan bersisa abu, seperti kasih tuhan yang memberikan nikmatnya dan dibalasnya oleh manusia dengan dosa dan memberikan neraka untuk hasilnya, seperti hukum akumulasi saja, semuanya itu akumulatif, seperti apa yang kau inginkan begitu pun hasilnya seperti yang kau jumlahkan.
Rabu yang hangat telah mengantarkan saya untuk berada di Cibiru, dan menemui teman saya Miftahul Khoer, ia kerap dipanggil Miko, seperti nama Jepang tapi tidak untuk perawakannya ia khas orang Indonesia, sekarang ia lebih gempal dari pertama kali saya bertemu dan itu lima tahun lalu ketika saya pertama kali menemuinya di Suaka.
Di Suaka juga saya membuat janji dengan beliau, ia telah membuat situs yang keren, seperti dahulu juga yang seperti yang ia inginkan noiseyouth.com namanya, jika saya ingat itu nama asal bandnya terdahulu dan akun twitternya pun namanya demikian.
Saya inginnya membantu dalam menulis namun sepertinya kesibukan saya dalam membuat beberapa barang harus membuat saya berpikir lain untuk membantunya, sehingga dalam chattingnya saya akan membuatkannya merchandise dengan keuntungan yang didapat sebesar 20 persen untuk tiap barangnya.
Begitu pun Bayu saya temukan ia di Suaka, ia sedang berkecimpung di museum, mungkin ia ingin mengawetkan sejarahnya dengan lebih elegan dan ikut serta dalam pembuatan merchandisenya dan saya inginnya membantunya jika hal tersebut disetujui oleh forum yang ada di museum tersebut dan saya inginnya bisnis saja.
Dan begitu pun Fajar Fauzan menawari saya proposal untuk program sekolah terintegrasi dan ketika saya tawarkan untuk Husni Muttaqien ia sepertinya tertarik semoga saja bisa memberikan kebaikan.
Dan adalah hari Rabu itu saya punya janji dengan seorang gadis asal Cibiru, saya tahu ia namanya Ratu, saya panggil ia Atu, ia mengaku dipanggil Dede di keluarganya dan saya minta antar ia untuk membeli buff saya yang hilang di Suaka.
Sepertinya UAS membuat ia lupa untuk temani saya namun ia akhirnya ikut juga ke Jatinangor, dan lebih parahnya lagi saya tak tahu apakah buff ada di sana atau tidak.
Sepertinya tidak itu jawaban yang saya dapat soalnya tertulis Rei bukan Eiger dan begitu pun setelahnya hanya berjalan-jalan saja menuju bioskop 21 dan ini kedua kalinya menonton bareng, ia lebih cantik sore itu dan filmnya yang lama sempat membuat mengantuk, tapi The Hobbit itu lumayan presequel yang keren.
Dan pulangnya pun demikian, berangkot-angkot pulang dengan hujan kecil yang reda setelah sampai di Cibiru.
Hari ini adik saya diwisuda dengan predikat terbaik di fakultasnya, dan saya belum juga, sehingga UPI saya jelang dan banyak orang di sana, sepertinya saya melihat Ratu di sana, tapi benar gitu? itu mungkin perasaan saya saja seperti mencari Ratu di ladang manusia saja, soalnya ia sedang UAS sepertinya.


*diketik dengan senang hati

Kamis, 06 Desember 2012

Sebelum ke rumah jahit

Sekarang itu hari Kamis, Kamis di bulan Desember, ya Desember di tahun ke 12 di milenium kedua, dan sekarang sudah pagi, kurang lebih jam delapan kurang beberapa menit, dan saya masih mendengarkan lagu saja, sepertinya banyak agenda bulan ini, seperti halnya target bulan ini adalah beberapa tas, dan beberapa tenda, entah mengapa saya sangat penasaran ingin sekali buat tenda buatan saya, buatan saya yang bisa saya tes ketika nanti akan kudaki Burangrang akhir tahun ini.
Itu sih rencananya, tapi sangat ingin sekali, barang kali jika aku catat keinginan ku aku bisa mencapainya secepatnya karena bisa aku ingat kembali, meskipun papan tulis putih di kamar sebesar dinding telah saya catat, kadang kala saya jarang masuk kamar, soalnya kegiatan menjahit dan sebagainya tidak dilakukan di kamar tidur.
Kamar saya seperti gudang saja, banyak alat-alat jahit dan barang yang sudah jadi, semisal tas, hammuck, sleeping bag, dan alat-alat penyerta dalam pembuatan barang yang saya suka, entah berapa jika dikalkulasikan mungkin bisa membayar hutang saya pada teman saya, namun semua belum menjadi uang, dan kadang kala saya merasa jadi tak menentu jika ingat hal itu, namun apakah mereka yang punya hutang pada saya seperti itu juga.
Dan baru saja saya lihat layar hp saya, pengingat bahwa orderan yang lalu segera saya antarkan, tapi sms saya untuk seorang di sana belum juga ada balasannya,mungkin itu tak ada gunanya jika hanya ucapan have a nice day.
Seperti kata seseorang di speaker, hujan yang menghilangkan awan, menghilangkan air dengan basah, menghilangkan panas dengan debu, dan menghilangkan katalisnya hingga induksi itu sempurna, sepertinya saya memaknai kasih sayang itu demikian.
Dan baru saja drown dari The Smashing Pumpkins baru beres dinyanyikan, dan sepertinya saya harus bereskan mengetik, karena ada beberapa kaos yang saya harus bereskan untuk pagi ini, hingga siang menjelang sore.


#diketik sembari senggang

Puisi dan catatan

Saya sedang mengetik ketika musikalisasi Sapardi tengah dinyanyikan, khas suara jaman dulu, jamannya Broeri Marantika ataupun itu namanya, saya dulu sering mendengarnya dari kumpulan kaset tembang kenangan milik bapak saya yang kadang diputar pagi hari ketika libur kerja tiba, dan kadang itu mengganggu jadwal saya menonton Doraemon dan Dragonball Z, tentunya bukan itu yang membuat saya ingat, mungkin karena sudah lama saya tak dengar Sapardi dinyanyikan di speaker, dan sekarang sudah lagu ketiga, liriknya memang juara, tapi bukan juara adzan, karena adzan itu puisi monumental dari Bilal Bin Ribah, seorang mantan budak dan Sapardi tak bisa mengalahkan indahnya puisi dari seorang kulit hitam seperti Bilal, saya yakin itu.

