Minggu, 17 November 2013

Tentang Al Ghazali

Tadi ada status dari Yoga, ia seorang pencinta alam yangmasuk keanggotaan dari Mahapeka, itu sejenis organisasi PA dari UIN Bandung,saya kenal dari teman dan berlanjut di dunia maya, dan menariknya ia membuat statusyang membuat menarik perhatian saya, dengan “sadar enggak, kenapa,” seolah menyodorkansaya tentang realitas efektifnya teori kelas, dan ternyata itu sangat diimanioleh Yoga, dengan menganggapnya maslahat.

Dan yang sempat terpikir ialah Al Ghazali, dan saya sadarisaya tak semuanya membaca tulisannya, namun ada yang menarik dari bukunya, meskipunbanyak sekali kontroversi tentang karyanya, tentang penyakit akidahlah, tentangkecurigaan ahli hadis bahwa buku Ihya Ullumuddin itu mempunyai kecacatanakidah, tentang filsafat yang dibawa ke ranah teknis ibadah agama, tentangkematiannya yang memegang buku Shahih Bukhary, tentang cara penafsirannya yanglebih menggunakan rasa ketimbang tekstual.

Ada yang menarik dari Al Ghazali, seorang yang berjenggot danmelakukan poligami dan banyaknya karya tentang agama, agama yang rahmatan lil alami.

Sedikit saja, dalam bab bersuci jika tak salah, iamenuliskan ketertarikannya tentang bab yang memulai dari semua ibadah yang jaditiang agama, dari tulisannya menunjukkan bahwa wudlu tak menunjukkanbukti-bukti fisik semata, tak semuanya praktek ibadah menunjukkan bukti fisiksemata.

Dalam menafsirkan wudlu, Al Ghazali menuliskan bahwa airhanya membersihkan fisik semata, namun ada yang lebih harus dibersihkanterlebih dahulu, membersihkan hatinya, menerima bahwa ibadah itu dengan keikhlasanmeskipun caranya seperti itu.

Penggambaran tentang wudlu ternyata mempunyai efek yangmenarik juga, tentang kategori air yang digunakan, tentang tata caranya, tentangshalatnya, dan yang menarik bagi saya ialah penggambaran bahwa air hanya bagiandari barang-barang di dunia yang dapat membersihkan fisik semata dan menerima ilmuialah yang menuntun bersihnya hati.

Seperti tidak masuk logikanya, seorang yang kentut harusberwudlu lagi, yang polusi itu keluar di pantat tapi yang dibasuh dari muluthingga kaki, bahkan makin tidak masuk akal ketika adanya keadaan darurat, denganterjadinya tayamum, yang kotor kaki tapi yang dibasuh muka dan tangan.

Jadi esensi bersuci tak hanya bersifat fisik semata, adanilai intrinsik lain dari satu benda dan cara.
Ada yang menarik juga melihat dari beberapa hujjah yangsering saya dengar di pengajian, alasan nabi mengusap muka sehabis shalat ialahkarena debu, dan itu menunjukkan bahwa daerah di sana banyak sekali debu, danitu menjadi alasan untuk menjaga terus kebersihan karena akan shalat, tapi yangjadi pertanyaan selanjutnya apakah kotor itu najis, sedang mereka yang menurutiajaran nabi apakah semuanya mempunyai alas kaki, baju yang menutupi seluruhauratnya, dan apakah agama menuntut itu semuanya sama sedang kemampuan setiaporang berbeda.

Dari situ saya mulai paham mengapa Al Ghazali menafsirkanwudlu hanya nilai fisik saja sedang ibadah itu fisik dan intrinsik, ada nilaiyang lebih dari sekedar gerakan-gerakan badan.

Dan bagaimana tentang teori kelas, sedari dulu mulai membacadas kapital, menerangkan bagaimana modal terus bertambah dengan cara-cara yanglebih praktis, namun tidak mensyaratkan saling ridho, dari mulai bab sewahingga bab reproduksi hanya menerangkan benda keduniawian saja dengan kata laincara para kapitalis bertambah kaya dan terus-terusan kaya sedang parapekerjanya 'dikondisikan' untuk melakukan proses ketergantungan.

Saya kira teori kelas dan semuanya tentang ekonomi sosialishanya akan memberikan jarak antara para kapitalis dengan para proletar, sehinggalupa bahwa dari kegiatan badan itu ada hati yang harus senantiasa bersih, takutnyaketika semua hal duniawi ini berakhir harta dan ilmunya hanya ‘kekotoran’ saja.

*diketik sembari senggang untuk Yoga, semoga bermanfaat darisemua kekurangannya semoga bisa menjadi lebih baik lagi.

Sebelum adha, sembari senggang

Sekarang sudah hampir jam dua malam, atau tepatnya lebihmenuju pagi, dengan jari yang sedikit kaku karena mungkin sudah beberapa haritidak menulis, mengetik, mencatat, dan mendokumentasikan betapa indahnya hidupini, dan mungkin beberapa bagian menjadi lebih indah jika disyukuri, sedangkanlain hal menjadi lebih buruk dari tidak tahu rasanya apa yang jadi esensi darikehidupan itu sendiri.

Tak ingin bicara tentang tuhan atau tentang takdir atau puntentang banyaknya jahitan yang akan saya kerjakan nanti pagi, atau pun beberapahal sentimentil yang telah saya langgar dengan saya sadari. Saya harus mulaiterbiasa dengan pelanggaran, melanggar nafsu saya, melanggar semua kebiasaanburuk saya dan mulai dengan hal yang lebih baik lagi.

Saya targetkan sedari idul Adhi esok saya akan mulai menuliscatatan harian lagi, ya hanya beberapa catatan saja, tak akan saya tuliskansemuanya, toh tulisan hanya beberapa bagian saja jika diketik, sedangkankejadian akan terus berlalu, dan mungkin lebih jauh meninggalkan dari katasejarah sesungguhnya.

Mulai mencatat hal yang sentimentil lagi, tentang cinta,tentang kasih sayang, tentang keindahan dan hal mungkin hal yang saya akanlupakan ketika saya senang dan ketika saya sedih, mungkin gunanya catatan ituketika kamu hilang kendali atas kesadaran kamu sendiri, hilang kendali gunanyakamu, atau mungkin jadi sadar bahwa kamu sudah cukup diingatkan dengan firmantuhan yang mungkin bagi sebagian orang hanya akan menjadi catatan kaki darisejumlah makalah dalam hidupnya.

Tadi siang ada kabar dari Ojan, bahwa Wicak akan menikahhari Minggu depan, sebuah tanggal yang bagus, angka yang kerap kali menjadiobrolan bapak saya karena menjadi nomor di sekolahnya tempat ia mengajar.