Banyak teman saya suka buat puisi, tapi entahlah kadang saya tak mengerti puisinya itu tentang apa, meskipun beberapa puisi saya tahu tentang apa, namun tetap saja itu hanya perumpamaan, bahkan lebih pada penggunaan kata dan majas-majas yang awam digunakan masyarakat.

Sepertinya begitu, karena tiap kali saya mencoba membuat puisi saya pun menggunakan hal-hal yang demikian, sedemikiannya kadang kala membuat perasaan saya seolah itu karya orang dan saya hanya menyonteknya, tapi entah yang mana orangnya, tapi itu hanya perasaan saya saja. Terlalu banyak input kadang mengeluarkan output yang sama tanpa adanya pengolahan.

Saya lebih suka buat catatan saja, seperti catatan belanja saja, yang perlu dan ada uangnya saya tulis dan yang tidak penting saya tidak tulis, mencatat itu seolah bicara saja, namun lebih jelas karena menafsirkan teks tunggal. Beda dengan bahasa lisan yang kadang membuat penafsir dan pengguna kadang merasakan ambigu, padahal semua terdengar jelas, dan lebihnya teks itu dapat berkali-kali diingat kembali, karena monumentalnya tidak dikurangi ingatan dan dikikis lupa, semuanya bisa dibaca ulang kembali.

Pernah saya buat catatan yang ketika saya baca ulang kok kayak Curhat gitu, tapi sepertinya catatan itu seperti curahan hati seseorang saja, jujurnya mencatat itu melawan lupa saja, sebentar tapi bukannya gerakan melawan lupanya Alm Munir, mencatat itu untuk mengingat bahwa satu saat saya pernah demikian, pernah merasakan indahnya gairah tulisan itu, karena kadang kala mood datang tiba-tiba, dan semua variabel tersaji maka catatan sepertinya bisa digunakan untuk menuliskan sebuah kisah yang nantinya menjadi pengingat waktu itu.

Untuk puisi ataupun sajak kadang kala saya tak bisa membedakannya, karena dari beberapa buku punya bapak saya, kumpulan puisi dan kumpulan sajak sepertinya sama saja. Dulu ketika masih menjadi siswa saya pernah dengar kata Mantiq dan itu mungkin bahasa lainnya dari pengguna majas-majas dalam bahasa Indonesia dalam kebudayaan arab, sepertinya begitu karena dari ingatan saya sepertinya begitu, hanya penggunaan majas, dan sepertinya semua orang jika sudah datang ilmunya bisa membuat sajak ataupun puisi seperti semua orang membuat catatan belanjaan saja, yang ia ketahui ia tulis dan ia bisa modali ia tulis, yang ia tahu bisa ia torehkan sebagi karya monumentalnya.

Kadang kala penulis dan pembuat puisi menjadi strata tersendiri dalam sebuah komunitas, seolah yang sah untuk membuat sebuah karya tulis berupa catatan dan puisi, sepertinya kurang adil karena Alloh SWT memberikan waktu yang sama, kesempatan yang sama, bahkan kadar udara yang sama, jadi terlalu berani untuk manusia membedakan manusia lainnya dengan dirinya hanya karena ilmunya lebih banyak dibanding manusia lainnya. Dalam pandangan saya manusia yang paling berani adalah manusia yang berani melawan tuhannya.

Bagaimanapun caranya sepertinya budaya menulis itu perlu dimasyarakatkan, agar masyarakat melawan lupa, agar tahu lebih banyak, agar lebih banyak memberi tahu.




#diketik sembari senggang

Bermain ke Cibiru, PJMTD tahun ini


Adalah saya yang sudah beres menjahit pesanan orang, menjahit memang kadang kala menyenangkan tapi kadang juga kurang menyenangkan karena harus berpacu dengan melodi, eh kok ada Kris Biantoro dalam tulisan ini, waktu maksudnya, ditambah lagi jika terjadi kecelakaan seperti tertusuk jarumnya jari tengah di tangan kiri, dan itu rupanya terjadi di Jumat sore yang basah, karena langit banyak sekali mencurahkan kasih sayangnya sedari habis Jumat hingga sore hari habis.

Tidak penting rupanya paragraf awal itu, seperti info BMKG saja dan mungkin penting atau tidak penting itu tetap penting atau tidak bagi yang punya kepentingan, dan apalah tulisan jika hanya ditulis saja dan hanya menjadi tulisan saja tanpa ada maknanya.

Sabtu ini sudah hujan rupanya, ya maksud saya sedari siang hujan sudah datang dan saya sedang menunggu kapan saya siap untuk berangkat dengan menggunakan motor adik saya yang suprafit tahun jebot itu, saya menggunakannya menuju Cibiru, tempat yang mungkin sakral bagi sebagian orang, sakral karena mungkin cinta pertamanya berlabuh di sana atau mungkin cintanya juga kandas di sana, gelar sarja pertamanya, kenagan indah dan hal lainnya ada di sana dan di sana ada Suaka tempat saya dulu tinggal dan kerap menidurinya ketika malam tiba.

Saya telah siap dengan hadiah kecil untuk Suaka sore ini, dengan uang secukupnya dan keberanian yang biasa saja saya jalankan motor saya, rupanya itu tetap membuat saya deg-degan karena memang begitulah hidup harus deg-degan karena jika berhenti maka sebaiknya fasih mengulang lafadz talkin sebelumnya.

Dan setelah magrib langit terlihat muram, tak tampak bintang kecil yang selalu saya nyanyikan ketika kecil dan bulan tampak buram karena kabut datang ternyata sore ini dan sepertinya ada kerinduan tersendiri karena selain saya ada juga yang mau belajar menulis di Suaka, belajar untuk menjadi manusia yang lebih berguna untuk memaknai sebuah tulisan, belajar untuk tahu bagaimana bersikap seperti kebanyakan orang hasil didikan Suaka.

Be bob a lula sedang dinyanyikan Andy Tielmans pagi ini, sepertinya Senin pagi yang indah untuk menulis, dan sepertinya begitu, pagi yang indah dengan beat rockabilly yang kental dengan suara yang khas, dan sebelumnya saya juga sering mendengarnya di sekretariat Suaka yang dulu, sembari mengetik atau menggambar saya sering mendengarnya, ingat lagu ini seperti ingat dengan pagi yang cerah di kampus dulu.