Rencananya dengan biaya 100an akan menyewa mobil dan menuju tempat kejadianperkara dengan bermobil ria di malam hari dan pulang malam hari juga, WicaksonoArif teman saya sudah punya sebagian tujuannya pulang rupanya.

Jika ia ada di sini saya akan katakan saya juga sudah punyasebagian tujuan hidup saya, ya mungkin kamu sedang membacanya, tak cukupratusan kata yang bisa saya ketik untuk kamu, mungkin semoga tidurmu nyenyakbisa menjadi katalisnya setiap malam, atau mungkin semoga harimu indah menjadidoa pengawal pagi untuk kamu, ya mungkin alasan saya nanti pulang pagi juga diantaranya rindu kamu.

Besok itu saya akan membeli bahan yang dipesan Anton dariteman di Super TV, entahlah saya juga mulai bingung, apakah pesanan ini nyataatau tidak, pesanan kemeja tangan panjang dengan kemiripan yang sangat denganbaju yang dulu dipesan teman.

Ada beberapa hal yang kadang membuat saya lebih bingung,dengan semua kenyataan ini, apakah ini mimpi atau bukan, kemarin saya sedang diBogor dengan malam yang aneh dengan suara musik dangdut yang menghentak, pagiyang cerah dengan semua keindahannya, dan dari semua yang indah itu bisabersama kamu.

dan sekarang pagi buta dengan heningnya, dengan dinginnya menyambut hari penyembelihan, penyembelihan hewan massal.


*diketik sembari senggang

Jika Ingin Tahu Saja

17 Agustus, tahun ini


Tangan saya telah dingin oleh udara Bandung hari ini, yahari senin yang cerah di Banjaran, berbeda dengan senin sebelumnya di Malang sana,entah diksi yang cocok untuk kata malang sebenarnya ataupun Malang dengan artisebuah kota di Jatim sana.

17 Agustus pagi ini jalanan di Banjaran telah lengang,seperti akan menyambut sesuatu dari arah Ciapus sana, ya saya berjalan kakisaja menyusuri jalanan Ciapus, jalanan sejauh satu kilo meter tepat terhitungdari penanda jarak di motor saya dulu ketika masih benar, jarak yang cukupuntuk prolog pagi itu, pagi yang akan mengawali perjalanan paling jauh darirumah untuk tahun ini saja.

Di tangan kiri saya plastik putih berisi air mineral danbeberapa cemilan kecil, di tangan kanan saya ada trashbag dan lembaran plastik yang tak sempat saya jadikan jashujan.

Jalanan tampak riuh dengan orang-orang yang menikmati tanggalkemerdekaan negaranya, tapi bagi saya kemerdekaan adalah ketika terbebas darikewajiban, ya kewajiban sebagai manusia yang tahu kewajibannya saja dengan katalain jika ilmunya belum memerdekakan manusia kemungkinan masih terjajah olehnafsunya.

Beragam atribut mulai dari menjadi bencong hingga hewanterpampang jelas di jalanan, mungkin itulah cara mereka menikmati tanggalkemerdekaannya, tapi berdandan menjadi lain kodratnya saya anggap merupakanpenjajahan terhadap dirinya sendiri.

Rumah saya sudah dekat dan para anak-anak tengah sibuk di sampingjalanan dengan berbagai ekspresi, mulai dari takut hingga biasa saja. Menikmatitontonan nyata di hari Minggu, mungkin lebih baik daripada menonton film dikotak elektronik sana.

Persiapan pun dimulai di pagi ini, pagi yang mengawali sayameninggalkan rumah, menuju atap pulau Jawa sana, menuju titik tertinggi daratanini, semoga tak ada halang rintang dalam perjalanan hari ini.


Memulai perjalanan


Hari ini tas pinjaman saya ari A Elfa telah siap, terlihatterisi penuh dengan berat yang melebihi biasanya, saya dapat bagian membawatenda trip kali itu, saya hanya bisa berusaha sebaik mungkin untuk tugas sayakali itu.

Setelah semua persiapan sudah siap, motor telah di depanpintu sana sudah siap mengantar saya menuju daerah yang tak saya kenali, Semerusemua orang panggil demikian, saya tak tahu arti dari kata tersebut, yang sayatahu puncaknya Mahameru, dengan keangkuhan sepertinya puncaknya dinamai, yangsaya tahu maha itu selain punya mahasiswa tapi batasan atas tafsiran sebuahnama, ya nama Tuhan kami.

Siang itu Kiara Condong telah saya pijaki, ya di depan stasiunsaya temukan Faisal dengan temannya Rizki, saya panggil dua huruf terakhirnyasaja.

Para teman sudah siap ternyata di stasiun sana, semua telahhadir. Azie, Dian, Adoy, Arie, Faisal dan Kiki, sedang Ratna rencananya akanbertemu di Malang sana.

Tiket telah saya pegang, saya masukan ke tas kecil saya,tentunya setelah diperiksa oleh petugas stasiun dan menunggu kereta datangseolah lama sekali, ada yang kurang di hari ini, suara seorang gadis cantik di handphone melengkapi awal perjalanansaya hari itu.


Di kereta.


Dalam hitungan jari saya masih terhitung jelasnya saya menaikikereta api, sepertinya beberapa kali entah 6 kali atau entah berapa pastinya,sepertinya kurang dari sepuluh namun untuk kali ini sepertinya rasanya lain,naik kereta lebih teratur dan lebih nyaman, namun dengan semua kelebihanmembuat saya harus membayar lebih, namun untuk itu saya jadi lebih bisabersyukur, karena kebetulan uangnya pun ada.

Ternyata di kereta ada restoran semampunya juga, ya semisalkopi dan mi instan bisa dengan cepat langsung dibuat, sedangkan nasi gorengbisa langsung disajikan dan tentunya menjadi pilihan yang menguntungkan jikasedang dalam perjalanan, karena kereta api tak bisa menunggumu walaupun hanyasekedar membeli sebatang rokok atau seonggok roti tawar.

Duduk lama sepertinya membuat waktu menjadi semakin manjasaja, seolah terus melekat dengan semua orang, sedang mereka yang di luarkereta tengah terdiam ataupun hanya melihat ketika kereta yang saya tumpangimemelesat dengan kecepatan tinggi, kami yang terbawa cepatnya kereta segerameninggalkan Bandung menuju Malang sana, sebuah kota yang terkenal denganapelnya, dengan universitasnya dengan kemiripannya dengan Bandung.