Jalanan tak terlalu macet sedari saya berangkat tadi, dan rencananya saya akan mengantarkan pesanan celana Yoga yang sedari tadi sudah menunggu di angkringan, dan Lulu juga pesan hal yang sama, dan kabar indah dari Galah datang juga, rupanya hatinya telah tertambat di seorang dara asal kotanya, dan sembari menunggu saya lupa membeli jajanan di angkringkan karena lupa saya malu dan saya sebaiknya segera menuju tempat PJMTD, sebuah acara rutin yang khas dengan teks dan linguistik.

Bagi saya PJMTD adalah awal dari kesesatan, ya membuat saya tersesat dengan teks dan tulisan-tulisan, bacaan-bacaan dan tersesat dalam alur yang membuat saya tahu bahwa hidup itu indah jika menikmatinya dengan biasa saja, seperti kata Alloh dalam tulisannya yang direpro ulang oleh banyak percetakan, “dan apalagi yang akan kau dustakan,” dan sepertinya tak ada yang harus saya sembunyikan untuk tetap bersyukur tersesat dalam kebaikan.

Charis dan Nasrul sudah menunggu di depan saya, acara sudah berlangsung dan saya akhirnya datang juga, sepertinya acara sudah mulai malam ini membuat lapar dan akhirnya makan juga setelah seharian lupa makan, Ivan dan Nasrul temani saya makan.

Sepertinya karena perjalanan malam membuat saya masuk angin dan pusing sekali malam itu, tapi obat dari Iqmah berhasil mengusir pusing dari pikiran saya, dan yang lain tengah sibuk dengan kesibukannya.

Semua orang sudah punya tugasnya masing-masing, dan semua punya kesempatan yang sama untuk jadi yang terbaik, terbaik yang bisa ia berikan untuk kesempatan hidupnya, dan malam ini disudahi dengan istirahat, kebanyakan media buatan peserta PJMTD itu seperti PJMTD sebelumnya penuh dengan  tulisan tagan, tempelan, angan-angan dan itu seperti semoa orang yang telah ikut PJMTD di Suaka.

Dan Minggu saya jelang, tadinya mau pulang saja, karena ada tamu yang akan menuju rumah namun sepertinya sore saja, dan ini adalah acara pencarian berita, jika jaman dulu saya mencarinya sendiri, dimulai dari malam hari hingga pagi-pagi harus beres, sungguh menguras tenaga dan pikiran, tapi ada kebanggaan tersendiri ketika media yang saya pegang itu bisa saya katakan, “ Ini buatan saya,” dan mungkin tak sebaik media lainnya tapi itu adalah sebuah kebanggaan yang bisa saya banggakan selain kebanggaan lainnya tentunya.

Pasar tumpah tampak ramai pagi ini, Asep yang sedari pagi telah menjajakan ikan yang dipesannya dari Sukabumi, dengan bangga, “Ieu mah diamond,” ujarnya sembari memperlihatkan sebuah ikan kuning bergaris hitam di sirip atasnya, ia menjajakan banyak varia ikan dimulai dari ukuran kecil hingga ukuran yang besar, seperti Plontosan yang mirip Louhan namun berbeda dari badannya dan tampak mukanya berbeda juga, tapi bagi saya semua ikan sama, hidupnya di air.

Asep hanya menjual ikan air tawar, dengan harga yang bervariasi dari belasan ribu hingga yang ratusan ribu, dari 2004 ia telah mulai berdagang, berbeda dengan Asep, Yadi seorang warga Cibiru berjualan kumang yang ia gambari dengan banyak jenis gambar, mulai gari doraemon hingga shoun the sheap hadir dalam kumang jajakannya, ia menjual bersama rumah-rumahan dari bahan spon yang ia beli dari Cirebon, “Meni rajin,” ujarku, “Mun teu rajin mah moal hirup atuh,” jawabnya singkat.

Dan senin siang ini juga peserta PJMTD akan sama seperti saya dulu, mereka akan menyerahkan hasil kerja kerasnya untuk beberapa jam ke belakang, dan selamat menikmati prosesnya saja.

Saya kira setelah hari penyerahan media itu adalah titik yang kritis untuk menjadi anggota Suaka, karena mulai dari sini perjalanan tak akan sama lagi, semula berkelompok kini akan menjadi individual, dan biasanya penyusutan calon anggota akan dimulai dari sini, tapi saya yakin yang terbaik akan menjadi anggota suaka.


#diketik sembari senggang

Mei Nanti saja

Saya suka sekali dengan Mei, bukan keren hari buruh saya selalu bikin tulisan tentang buruh, atau pun ada beberapa teman saya yang kebetulan menikah di bulan itu, bukan karena Agus Rahman yang dipanggil Ringgo ngomong mei be yes mei be not, bukan pula karena hari besar kaum sosialis seperi sosialisnya saya ini.

Saya suka sekali bulan Mei, jika bolah saya anggap itu adalah Januari di kalender masehi dan Syawal di kalender hijriah, dan sebuah awal dari perjalanan, entahlah, saya suka sekali bulan itu.

Biasanya Mei itu tidak banyak hujannya, begitu juga tidak anyak terlalu panasnya, maksudnya panas udaranya gitu. adapun enak sekali bicaranya "Mei!" dan itu mungkin menurut saya saja.

Dan entah mengapa saya ingin punya kegiatan besar di bulan Mei nanti, punya toko yang real, punya pacar yang sebelumnya saya tanya kedua orang tuanya, boleh ga saya jadi calon menantunya, punya kendaraan baru ataupun punya tanah lagi, buat rumah saya, punya rumah mungkin itu lebih keren, punya hapalan yang banyak untuk ayat-ayat yang sering saya lewati untuk diingat kembali, sepertinya membacanya saja tak cukup, punya koleksi buku yang lengkap, oh Ihya Ullumuddin kapan kamu lengkapnya? punya hal-hal yang istimewa, punya hal yang bisa saya syukuri, tapi itu cuma rencananya saja, entah esok masih ada nafasnya atau tidak, entahlah minimalnya saja saya sudah ada rencana besar yang saya ingin bikin, jikapun tak Mei esok, esoknya lagi mungkin masih ada Mei lainnya, itu juga klo ga kiamat, hehe.

ini cuma iseng aja soalnya saya selalu ingat Mei saya beberapa tahun ini asa kelabu gitu, saya rencanain Mei esok mungkin lebih ceria, seperti kata Yuni Shara, September ceria, dan ini kata saya Mei nanti lebih ceria dari Septembernya yuni, dan itu Mei nanti saja.


#ditulis sembari senggang

Mari berpulang dengan tenang


Beberapa saat yang lalu sudah lima tas saya buat, lima tas abu-abu sisa bahan dua tahun yang lalu dam sekarang sudah malam rupanya, malam yang singkat kurang dari empat jam lagi saya pasti dibangunkan karena harus sahur, sedari Isya mama sudah mulai memasak persiapannya untuk sahur pagi nanti, sekarang malam Jumat, tanggal delapan Muharram.

Muharam itu mungkin sebuah bulan yang banyak haramnya, atau mungkin banyak halalnya juga, ya seperti barusan baru saja saya sadar bahwa ini malam jumat, atau mungkin sekarang sudah Jumat lagi, sebuh tanggal untuk dirayakan, Jumat yang agung, saya ingin menulis saja di malam yang sepi ini, sepi sekali, hingga kadang sura kucing-kucing yang saya tak masukkan rumah terdeengar jelas sekali suaranya, malam hari memang punya banyak misteri.

Sudah beberapa menit saya mengetik ternyata banyaknya tenaga yang keluar membuat saya mengantuk, dan esok saya akan bangun pagi, jas hujan sudah menunggu untuk dibuat dengan bahan parasit, kakak sepupu saya pesan ukuran, ia ingin melihat ukurannya, dan saya yang membuat empat ukurannya.

--------------

Adalah pagi, ya bukan seperti pagi seperti biasanya, saya sudah bangun dengan perut yang terisi sehabis shubuh kami makan-makan, sekarang sudah tanggal 9 Muharram tepatnya, ya seperti tanggal yang sama sebelumnya biasanya sekeluarga berpuasa, dan esoknya juga seperti itu.

Pagi ini saya membuat jas hujan sebanyak empat buah, berbahan parsait merah ati dengan bawahan abu tua, awalnya ingiin menggunakan warna hitam untuk bawahan tapi sepertinya muatnya untuk celana saja, dan seperti itu juga, jas hujannya belum jadi, soalnya saya sekarang tidak menjahit, dan saya baru beres untuk atasannya saja, inginnya saya pulang dengan perasaan tenang, tapi sepertinya saya tahu rasanya, jika sanksi sosial itu lebih menyakitkan dari sanksi manapun, terkucilkan bahkan membuat beberapa orang gila.

Entah mengapa saya merasa diabaikan, mungkin karena jarak yang terbatas tempat saya memakluminya, begitupun sepertinya urusan duniawi yang terus saja membuat otak saya berfikir keras, bagaimana satu juta dalam seminggu itu bisa ada di tangan, dan saya harus membuat persediaan bahan yang saya telah kumpulkan untuk menjadi barang, seperti hari ini dan kemarin.

Saya harap untuk Desember itu lebih bisa menikmati keadaan saya yang sering bingung, dan saya harap bingungnya dalam kesenangan, senang ketika merasa sedih sepertinya terkesan keren, karena bisa merasakan kesedihan sepertinya itu memebuat saya lebih manusia, dari pada saya harus berhadapan lebih dari lima jam dengan beberapa mesin jahit  yang sering saya pakai.

Mesin sepertinya membuat saya lebih tahu bagaimana sistematika yang lebih efisien, atau mungkin efektifitas, dan saya tak tahu banyak dengan hal-hal yang saya tak tahu, tak tahu esok apakah saya masih bisa menjahit, karena sebentar lagi saya akan menjahit jas hujan yang belum beres tadi. ataupun setelah titik di paragraf ini saya seperti apa, masih bisakah pulang dengan tenang?



#sembari senggang

Bermain ke Tasikmalaya

Rabu pagi ini tidak semendung pagi kemarin, pagi yang lumayan banyak sinar mentari, pagi yang menyuruhku untuk mengerjakan satu hal yang kemarin belum selesai, sebenarnya tulisan kemarin itu hampir setengah halaman, atau mungkin tiga paragraf dan terhapus karena saya pijit lambang x di sisi kanan komputer dan mengetik no setelahnya, sungguh pagi yang banyak sekali kegiatannya.

Adalah Sabtu pagi, saat mentari mulai hangat, dan beberapa saat kemudian mulai menyengat mengantarkan saya membawa motor saya menuju bengkel di mana motor saya hampir menuju sore baru beres, Shogun yang sudah lama saya pakai, sudah ratusan kali saya duduk di joknya, sudah ratusan kali berhenti, sudah saya lupa berapa kali saya isi bensinnya, dan saya tak tahu lagi sudah berapa liter yang saya beli dan saya habiskan untuk perjalanan bersama motor itu, dan saya kira Shogun 125 telah siap saya ajak bermain menuju kota santri di selatan Jawa Barat, Tasikmalaya tepatnya, dan sepertinya begitu untuk sore itu.

Hujan datang sebelum saya berangkat, dan hujan juga datang setelah beberapa saat saya berangkat, bertemankan rintiknya hujan saya melaju pelan saja, pelan saja, karena pandangan buram oleh helm yang telah lama menemani saya, buramnya mungkin sama seperti masa depan saya, buram karena saya kadang bingung saja.

Di earphone saya seseorang tengah bercakap pendek saja, dan perjalanan terus berlanjut, buah batu hampir saja jelang ketika tiba-tiba motor saya harus mendadak berasap tebal dan tak berkutik ketika harus masuk bengkel lagi, dan hanya diam saja ketika saya tinggalkan di sebuah bengkel Suzuki depan Metro, berjabat tangan dan mohon maaf mengganggu malam penjaga bengkel.

Angkot Cibiru tengah melaju ketika saya hentikan, saya hanya bisa melihat seorang bidadari tengah tersenyum dan hanya berucap santai ketika perjalanan mulai melaju, saya harus sadar diri, seorang penjahit seperti saya sepertinya tak mungkin halal berjabat tangan dengannya.

Cibiru saya jelang, dan lalu lintas tak padat malam itu, saya bergegas menuju SUAKA tempat saya dulu ingin memulai mimpi saya, Herton sudah tak ada, untung ada Aad berkenan mengantar saya menuju Jatinangor, tempat kami akan berkumpul, tempat kami akan sekadar berpapasan untuk beberapa waktu, karena kami adalah teman.

Adalah saya yang mungkin menganggap ucapan itu adalah suatu akad, baik terjadi pada satu orang maupun pada beberapa orang, seperti halnya ajakan untuk datang pada pernikahan seorang teman.

Wahid adalah seorang mahasiswa yang telah lulus, ia bergelar sarjana Ushuludin dan entah mengapa gelarnya seperti itu, seperti fakultas saja. Atau mungkin sebuah gelar yang akan menemaninya menuju hidup bahagia dengan Lena teman sepenghidupannya.