Saya, Dian, Arie duduk sebangku sedang Adoy dan Azie didepan kami yang sedang duduk, mereka ternyata duduk juga, dan ada satu orangsantri yang sekolah di entah saya lupa lagi bahkan saya lupa lagi namanya siapadan sekolah di mana yang saya ingat ia mengaku santri kelas dua aliyah, dan iatepat duduk di hadapan saya sedang tidur rupanya. Dan Faisal duduk di seberangsana, ia bersama rombongan ibu-ibu yang membawa anaknya, juga Kiki ia berbedagerbong dengan kami.

Menuju malam suasana makin tidak terkendali, terutama denganposisi tidur dan duduk yang berkurang kenyamanannya, mungkin karena Faisal ikutserta dalam posisi kami yang sengaja begitu saja, namun dalam keadaan yang takterkendali saya namakan ia Faisal Bedebah karena membuat formasi duduk yangnyaman terusik untuk beberapa saat. Sekali lagi ah, Faisal Bedebah!

Malam berganti pagi, kereta Malabar yang saya tumpangi telahsampai di stasiun Malang, tepatnya kota Malang dengan udara yang sayakenal,mirip Bandung sekali.


Menuju Tempat Kejadian Perkara


Saya sengaja tulis judulnya demikian, karena untuk saya sajasaya tak ingin beri judul dengan kata lainnya, sebuah nama mengingatkan sayadengan beberapa situasi yang saya tak ingin ulangi lagi.

Malang tengah dingin pagi ini, cerah sekali dengan udarayang mirip ketika saya bangun pagi di Banjaran, menyejukkan sekali, seorangsupir tengah mengobrol dengan Faisal dengan bahasa Jawa, saya tak mengertimaksudnya apa, mungkin Faisal mengonsultasikan rencana masa depannya dengan paksupir tersebut, mungkin ia mengadu pada pak supir karena saya memanggilnyabedebah, atau mungkin juga ada hal lainnya. Saya tak tahu.

Saya temukan Ratna telah ada di Malang ini, ia diantar olehsaudaranya, terlihat siap memulai perjalanan, dengan sepatu yang telah hadir dikakinya, sebuah ransel yang sepertinya penuh dengan entah isinya apa saja dansenyuman yang mengawali pertemuan saya dengan dokter muda RS Dustira ini,entahlah ia ini seorang dokter atau pendaki gunung. Jika ia dua-duanya sayakhawatir ia akan buka praktek di hutan sana, atau mungkin ia akan mengobatipasiennya dengan obat yang ia racik sendiri dari pendakiannya selama di gunung.Entahlah.

Yang saya tahu sekarang itu tujuan selanjutnya ialah menujutempat rental alat kemping, Adoy secara tak sengaja meninggalkan sepatunya diBandung, entah ada siapa yang membuat ia lupa, mungkin seorang yang sangatspesial di hatinya membuatnya bingung, seorang yang mungkin akan mengisikebingungannya dengan semua rencananya. Seperti tulisan di kertas kemarin. AKUDAN KAMU, NANTI DI RANU KUMBOLO. Semoga rencananya tersiapkan dengan baik,karena saya yakin Adoy itu orang baik, dan saya yakin hanya orang baiklah yangpantas bersanding dengan orang baik.

Rental alat kemping telah di gang depan kami, saya turuntemani Adoy mencari sepatunya yang akan ia sewa, ternyata rental alat-alatkemping punya harga yang lumayan tinggi, itu membuat saya semakin yakin untukikut dalam bisnis tersebut. Bisnis yang saya rencanakan dengan sebaik-baiknyarencana saya.

Setelah mendapat barang yang dimaksud mobil melaju pelanmenuju pasar Tumpang, nama yang aneh bagi saya awalnya namun apa daya saya takbisa mengubahnya, pada kenyataannya Jack Derrida tak bisa memberikan nilaidekonstruksi untuk sebuah kenyataan yang harus ditelan mentah-mentah, sebuahnomenklatur yang tak bisa diganggu gugat.

Sebuah rumah menjadi shelter sementara ada di belakang pasartersebut, ya kami transit untuk beberapa saat di sana, dan membeli beberapalogistik yang akan kami bawa untuk perjalanan kami.

Pasar setempat kami jelajahi dengan beberapa panganan jugatelah kami nikmati, dan Ranu Pani kami jelang dengan truk. Perjalanan yangsempat membuat saya berdebar kencang hari itu, perjalanan yang sempat membuatsaya bingung dengan tujuan saya, perjalanan yang sempat membuat rindu pulangsemakin menjadi, perjalanan yang sempat membuat saya ingin segera pulang walauhanya ingin bertemu kamu untuk sebentar saja.

Semua orang sudah siap dan pendakian pun dimulai di terikmatahari ini, jalanan berdebu mulai saya dapati, dan pegunungan yang kerap kalimenjadi destinasi banyak pendaki gunung saya dapati juga, sebuah tempat yangmenyejukkan rupanya.

Ternyata Faisal mempunyai masalah dengan perutnya, sempat iasangat rewel dalam perjalanan kali ini, sepertinya penyakit mencret sangat takcocok untuk mencapai tempat kejadian perkara.

Namun dengan semua kejadian yang dilakukan siang itu,akhirnya Ranu Kumbolo saya dapati juga, ternyata lebih indah dari foto-fotoyang pernah saya lihat, air yang jernih memantulkan cahaya bulan malam ini,beberapa bintang berbinar ramah menyambut kami di danau ini.

Berkemah dimulai dan selanjutnya bisa ditebak, kamimakan-makan dan minum-minum, sembari bercanda ringan menghabiskan logistik yangada. Menutup malam dengan kedipan mata terakhir malam ini, malam yang indah danmungkin sangat syahdu jika Dinda bisa ikut.

Pagi itu saya disambut dengan butiran es di atas tenda,dengan udara dingin yang menusuk kulit, dengan langit yang indah, dengan semuakenangan yang indah yang akan kami sangat kenali, dengan cahaya matahari yangdirindukan menyapa kulit dengan bukit berpasir di sana dan kenangan manismempunyai teman yang baik hatinya.

Pagi berganti hangat semakin hangat dan mulai memanaskansituasi, semua patok di tenda telah terlepas, makanan telah tersedia, kamiberbenah untuk memulai pendakian kembali.