Wahid akan menikahi lena pacarnya di Tasik,

“Datang heueuh!” ucapnya santai,

“Siap!,” timpalku.

Saya kenal Wahid itu tak begitu lama, jika mengobrol dengan pak Kirman, seorang tukang sablon tetangganya, Wahid dulu enggan disebut namanya dan hanya ingin dipanggil dengan sebutan Hunter, atau mungkin penyebutannya dengan Hanter saja, entah mengapa pak Kirman berujar demikian, atau mungkin itu yang paling berkesan tentangnya, soalnya masa lalu kan tak ada yang tahu, seperti halnya masa depan saja, tak terlihat jelas. Buram karena seberapa jauh kita bisa merasakan masa depan kita tetap saja hidup di hari ini.

Entah mengapa seolah harus saja, meskipun hanya sebuah ucapan, meskipun banyak pekerjaan di rumah, dan sepertinya kondisi tidak memungkinkan jika pakai hitungan akumulatif, tapi jumlahnya tetap biner.  Saya harus datang.

Malam Minggu yang cukup dingin di Jatinangor, ada seorang pengantin baru di kamar kos, ia dipanggil Adam, ia tak bisa hadir karena pekerjaannya menganggapnya demikian, ia tengah gembira sepertinya dan ajakan memaksa hanya akan merubah situasi gembiranya saja, begitu juga ia sepertinya terlarut dalam tidurnya meski adzan Shubuh telah datang ketika saya tinggalkan ia begitu saja, Husni dan Kahfi  telah datang menjemput, untuk segera menjelang Tasikmalaya, jalanan masih basah sepertinya embun menemani dinginnya udara Rancaekek ketika saya jelang dan Garut saya temui beberapa menit kemudian dengan tak terasa seperti barusan saja, sepertinya obrolan politik membuat saya muak sekali, tapi bukan pada orangnya, tapi pada semua variabel yang membuat teman saya berpolitik. Itu saja tentang politik. Entahlah kenapa saya tak suka yang demikian.

Danil telah beberapa kali dikabari ketika saya hampir sampai di Garut, dan entah mengapa ia begitu lama kami tunggu, dan kami sepertinya harus meneruskan perjalanan yang menuju siang ini menuju Tasikmalaya setelah Irsyad dan Rian kami temui, Terios silver itu terus melaju dan entah mengapa teman-teman berubah menjadi menjengkelkan, atau bahkan menyebalkan.

Saya tak suka jalanan dengan mobil, jika pakai bus untuk perjalanan  kurang dari tiga jam saya masih kuat, tapi lebih dari itu saya berpikir dua kali untuk melaksanakannya, saya lebih pilih kereta atau motor saja.

Dan kami telah samai di Tasikmalaya, sebuah sebutan lain dari kota santri, jalanan benda kami abaikan dan mulai melaju pelan menuju kanan, daerah dekat Dadaha itu sepertinya sedang berbenah menuju kota besar, terlihat dari banyaknya pembangunan di daerah itu.

Rombongan kami dua mobil, dan semua tempat duduk telah terisi, ada Ijul dengan istrinya, dan ada juga Acid dengan suaminya dan Rika dengan suaminya yang mungkin masih ada di rumahnya, begitu juga ada Anggun dengan kemeja batiknya, dan mereka memakai kendaraan berplat B dari Bekasi dan ada Irfan dengan adiknya yang menjadi istri Ijul.

Andi tengah santai sepertinya di hari Minggu yang cerah di Tasikmalaya namun tidak untuk keluarganya, hanya Andi yang tersisa dan beberapa pegawai terlihat di hari Minggu dengan pekerjaannya, dan rumah sebesar itu lengang saja, dengan suara mesin bordir yang terdengar sayu di pagi hari temani saya tidur karena perut samping kiri sakitnya lumayan menyiksa.

Saya kira saya akan sakit hari itu, namun sehabis bangun sakitnya tak kentara. Dan kami melanjutkan perjalanan, sebuah gedung tengah terdengar alunan musik, musik khas undangan pernikahan, mulai dari dangdut dan lagu-lagu yang sedang sering terdengar di media-media setempat, entahlah saya tak terlalu suka, saya lebih suka lagu-lagu yang mereka kurang kenal, dan mungkin jika mereka kenal, mereka akan lebih suka dari saya.

Wahid tengah berkuning emas tua hari itu begitu juga Lena, hanya doa khas pernikahan di islam yang saya bisa ucapkan, dan jawaban amin yang saya dengar, jika pun itu sebuah ucapan saya kira demikian, tapi entahlah saya harapkan lebih.

Jika saya sadari bahwa dua variabel silaturahmi telah terjalin atas terikatnya dua orang ini, semoga jalinannya makin kuat melebihi kuatnya jalinan tali yang kusut ketika bermain layangan, jalinan yang lebih kuat dari tambang yang sering Ucok pegang ketika ia berlayar di lautan, jalinan yang lebih kaut dari seutas tali yang sering dipakai menarik kendaraan yang mogok, jalinan yang lebih kuat dari obat kuat yang sering dijual di jalanan hingga malam, dan jalinan yang lebih kuat dari bersatunya oksigen dan carbon yang membuatnya mengepul di udara, dan jalinan itu saya harap ada di wahid dan lena di harinya.

Jika saja saya bisa berharap, ya Alloh dua orang ini teman saya dan mungkin akan seterusnya menjadi teman saya, saya harap mereka mendapat hal yang paling baik diantara yang paling baik untuk hidupnya, untuk keturunannya kelak.

Wahid tampak gagah siang itu, dan Lena tampak menawan hari itu, mereka ditemani orang tua mereka, semoga indah saja harinya, karena kami akan pulang sehabis berfoto ria di siang hari yang lumayan panas.

Lumayan aneh hari itu, hari yang seolah tak terduga saja, hari yang keren untuk diingat, karena ini adalah hari Minggu yang akan mereka kenang.

Kami harus pergi, begitu juga saya, harus menyudahi makan-makan di resepsi pernikahan mereka. Saya tulis besar sekali di pigura foto mereka, HAVE A NICE DAY!