Ranu Kumbolo kami lewati begitu saja, di sisi lain danau adabanyak sekali tenda, dengan banyak sekali sampah, namun tidak sehebat sampahketika mendaki gunung Slamet, sampah di sini lebih terkondisikan dengan lebihbaik. Arie bilang tanjakan di depan itu tanjakan Cinta, entah siap yangmenamainya entah apa juga di belakang penamaan itu, yang pasti itu tanjakankedua untuk perjalanan hari ini, di depan ada Oro Oro Ombo, sebuah deretanpadang Savana dengan Lavender ungu di atasnya, beberapa sisi kanan sebagianhabis terbakar rupanya, sayang sekali Lavender terlihat gersang siang itu,mungkin waktu yang lain bisa saya jumpai ketika mekar.

Selanjutnya Cemoro Kandang, rupanya itu nama bagi daerahberbukit yang banyak sekali pohon cemara, jika melihatnya saya ingat gunung Puntangdi Banjaran sini, namun dengan pohon yang lebih besar dan debu yang lebihbanyak.

Tak terasa perjalanan semakin sore saja, ya Jambangan telahkami lewati puncak Mahameru sudah menanti di depan sana, Kalimati kami jelangbeberapa menit lagi.

Di Kalimati ada sumber air yang dinamai Sumber Mani,terkesan sangat erat dengan seks tapi sepertinya itu hanya bagian kecil dariperan sumber air ini, ternyata Sumber Mani hanya satu-satunya sumber air di arsiranKalimati, sehingga disarankan membawa air hingga sore hari saja, soalnya jikaberpapasan dengan binatang buas selanjutnya akan masuk ke koran lokal dantentunya berita naas untuk sanak saudara.

Sumber Mani punya air yang menguras habis rasa haus, airnyadingin dan saya rasa itu air paling nikmat dari semua perjalanan saya mendakigunung, jika pun tak percaya, coba saja simpan sebanyak mungkin rasa haus dansegera minum air di mata air tersebut.

Tenda telah berdiri kokoh ketika saya pulang mengambil air,setelah Maghrib segera shalat dan siap-siap melaksanakan perjalanan malammenuju puncak, ya trek yang tidak diketahui oleh kami berdelapan membuat kamimengutamakan waktu yang lebih senggang untuk menuju puncak.

Bulan tengah indah malam ini, jika kamu di sini kamu punakan tahu bulan itu indah adanya, udara malam tengah dingin kala itu, sepertiadanya dingin semua orang tahu akan hal itu.

Berdelapan sudah siap dengan pakaiannya masing-masing,dengan head lamp di atas kepala, dengan jaketnya masing-masing, dengan rasapenasaran yang berkobar rendah di kepalanya masing-masing, dengan nyalasemangat yang terus dijaga di benaknya masing-masing.

Doa telah terlontar pelan memulai perjalanan kami, puncak punsegera kami jelang, dari kalimati kami menyusuri jalan ke bawah menuju jalansetapak menuju Arcopodo, daerah berdebu di ditapaki pelan saja, denganistirahat yang kadang menjadikan kaki lebih nyaman untuk berjalan lagi, hinggaakhir vegetasi nampaknya semuanya baik-baik saja.

Gunungan pasir di sana mengajarkan kami untuk tetap tahubatasan menjadi dirinya masing-masing, begitu juga dengan saya, saya hampirsaja bingung kenapa juga harus mendaki sejauh ini, meninggalkan rumah,meninggalkan tugas saya sebagai buruh kecil di rumah jahit yang saya kelola,meninggalkan pesanan seteman yang mungkin kemarin sedang marah-marah karenaditagih temannya, tapi saya yakin pendakian itu hanya sementara, dan ini hanyaduniawi semata.

Kebingungan terbayar lengkap dengan semua jawaban kenyataanyang ada disana, angin yang kerap kali menyapa lebih mesra dari dekapan seorangibu, pasir membelai lebih keras dibandingkan belaian lembut pari lainnya, danternyata inikah gunung tertinggi di pulau Jawa ini.

Kerlip bintang di sana berbinar lebih indah dalam situasiini, bulan pun demikian, purnama tak hentinya mengingatkan untuk segera pulangjika rasa penasaran sudah selesai.

Dalam perjalanan sering sekali beristirahat, untuk sekedarduduk, ya hanya duduk saja, sepertinya dua langkah turun satu itu jelas sekali,trek yang berpasir dan keadaan yang hampir saja membuat semua orang bingung.

Di tengah perjalanan kami terpisah, ari saya dan Ratna beradadi depan, rupanya Azie dan Faisal kedinginan, dan beberapa penyakit perutsangat tak nyaman jika ada di gunung, jika tak percaya silakan wawancara merekaberdua.

Puncak mulai terlihat, ari rupanya sudah lebih dahulu sampaidan mengabadikan beberapa momen dengan kameranya, begitu juga dengan tetes airmata yang terlihat jelas dari bekas air di atas hidungnya, dia menangisternyata, dan begitu juga saya ketika sampai di puncaknya.

Saya bingung kenapa harus sampai ke sini, di rumah banyaksekali yang harus saya kerjakan, kenapa saya harus di sini, apakah saya kurangbersyukur dengan pekerjaan saya yang saya tinggalkan, ataukah ini hanya mimpi,saya bingung kenapa saya harus ke tempat pemujaan seperti itu, banyak sekalisesajen di sana, banyak sekali.

Setelah memotret beberapa gambar, saya pastikan untuk segeraturun, angin di sana kurang bersahabat dengan kulit saya.

Dian menyusul, juga Faisal, Adoy, dan selanjutnya Kiki dansaya bingung Azie di mana, ternyata berbeda jalur, saya segera turun dengan Ratna,dan begitu pun yang lain, rupanya Azie dan Kiki tidak mengentaskanpendakiannya, Kiki sudah mulai sesak napas di pendakian pertamanya ini.

Kami sempat duduk di batas vegetasi, sembari mengobrol danmengurai lelah, menuju siang kami menuju tenda di kalimati sana.

Telah siang rupanya ketika terbangun dari mimpi pendek ditenda, dan pada kenyataannya kami segera menuju Ranu Kumbolo lagi, dan semuakesenangan dimulai kembali.

Sepertinya kata hanya terbatas kata saja untuk tahu jikaditulis, dan gambar pun hanya dokumentasi per sekian detik untuk menggambarkanindah bisa bangun pagi di Ranu Kumbolo, jika tak mencobanya, tak akan tahujernih airnya, indahnya pagi itu.

Jika ingin tahu saja, saya sarankan untuk mencobanya, minimal sekali seumur hidup.

Ada hal yang selama ini saya ingin tulis untuk semua halyang telah terlalui dari semua perjalanan, saya sangat berterima kasih telahbisa mengenal kalian, saya sangat bersyukur punya teman seperti kalian.

;)




*ditutup dengan lagu Desire dari Pure Saturday

Di Pantai, Kemarin

Saya telah lama menunda-nunda untuk segera menulis, entahlah saya tunda untuk beberapa menit atau berapa jam, setelah puas memperdengarkan Kings And Queens dari 30 Second To Mars dan beberapa video yang kerap kali berpikir ulang kenapa Klaxons buat video klip Echoes di gurun, kenapa video dari Vampire Weekend kebanyakan simple dengan hasil yang memuaskan, kenapa Karen O harus berkata “Wait they not love you like i love you..” dalam lagu Maps, kenapa Toki Asako seksi sekali pas bareng Toe.

Adalah saya yang sedang terus-terusan memperdengarkan Kings and Quens dari 30 Second To Mars sekarang setelah kepulangan saya di rumah ini, ya maksud saya di Banjaran ini.

Dan adalah saya juga yang tengah berbelanja di pasar Banjaran pagi kemarin, dengan daftar dari SMS nya Ibu kyai haji dokter Tiara, ia itu seorang dokter muda dari Sukabumi sana dengan ilmu yang ia peroleh dari Unjani, Unjani itu akronim seperti Puskesmas dan SMS itu adalah singkatan.

Ternyata ia khilaf untuk memberikan daftar pada saya untuk logistik perjalanan kami hari ini, perjalanan yang mengakhiri kami untuk Juni ini, entah kenapa saya ingat The Monophones jika bulan Juni berakhir, seolah sound tracknya itu Rain Of Juli saja. Dan hujan sore ini saya saksikan demikian.

Saya diantar adik saya untuk membawa motor saya kembali ke rumah saya, setelah sebelumnya bersama Dinda dari depan museum Sri Baduga saya temukan ia, ia telah beres dengan wawancara dari calon tempat kerjanya, calon tempat kerjanya mirip sekali dengan suara orang sedang bersin, Holcim!

Saya dengannya menuju Buah Batu, tepatnya depan tol Buah Batu saya berhenti dan seperti perjalanan sebelumnya, saya makan Siomay dengan Baso Tahu yang dijajakan di sana, namun kali ini saya yang ditraktir, karena uang yang ada di ATM tak mau keluar rupanya, entahlah. Dan ATM juga adalah singkatan, Cuma dari bahasa inggris, Automatic Teller Machine, bukan Anjungan Tunai Mandiri karena itu adalah jebakan istilah dari bank Adoy bekerja untuk penetrasi branding di masyarakat Indonesia dan ternyata sebagian orang berhasil terpengaruh.

Dinda tampak cantik kali ini, bukan sekali atau dua kali saya temukan demikian, sepertinya hampir setiap kali demikian terkecuali ketika ia muntah-muntah di Pangrango sana, sebentar paragraf ini sepertinya tidak romantis ya, tapi tak apalah, saya juga yakin semua orang akan berkurang kecantikan atau ketampanan satu saat, tinggal dicek lagi saja momentumnya kapan.

Langit di arah timur sudah menghitam pas saya duduk di sebelah Dinda di sana arah barat tampak cerah, namun hujan poyan datang dengan tak terkira, setelah shalat saya pun mencari tempat yang lebih nyaman untuk duduk, dengan secangkir kopi hangat sepertinya akan lebih menyemangka, sebelum teman-teman datang.

Ternyata saat kopi dihidangkan teman-teman baru saja sampai di hadapan saya dengan hujan yang datang dengan sedikit tetapi banyak saya datangi mobilnya dan berganti tempat dengan adik saya untuk segera membawa pulang motor yang telah lama temani saya ke mana pun saya pegang stangnya.

Dan perjalanan pun dimulai, dengan jalan tol yang sedang mengalami pelebaran, saya kira itu dari efek BBM naik sehingga pelayanan pun harus ditingkatkan, ternyata itu sudah menjadi program Jasamarga sedari 3 bulan lalu.

Cimahi saya jelang bareng Dian, Azi, Dinda, dan Ari. Semuanya dalam satu posisi duduk, dan setelah RS Dustira dan Unjani Ratna dan Tiara akan kami temukan, sehingga teman kami seperjalanan akan lebih banyak lagi.

Seiring matahari yang terus turun di arah barat sana, Tol Baros kami masuki dengan teman yang menunggu di Cileunyi sana, ada Adoy dengan Wildan tengah berdua saja, romantis ga ya?

Ternyata GOR Bandung Lautan Api terlihat seperti katel yang terbalik jika dari tol, di sana mungkin akan menjadi tempat bermain bola para pemain Persib, sehingga jika nanti ada permainan bola yang macet bukan Soreang, dan iring-iringan bobotoh tak bermoral tak akan kebut-kebutan di Banjaran lagi. Sebentar sepertinya bukan GOR tapi lenih mirip Stadion tapi bagaimana menentukan skala itu bangunan GOR atau itu sejenis stadion?

Sebentar lagi Cileunyi dengan kemacetannya yang hampir panjang sekali dengan tahu Sumedang yang beralamat Cileunyi juga dengan Adoy dan Wildan yang menunggu di sana.

Teman seperjalanan telah lengkap, dengan melaju cepat tapi menegangkan terus saja berjalan, sempat di Cicalengka berhenti untuk shalat, dan seterusnya melaju cepat saja.

Dengan ban yang terus saja melaju kencang hampir setiap perjalanan diisi dengan celotehan khas masing-masing, ya masing-masing punya suara yang khas, dengan lantunan lagu yang terdengar kencang dengan keadaan yang terus berubah, Ciamis telah terlewati, dan Banjar pun kami jelang dengan lapar yang terus saja memberikan sinyal tak nyaman di perut, dengan celetukan yang hampir saja tak terkontrol setiap kali melihat warung nasi dan restoran samping jalan.

Dan ternyata restoran yang dituju Azi sangat tepat, dengan porsi yang cukup untuk sekedar berucap syukur dengan nasi dan Soto Betawi sepertinya sudah cukup untuk membuat perut diam untuk sementara waktu.

Perjalanan dimulai lagi, dengan malam yang hampir menuju pagi, dengan jalur yang tak kami ketahui.

Batu Karas, ya sebuah daerah di Pangandaran sana kami jelang dengan teratur, dengan membayar upeti sekadarnya kepada preman setempat dengan tanpa tiket masuk akmi sampai di sana. Tujuannya cuma satu, Batu Nunggul.

Ya, itulah nama destinasinya, sebuah kawasan yang sepi dari wisatawan lainnya, dengan jalur yang tak biasa untuk dilalui.

Sembari hujan yang terus saja datang kami bersiap dengan tenda, dua mata itu tetap mengintai dan perasaan tak enak sempat muncul dan gelak tawa pada paginya meredupkan kecemasan akan binatang liar.