#sembari menunggu, ditemani satu album Mono dari Jepang

jika boleh saja

jika boleh saja kuminta satu hari yang indah buat besok
besok ketika mata terbuka dan senyuman manja menjadi latarnya
latarnya yang biru seperti cat dinding kamar yang masih berbau harum
harumnya tak mungkin sama seperti makanan tersaji rapi di meja makan pagi ini
pagi ini saja jikalau boleh untuk esok juga



# kamar sempit ketika asiknya melamun ketika lapar dan sakit

Akad itu meneteskan air mata

Banyuresmi telah kami tapaki pagi ini, meski terlambat namun sepertinya ini adalah yang paling tidak ngaret dibanding kegiatan-kegiatan sejenis sebelumnya.

Mobil-mobil telah terparkir di jalanan pagi ini, beberapa orang telah siap, hingga akhirnya mereka pergi juga.

Adam serba hitam pagi ini, pakaiannya maksud saya, Ma Hindun berungu ria pagi ini. Dan rombongan tengah riuh untuk hari bersejarah untuk saudaranya, dari bayi hingga tua renta tersedia, dari mobil Dolak hingga mobil APV juga ada.

Andi telah hadir pagi ini, dan rombongan kami sudah siap dengan beberapa orang yang telah pulang terlebih dahulu, ada kesibukan yang harus mereka jalani.

Saya dan Rivan ternyata tak dapat tempat duduk dan harus menunggu mobil selanjutnya, mobil yang mengantarkan saya terbangun di jalanan Margawati, sebuah daerah atas dataran lainnya, dataran yang kerap kali menjadi tempat banyaknya orang beternak dan bertani, dataran yang menjadi tempat berakadnya Adam Nur Alam, seorang teman yang saya kenal dari pesantren saya dulu.

Berarak kami berjalan menanjak, dari mulai prolog hingga acara yang bertajuk kebudayaan telah terjadi, begitu juga tetesan air mata seorang teman juga hadir di akadnya, wajahnya memerah, hingga siang ini langit cerah sekali, semoga harimu juga cerah.

Saya masih ingat hukum akumulasi yang sifatnya biner, saya harap hidupmu juga demikian biner dengan hasil yang positif meskipun variabelnya kamu tak tahu, saya harap itu proses akumulasi yang menyenangkan untukmu.

Saya masih ingat dengan hukum pasar yang ada dalam Das Kapital, saya harap kamu tidak seperti itu, saya harap semoga kamu tahu jikalau hukum pasar itu adalah kehendakmu bukan kehendak variabel luar pasar yang sifatnya negatif dan positif, begitu juga untukmu dalam ekonomi. Karena kamu imamnya.

Saya masih ingat penjelasan pertama dari arti ekonomi, ekonomi pada dasarnya sebuah ilmu tentang mengelola rumah tangga, ekos itu rumah tangga, dan nomos itu adalah ilmu terapan, dan saya harap kamu tahu kalau ekonomi itu adalah prosesmu untuk rumah tanggamu. Sebuah proses yang mencapai ekuilibrium yang menjadikanmu konstanta semua nilai yang berlaku.

Saya masih ingat jika bersatunya sebuah jalinan silaturahmi itu akan memperbanyak rizki, saya harap kamu sadari itu karena dua keluarga besar telah terjalin silaturahminya. Saya harap kamu sadar itu jika nanti rizkimu bertambah, kamu bisa bersyukur.

Saya masih ingat perkataanmu di malam hari ketika saya berkunjung ke Jatinagor, “Hirupmah lain ku teori,” ujarmu pelan tapi singkat. Saya harap kamu sadar itu juga setiap saat, karena beragam teori bukanlah penentu untuk hidupmu kelak, hidup untuk keluargamu, sebuah hidup yang indah. Aamiin!
Jikalau kamu tahu apa itu massa, sebuah ukuran untuk berat, saya harap kamu tahu, setiap temanmu berharap yang terbaik untukmu, untuk semua ukuran yang ada, untuk semua konstanta, untuk semua masa lalu yang indah, dan untuk semua masa depan yang cerah. Aamiin!

Saya sadar tak tahu artinya doa Rasulllah untuk anaknya ketika mereka dinikahkan, namun saya berharap lebih dari itu, karena kata-kata tak cukup menjelaskan saya dan teman-teman bersuka atas akadmu, sebuah janji untuk masa depanmu yang akan segera kau jelang.

Saya sadar jikalau ini hanyalah beberapa kata-kata yang tertulis saja, dan saya harap kamu tahu jika kami berharap yang terbaik bagimu kelak. Aamiin!


#diketik untuk Adam sembari senggang

Hari tasyrik terakhir tahun ini

Siang ini sepertinya aneh jika mengatakan ini adalah sarapan, sarapan di hari Selasa yang dengan langit yang cenderung panas, di speaker Jonas tengah berkata Am I Wry No untuk Farah, entah siapa itu, tapi yang saya tahu lagu ini disontek oleh Peter Pan sebelum menjadi Noah. Imitasi kadang kala menjadi plagiasi jika terlalu banyak, dan itu saya tahu.

Pagi tadi saya terbangun di Cibiru, dengan pagi yang terlambat shalat Shubuh, dengan nettbook Salman yang menyala, Norman yang tertutup selimut dan komputer Suaka yang ber WARNING terlihat jelas karena merahnya, banyak virus rupanya komputer jurnalis, semoga hatinya tidak terpengaruh virus yang aneh-aneh juga, karena tugas jurnalis itu untuk kemanusiaan, sampai kapan pun.

Tadinya mau menyapa teman di atas gunung sana, tapi rasanya malas, tubuh saya ingin beristirahat, untuk hari-hari yang terasa panjang, meskipun hitungan detik, jam, dan menitnya tetap sama.

Adalah saya yang tengah mengendarai motor tua saya di jalanan Banjaran Minggu pagi ini, akhirnya Banjaran macet juga rupanya, sangat macet untuk ukuran saya di jam Delapan pagi hari.

Saya akan menuju sebuah daerah di Garut, dengan alamat yang saya tidak ketahui sepenuhnya itu ada di mana, entahlah, untuk sebuah ucapan kadang kala menjadi sangat sentimentil untuk saya. Bagi saya janji kadang kala menjadi beban yang jelas harus terlaksana.

“mang haji dupi alamat akad c adam teh dimana?” tulis saya dalam SMS.

Teman saya Adam akan menikah, ia akan menikahi seorang dara asal Garut, sebuah kota yang membesarkannya dengan semua kekurangan dan semua kelebihannya.