Malam hari itu ternyata badai sedang bermain-main dengan ombak di sana, tepatnya di depan tenda kami dengan deburan yang kerap kali datang membawa putihnya lautan dengan suaranya yang tak kalah dengan suara guntur di atas sana, dan untungnya ketika pagi datang cerah menyambut kesadaran kami.

Sudah cukup kami bersyukur dengan udara yang menyejukkan pagi ini, sudah cukup rasanya untuk tahu indahnya matahari terbit di ufuk timur sana, cukup rasanya untuk tahu indahnya hari ini, hari bersama teman-teman yang mungkin akan kami sangat banggakan untuk masa tua kami, dengan kenangan indah yang tak mungkin bisa diulang, dengan nikmatnya waktu itu, terlebih lagi indahnya waktu bersamamu.


*diketik dengan senang hati

Hal yang selanjutnya sering

menikmati kesedihan di pagi hari
dengan lirih yang berhujjah
di waktu yang sempat kita cumbui bersama
nun jauh di sana

ihktiar telah berucap pelan untuk setahun lebih
saatnya menjadi dewasa, seperti agungnya gunung
juga dinginnya kumpulan rasa di air lautan

ujar hanya sebentar namun tulisan lebih lama berucap
jika hanya jarak dan waktu yang belum sepakat

mungkin nanti saatnya menjadi lebih sering bersama


*banjaran 3 juli 2013

Demi kian

Selasa, saya panggil hari ini demikian, sebuah hari kedua dalam hitungan pembelajaran saya sewaktu sekolah dulu, baik SMU maupun perkuliahan yang tak saya bereskan itu, hari kedua dalam hitungan Minggu atau hari yang saya yakini berasal dari saduran bahasa arab, entah mengapa bahasa arab dominan dalam serapan kata yang bersangkutan dengan hitungan, terutama dalam hitungan hari.


Dan entah mengapa saya dengan pasrah menerimanya, kenapa senin tak disebut gfshdgljadb atau selasa disebut gknkasjkh saja, seolah semuanya sudah menjadi ketetapan jika seminggu itu tujuh hari, sebulan itu empat Minggu dan setahun itu dua belas bulan.


Sebuah ketetapan yang membuat berpikir ulang untuk menghujatnya, ataupun untuk mencari alasannya kenapa harus demikian.


Hari dalam hitungan waktu terdiri dari 24 jam dengan empat waktu yang terselip di antaranya pagi, siang, sore, malam dan entah kenapa itu disebut demikian, seolah harus menerimanya saja, sehingga alasan kadang kala hanya sia-sia untuk mengelak dari waktu yang terus saja bergulir.


Dalam waktu semuanya terjadi begitu cepat, dengan beragam rumus yang diciptakan manusia dengan beragam konstanta hitungan yang membuatnya patokan, semisal detik itu jadi bagian dari menit dan menit membangun jam dan selanjutnya sehingga hitungan tahun pun terjadi, atau mungkin tahun yang terus dibagi-bagi dan didistribusikan menjadi bagian kecil untuk lebih mudah dipahami.


Dalam kitab saya waktu menjadi penanda yang jelas untuk surat yang sangat pendek, sangat jelas sekali esensinya, jika tak hati-hati mempergunakan waktunya pilihannya sudah jelas, keberuntungan atau kerugian.

Saya berusaha untuk menggunakan waktu dengan sebaiknya, meski kadang kala itu hanya semboyan saja, tetapi jika menghitung nilainya, saya kira itu lebih baik karena telah mencobanya.


Misalnya saya beli jam, bukan untuk gaya-gayaan tapi untuk tahu saja jika waktu sedang dalam jam apa, namun dalam jam saya kebanyakan saya gunakan ialah speedometernya saja, saya kadang penasaran dalam kegiatan saya menghabiskan berapa menit, jam, dan detik, sehingga dalam kegiatan pendakian pun saya berlaku demikian, menghitung seberapa cepat perjalanan saya, seperti perjalanan ke Pangrango kemarin, dalam hitungan lebih kurang 25 jam saya berada dalam kawasan gunung Pangrango, beserta sedikit cerita indah dan banyak cerita menyeramkan dari ganasnya alam.


Dan waktu mengajarkan saya untuk bersyukur tentang umur, sedemikian desain yang unik sekali menghantarkan saya untuk sadar berada di sini, dengan saya yang seperti ini, dan keadaan yang harus saya terima, baik dan buruknya.


Demikian dalam hitungan waktu beserta cita-cita dan banyaknya harapan esok akan seperti apa tetap akan saya jelang, dengan baik dan buruknya.


Demikian dalam hitungan waktu umur saya akan jelang dengan seadanya kemampuan saya, dan sepertinya mengapa saya harus dustakan untuk nikmat semegah ini.



*diketik dengan senang hati | Your Hand In Mine – Explosions In The Sky

Jumat, 14 Juni 2013

Mengingat Kemarin


Saya targetkan untuk menulis catatannya dengan 30 menit sajasoalnya banyak bahan baju yang harus segera saya potong menjadikannya kaospesanan A Sofwan dari RSHS dan hoodiespesanan Gifi sampai flysheet dadakan pesanan A Ucan.

Kemarin adalah hari yang lumayan panjang dengan malam yangpanjang. Terasa aneh juga dengan kegiatan malam yang datang tergesa-gesa dengankesibukan yang berubah dengan drastis.

Saya sebagaimana saya tahu selalu berusaha menjunjungnilai-nilai yang saya pegang. Dalam hal menulis, dalam hal berekonomi hinggadalam hal lainnya. Bahkan hingga saya kira terlalu memaksakan untuk sebuah halyang sentimentil.

Sabtu kemarin saya dapati jika SUAKA mau mengadakan plenotengah dan tempat pelaksanaannya itu berubah, maksudnya dipindah tempatkan.Masih di Bandung, saya sanggup mencarinya, terutama masih di Cibiru. Sebuahtempat yang kadang kala saya rindukan untuk kembali ke sana. Tempat yang kerapkali membuat saya bingung kenapa harus ke sana.

Baru enam menit ternyata saya menulis, ya menulis catatanyang tak terlalu penting rasanya,toh masa depan itu saya belum tahu dan sejarahhanya akan dicatat dan dikenang.

Seperti pleno kemarin, sepertinya bagi saya itu kenanganyang cukup diingat saja, saya tak menuliskannya sebagai sebagai sejarah yangsaya harus catat dan menjadikannya sebuah pelajaran, karena kewajiban sayahanya sebatas saran yang tak penting juga, secara struktural hingga sistematis,toh itu saya anggap silaturahmi saja.

Dalam tujuan saya, saya ingin bertemu teman lama saja,kabarnya ada Wicak ke sana, dan ternyata lebih dari itu ada Miko, jugapermaisurinya begitu pun ada Ojan, Bayu, Hamdan, Iqmah dan Ivan, dan tentunyasekali ialah para anggota LPM SUAKA, tempat saya belajar untuk tahu sebuahnilai dan mempelajari harga dari teks dan konteks.

Entah kenapa saya sukasekali kalimat sebelum ini, sehingga kesannya keren sekali.

Sebenarnya dalam pleno tengah itu acara yang biasa saja,biasanya adanya evaluasi dan biasanya para pengurus itu keteteran akan programnya masing-masing, saya tahu pasti soalnyabegitu pun saya dulu menjalaninya, namun dengan situasi yang berbeda.

Rapat berlangsung cepat dengan para anggota yang mulai lelahdan hanya semangat saja saya kira itu penolongnya. Hingga mereka dengan sadarakan menentukan bagaimana LPM SUAKA ke depannya, tanggung jawab sebagaimahasiswa yang bisa bersikap cerdas dalam keadaan yang buruk dan mempengaruhisecara tulisan dan perilaku bercirikan kejujuran, seperti kejujuran sebuahtulisan, tak mungkin sebuah tulisan terbaca ‘jujur’ harus dibaca ‘bohong.’

Saya kira akan membahas dari segi karya namun entah mengapasaya kira kualitas tulisan SUAKA kini makin berkurang, entah karena isunyaitu-itu saja, atau mungkin karena berkaca apa kualitas yang dahulu, ataumungkin, paradigma dalam penulisan hingga peliputan telah berubah, sepertiberubahnya sebuah pandang satu hal dengan hal lainnya.

Namun dalam pandangan saya, karya yang baik adalah yangberkelanjutan, maksudnya sebuah isu tidak akan habis setelah penerbitan, karenasaya kira penerbitan itu dikategorikan sukses jika mendapat tanggapan, baik promaupun kontra. Bukan setelah ditulis berita kemudian beres, dan itu hanya jadiangin lalu. Seperti melihat air saja, air yang baik itu air yang mengalir,begitu pun jika ingin tahu jumlah akumulasi air di lautan, dapat menghitungnyadari debit air di sungai hilir ke hulu, namun kadang kala pers mahasiswa sangatsuka sekali dengan hal baru dan mungkin hanya sampai muara saja.

Saya tahu korelasi sangat penting sebuah produk, bahkanuntuk sebuah tulisan, namun tulisan yang bagus tidak menentukan kemasan yangmewah. Saya ingat sebuah mini sekali majalah, atau lebih cocok buku saku,namanya OPEN MIND, itu buatannya para mahasiswa Bandung dan entah mana lagi,penulisnya sangat banyak, kemasan kecil dan fontyang kecil sedikit art work, bahkan iklan yang ada itu iklan layanan masyarakat atau lebih tepatnya, propaganda konstruktif, dan yang palinganeh dari semua tulisannya, pasti diakhiri dengan pertanyaan bagaimana dengankamu? Ya sebuah pertanyaan singkat seolah media dialog saja. Senang sekali jikaitu menjadi pertanyaannya dari SUAKA untuk para mahasiswa.

SUAKA juga begitu mungkin, umur yang sudah mumpuni tidak mempengaruhi kualitas sebuah organisasi semisal SUAKA, toh kekurangan itu hadir untuk bersanding dengan kelebihan, tulisan juga hadir sebagai penanda saja,tanda bahwa telah dicatat dengan tulisan, bukan hanya kenangan saja.

Suasana makin larut saja dan begitu pun hari itu makin malam saja, dan bermain kartu sangat membantu melepas penat, seperti dulu lagi sepertinya namun dengan orang yang berbeda dan situasi yang berbeda juga.

Sepertinya inilah mungkin perasaan alumni ketika kami disindir habis di pleno tengah dulu dan begini rasanya menjadi bagian yang telah lama meninggalkan keorganisasian.



*diketik dengan senang hati

Pangrango kali ini


Seperti judulnya first breath after coma dari Explosions InThe Sky, mungkin itu adalah gambaran yang paling bisa dijelaskan untuk hari ini, hari untuk bersyukur karena bisa pulang.

Jum’at yang dingin membawa saya menuju sorenya yang lebih dingin di Kiara Condong, motor saya melaju pelan saja, jembatan fly over telah saya lewati, di gang sempit itu saya jemput Dinda, seorang dara yang entah kenapa saya senang sekalibersamanya.

Saya putuskan untuk menitipkan motor saya di kosan temannya,teman sekotanya di Sumedang sana.

Setelah lahap dengan kwetiawnan nikmat di jalanan Antapani saya segera menaiki angkot dan menuju rumah Wildan,kata Dian di SMS ada Tiara dan Ratna di sana, duo dokter dari Unjani ini kerapkali buat saya tak habis pikir mengapa mereka senang sekali dengan gunung,terlebih lagi ini gunung tinggi.

Pangrango, ya yang saya tahu hanya itu, sebuah gunung yang berdempet dengan Gede, jikalau menerka-nerka nomenklaturnya, Gede telah jelas tergambar, karena memang ukurannya pun dikategorikan demikian. Besar.

Sedangkan menerka kata Pangrango saya kesulitan, jika ungkapan ‘pang’ itu artinya lebih dari sesuatu yang sejenis, lalu ‘rango’artinya apa? Saya belum cari artinya itu apa sebuah nama mungkin hanya akan jadi sebutan tapi bagi saya menamai itu memberikan doa, memuliakan sesuatu dengan sebutan itu adalah cara yang indah untuk memulai niat baik.

Hujan datang tak tentu hari itu, kadang datang dengan bergerombolan dan kadang datang dengan lebih banyak dari gerombolan, dari rintik hingga guyuran membasahi lapisan luar dari kulit di tangan, berenam kami menaiki mobil Ratna menuju rumah Azi.

Azi itu seorang yang saya kenal ketika Ceremai kami daki bersama, kabarnya rumahnya di Margahayu, dan ternyata arah mobilnya itu sama menuju Margahayu sehingga itu bukan kabarnya lagi dan sepertinya paragraf ini hanya penghamburan saja, karena saya ingin minum dulu.

Setelah minum mari menulis lagi. Dan selanjutnya apa ya...