Ternyata Garut mempunyai kelebihan kendaraan siang ini, jalanan Kadungora hingga Leles bahkan hingga menuju Tugu Intan siang ini jalanan hampir terus menerus berjalan pelan, sepertinya hari tasyrik terakhir di tahun ini adalah seperti ini, seperti macetnya jalanan ini, jalanan menuju Garut tahun ini, jalanan yang sering saya lewati bersama Shogun 125 milik saya, milik saya yang harus segera turun mesin, karena kebakaran tiap hari melandanya ketika asap mulai mengepul dari knalpotnya.

Saya awalnya mengira Irsyad telah pergi mendahului saya siang ini, ternyata dari kabarnya di pesan singkat, ia baru saja akan memulai perjalanannya siang ini, dan akhirnya saya menuju Rancabango terlebih dahulu untuk mengetahui tempat yang jelas untuk tempat kejadian perkara. Perkara di mana Adam akan jadi seorang bukan perjaka lagi.

Rancabango telah sepi siang ini, sepertinya tidak banyak santri yang melakukan Idul Adha di pesantren ini, dan keluarga Husni tengah adakan semacam acara keluarga, dan saya menunggui warung buka, hingga akhirnya Hari datang bersama istrinya, anaknya, dan adiknya.

Kami shalat di masjid pesantren, mesjid yang dulu mengajarkan kami shalat berjamaah, dan mungkin yang lain shalat berjamaah, sisanya shalat munfarid di asrama. Sungguh kejadian yang diluar dugaan.

Hari mempunyai seorang anak perempuan yang lucu, bukan berarti orang tuanya tidak lucu, tapi bukan waktunya lucu lagi mungkin tepatnya. Entah kenapa Hari sangat disayang dengan kata Keling oleh teman-teman, mungkin perbedaan warna kulit sangat mempengaruhinya, tapi itu tidak berpengaruh untuk anaknya yang lucu itu, Faza ia panggil demikian.

Adalah saya yang mengira jikalau akad pernikahan itu dilaksanakan hari Ahad, adalah saya yang berangkat pagi, adalah saya yang melakukan perjalanan untuk empat jam melelahkan Garut - Bandung untuk sebuah janji kecil seorang lelaki, dan adalah saya yang baru sadar jikalau teman-teman baru saja datang dari rumah Adam, mereka tengah diam di pelataran masjid, Kutub putra ustad Mulyadi, Ijul, Rian Gorgom, Anggun.

Sepertinya kesalahan saya dalam menandai tanggal berefek tak menentu dalam melakukan kegiatan, terutama ini adalah sakralnya sebuah ucapan akad.

Akhirnya kami menunggu di rumahnya saudaranya Husni, sebuah rumah di belakang warung, dengan bertambahnya jumlah teman sepertinya sangat menyenangkan, ada Wahid di sana yang sepertinya akan memberikan undangannya untuk para undangannya, akan menikah juga rupanya.

Irsyad pun datang, dan Ahmad dalam perjalanan menuju Rancabango.

Beristirahat adalah waktu yang indah untuk sebuah ranjang kapuk dengan hari yang panas, dan setelah makan rendang adalah sebuah kenikmatan tersendiri, dan karena tidur adalah kegiatan perseorangan untuk kami di rumah tersebut.

Ternyata akad nikah itu akan dilaksanakan Seninnya, dan akhirnya firasat buruk itu terjadi juga, susahnya pulang itu terjadi juga, dan akhirnya saya hanya diam di Banyuresmi hingga malam ini saya jelang.

Ternyata untuk menjadi seorang pengantin itu butuh perjuangan butuh mental yang kuat hingga semua variabel mencapai ekuilibrium, sepertinya ada kegundahan di hati Adam, ia tak tenang, dan saya harap ia menikmatinya untuk menjadi proses akumulasi hidupnya, ia akan menjadi seorang suami, seorang bapak, seorang imam untuk istrinya, mungkin panggilannya bukan hanya Syifa saja ada hal lain bagi mereka berdua, hal indah yang akan mereka kenang, hal sentimentil, saya harap jika kamu tahu lagu Symetry dari Mew, kamu akan seindah puisi itu.

Malam ini telah datang, dan Chelsea harus kalah karena peraturan yang tak adil menurut saya, dan malam ini saya harus tidur seperti Wahid, dan Ahmad, dan sepertinya bukan seperti Rivan yang tidur dengan aurat yang tak jelas juntrungannya, dan Icad sepertinya bermain PS bareng Husni dan entah siapa lagi ada di atas sana, di atas yang sedang menggunakan Joystick untuk permainan mereka.

Esok Adam harus berakad nikah.


#diketik sembari senggang

Missing You

Entah mengapa malam ini sulit untuk tidur, mungkin sedari siang terlalu banyak kegiatan menutup mata, sehingga sekarang saja belum tertidur seperti kemarin. Sepertinya rasa sakit tidak berbuah manis hari ini, saya sepertinya kurang bersyukur dengan tidak beristirahat dan hanya mengetik dan mendengar Slowdive bernyanyi di youtube, lagu yang kerap saya hafal, karena delaynya yang mengawang perlahan.

Judulnya Missing you, mungkin saya seperti perasaan saya, sedang rindu dengan kata maaf dari seorang teman yang telah enggan, aduh sepertinya paragraf ini terlalu sentimentil.

Jika ingat kata sentimentil, saya selalu ingat lagunya Blueboy yang Melancholia, bukan alasan yang jelas tapi ingat saja, seolah lagu itu berkata tentang keadaan.

Ada yang menarik dari penggambaran lagu Slowdive yang satu ini, hanya gambaran hitam putih perjalanan seseorang keluar dari stasiun kereta bawah tanah, berjalan berkeliling kota, seolah yang bingung saja, mungkin ini yang membuat judul lagu dan penggambarannya sulit diterima untuk pertama kali, atau mungkin ini penggambaran paling tepat karena, merindukanmu seperti mencari dalam kebingungan.


#diketik sembari senggang,

Cuma Penjahit Biasa

Baru saja jalanan Ciwidey saya lalui dengan teman, Riza namanya, kerap kali dipanggil Jawa, entah mengapa teman-teman memanggilnya begitu, mungkin karena ia bisa bahasa Jawa, atau mungkin karena Banyuwangi bukan Jawa Barat, tentunya.

Koil sedang main di speaker siang ini, sepertinya hari ini akan turun hujan, seperti lagu yang sedang didengar lagu hujan.
Entah berapa kali lagu ini diputar, sangat apik terlantun, dan kabarnya Otong KOIL akan mainkan beberapa lagunya live di Gasibu hari ini, itu juga menurut kabar dari Facebook KOIL dan beberapa kabar dari Seperturan, inginnya aku menontonnya, namun sepertinya aku harus istirahat, beberapa jam ke belakang sangatlah menguras energi.

Sore lalu teman saya Riza tengah berbelanja beberapa keperluan minumnya di Griya Banjaran, dan Miko belum ada kabar jam berapa ia akan berangkat menuju Banjaran, rencananya kami akan menjadi alumni di reformasi SUAKA.

Alumni? Sepertinya lulus saja saya tak sanggup, aduh jadi minder.

Reformasi SUAKA merupakan hal lain dari pemilihan pimpinan baru di SUAKA, saya awalnya bertanya-tanya kenapa namanya Reformasi, menurut Ekos dulu, nama itu disepakati bersama dalam beberapa tahun ke belakang, mungkin efek penggunaan kata tersebut dalam eranya mahasiswa sebagai agen pembaharuan. Baru saja merakan baru mungkin.

Saya mengendarai motor Shogun yang saya punyai di jalan desa Ciapus dengan melewati 36 portal kecil, atau yang kerap kali disebut polisi tidur, entah mengapa saya iseng menghitung hal tersebut, menarik sekali untuk saya, karena dengan jarak satu kilometer kurang beberapa meter jumlah polisi tidur itu adalah jumlah yang cukup mengamankan arena bermain anak-anak yang telah hilang dan menggunakan jalanan sebagai tempatnya bermain sepeda dan lainnya di desa kami. Anak desa sepertiku sangat maklum untuk hal itu.

Di Griya Jawa tengah membawa plastik warna putih dengan sablonan Griya, ia tengah mencari seseorang ketika saya pandangi dari seberang jalan, saya hanya melambai dan mengajaknya menuju rumah saya yang kecil, dua bangunan dengan banyak jendela dan sedikit kamar jika dibandingkan asrama dua saudara.

“Ka imah heula we, sekalian istirahat heula jeng nungguan si Miko dek ka imah,” ujarku

Ia akhirnya ikut juga, di rumah saya hanya bakso langganan depan rumah yang bisa tersaji, maklum saat itu tak ada persiapan menyambut tamu yang akan datang, saya sedang menjahit saat itu dan sekarang sedang mengetik.

Jawa tengah mempersiapkan masa depannya dengan magisternya di Unisba, salah satu universitas sangat ternama di Bandung Raya, saya hanya bisa berkomentar sebisanya, maklum saya hanya buruh jahit biasa.

“Mun gawe mah tetep prioritas, mun kuliah mah investasi,” ujarnya

Saya sangat mengapresiasi niatannya untuk merangkai hidupnya dengan caranya sendiri, toh saya hanya bisa berkomentar saja, bukan memberikan arahan, semoga ia sampai dengan tujuannya dengan usaha dan keyakinannya, tapi kenapa paragraf ini seperti HMI ya, yakin usaha sampai gitu.

Miko dengan motornya tengah diam di dekat tukang buah di jalanan Banjaran sore itu, saya menjemputnya dengan motor yang biasa saya pakai.
Ia rencananya ingin membuat sebuah tas untuk meningkatkan produktivitasnya sebagai wartawan. Saya sendiri sangat salut untuk teman saya yang satu ini, ia tetap seperti dulu, meskipun tubuhnya lebih gempal dari sebelumnya, sepertinya ia butuh olahraga.

Saya hanya bisa memberikan pilihan bahan saja, sebelum adzan berkumandang dan akhirnya kami harus pergi dari tanah di mana aku dibesarkan.

Jalanan Soreang menuju Ciwidey tengah basah waktu kami lalui, hujan sepertinya telah terjadi beberapa waktu sebelumnya. Cimanggu kami jelang.

Banyak sekali orang di ruangan tersebut, mereka tengah pleno, dan sepertinya sangat serius sekali, namun bukan itu yang saya cari terlebih dahulu, saya sangat memerlukan WC saat itu sehingga tidak terlalu mengindahkan Iqmah, Ivan, Salman Kopma dan temannya ketika mereka memasak.

Udara Ciwidey tengah dingin malam itu, sangat dingin sehingga beberapa pleno saya tak terlalu ikuti dengan baik, saya kan cuma penjahit biasa.

Saya pilih untuk tiduran sebentar saja, namun sepertinya itu kalah dengan lumayan berisiknya suara rapat pleno, begitu pun dinginnya udara makin membuat istirahat tidak kunjung nyaman. Menyesal tak kubawa sleeping bag yang biasa aku buat dan kemudian aku jual.

Maklum saja, jika untuk skill menulis saya tak sebaik teman-teman di SUAKA, tapi jika untuk mencari kesempatan mendapatkan uang dari hal yang bisa saya lakukan untuk mendapatkannya, mungkin bisa lebih baik dari strata mahasiswa yang digunakan teman-teman di SUAKA.

Sepertinya ajakan untuk menikmati hangatnya air di pemandian air Cimanggu lebih menarik perhatian kami yang tengah kedinginan ini, sesaat setelah pleno dihentikan untuk sementara, akhirnya saya, Miko, Jawa, Norman, Aad, Iqbal dan Nasrul mendekati pemandian itu, dan akhirnya air hangat itu membasahi kami.

Tak terasa jam 4 pagi telah kami jelang, dan waktunya meninggalkan tempat itu dengan keriput di kulit tangan, dan rambut yang basah kami menuju warung di samping jalan.

Mie rebus dengan telur sangat enak sekali, sepertinya itu adalah menu paling enak di waktu itu. Waktu untuk kami mengingat masa lalu yang akan kami kenang untuk esok hari jikalau umur itu masih ada. Toh mati itu misteri, seperti misterinya kapan mereka akan lupa.

Adzan berkumandang pagi itu, Shubuh kami jelangdan berubah menjadi pagi di Ciwidey, pleno terus berlangsung, saya dan Jawa harus segera meninggalkan tempat itu, tempat yang mungkin akan kami kenali sebagi Reformasi SUAKA tahun ini.

Jalanan saya jelang pulang, dengan beberapa SMS yang kerap kali membuat saya gusar.

Jawa segera menuju Kopo, dan angkot Banjaran saya jelang untuk pulang dan segera menulis, ketakutan akan lupa mungkin menjadi sebab utama kegiatan jurnalistik itu ada.
Takut dilupakan, seperti takut dilupakannya tuhan sehingga ia menulis kitab untuk nabinya, atau itu mungkin terlalu berlebihan, karena rasa sayang tuhan itu nyata jika terus diingat. Mungkin saja.
Entahlah!