Rumah Azi sudah di depan kami, di belakang mobil Ratna ada David, Nicky, juga Ari, mereka menaiki mobil yang berbeda soalnya saya menulisnya juga di belakang mobil Ratna, masa mereka duduk ria di belakang mobil. Dan aduh saya harus menutup dulu tulisan ini dengan bagian satu, karena bagian duanya saya akan teruskan setelah nanti saya di depan komputer lagi, saya ada urusan keduaniawian dahulu.


Dan saya sudah di hadapan monitor kali ini, ya sembari menunggu air mendidih karena akan segera mandi saya menulis dulu atau dengan kata jelasnya mengetik, ya sekedar mencatat saja, pengingat kenangan, pengingat lupa dari alfa.

Ya, saya sudah di Margahayu kala itu, tepatnya di rumah Azi, dan kami sudah berkumpul di sana, tinggal menunggu Adoy untuk membawa SB buat Dian yang tertinggal, setelah sebelumnya bercanda ringan sekedar melepas penat dari dinginnya hujan dan menghangatkan suasana dengan beberapa petuah dari senior.

Setelah beberapa lama mobil itu saya naiki, ya naik mobil Ratna, sama dengan sebelumnya, Adoy di samping kiri saya dan Dinda di samping kanan saya, kesannya seperti cerdas cermat dan saya sebagai juru bicaranya, namun tidak seperti itu, karena Ratna di depan sedang pegang setir dan Tiara jadi asistennya. Seperti juri saja.

Rencananya kami menggunakan dua mobil, namun ternyata menjadi 3 mobil dan dimulailah perjalanan cerdas cermatnya. Maksud saya perjalanan di malam hari yang sedang hujan dan malam makin larut saja, sengaja saya tulis demikian biar terkesan drama padahal tidak drama sama sekali karena hidup itu seperti itu adanya, hidup dengan bernapas dan sadar di mana bumi dipijak.

Ternyata Ratna sama Azi tak berbeda jauh jika mengendarai mobil, sangat menegangkan bagi saya tapi begitulah sepertinya karena sejak SMP dulu Ratna sudah memakai mobil sehingga kemungkinan asam garam dengan mobil ia sudah cicipi, dan berbeda dengan saya yang baru saja ikut mobil Ratna. Bingung apakah ini pakai Ambulan atau bukan?

Di depan tol kami berhenti dan mengunyah beberapa baso tahu dan siomay teman seperjuangannya kami lahap, sembari menunggu Azi ganti mobil, karena mobil yang satunya ada masalah rupanya, sedang David terlebih dahulu masuk jalan tol.

Ada sedikit nomenklatur yang asal-asalan dari Indonesia buat nama jalan tol, semua orang bilang tol itu artinya jalan bebas hambatan, padahal itu kata serapan dari Inggris tall yang artinya panjang, sehingga kadang kala saya suka aneh pas orang bilang, tol itu artinya bebas hambatan.

Lalu setelah beberapa lama rombongan Azi datang bersama Wildan, Dian, dan Yas. Dan dimulailah ngantuk di jalanan bebas hambatan hingga akhirnya saya sadar sudah di daerah menuju Cibodas.

Malam yang pendek dengan waktu yang entah terukur atau tidak. Pagi ini kami jelang dengan berjalan kaki menuju tempat yang kami janjikan akan bertemu di sana. Di Mandalawangi.

Sebentar tulisan saya pending dulu, airnya sudah mendidih rupanya. Waktunya mandi.

Dan saya sudah mandi sekarang, air hangat sudah cukup nikmat untuk hari ini, di malam hari akan lebih syahdu jika kulit punggung bertemu air hangat, dan itu nikmat sekali, akan lebih menyenangkan jika mulai menulis lagi, terlebih lagi menulisnya setelah berpakaian.

Pagi sudah datang barusan, semuanya sudah bersiap dengan perlengkapan masing-masing, kulihat semuanya tampak gagah dengan carriernya masing-masing, dan sepertinya perkataan Ari jadi kenyataan, jika wanita pakai carrier akan terlihat lebih cantik, dan itu saya saksikan pagi itu.

Langkah demi langkah mulai menjauh dari parkiran, Simaksi sudah siap dan Pangrango kami datangi.

Ternyata pendakian hari ini sedang ramai dengan orang, sedari mulai perjalanan banyak sekali orang yang sejalur dengan perjalanan menuju kawasan Taman Nasional Gunung Gede  Pangrango, mereka yang menuju air terjun, hingga air panas yang mungkin bisa ditempuh dengan satu hari perjalanan singkat.

Saya salah sangka rupanya, saya kira perjalanan yang saya tempuh akan tak jauh beda dengan Ciremai, rupanya kawasannya sudah banyak tertata manusia, jalanan yang sudah banyak berbatu, dengan jembatan yang dipastikan di beton hadir sedari pertengahan perjalanan saya menuju hutan Pangrango.

Terkesan aneh, namun sepertinya itulah hasil karya manusia untuk memudahkah perjalanan para wisatawan menuju sana.

Sepanjang perjalanan tak ada yang aneh, karena mungkin belum sampai pada trek yang terjal dengan akar dan jalanan becek dengan pasir gunung yang khas, jujur saja saya rindu sekali dengan situasi seperti itu, namun sore itu yang mulai menghitam seolah membuat saya merinding tiap kali mengingatnya.

Saya bersama Dinda sepanjang perjalanan, saya sadar harus tanggung jawab karena membawa teman dalam trip ini, sehingga kecepatan pun menyesuaikan dengan kecepatannya, saya ingin tahu saja, apakah seorang yang saya pilih untuk mengisi rencana saya hidup bisa saya andalkan jika di luar rumah, kata orang di hutan semua orang akan menjadi dirinya sendiri.

Rupanya fisik Dinda kurang cocok untuk perjalanan menuju Pangrango, dengan berat yang kurang dari sebelasan kilo di punggung saja ia sudah kepayahan, dan jujur saja saya sendiri mulai bingung ketika hampir melewati Kandang Badak.

Lewat Kandang Badak suasana berubah, awan hitam mulai menggelayut di atas sana, suara petir kadang datang dengan kilatnya yang membuat kalut karena tempat yang dituju belum saya datangi juga.

Dinda makin parah saja, dan yang lebih saya takutkan, kemungkinan teman yang lain sudah ada di atas sana, mereka pasti butuh flysheet yang ada di tas saya, dan ketakutan itu makin menjadi saja, Dinda sudah tak sanggup untuk meneruskan perjalanan, ia sudah bingung rupanya, tas kuningnya saya simpan dan saya meneruskan perjalanan dengan hujan yang terus datang, rupanya Dinda makin parah saja.

Di pertigaan jalur saya hentikan perjalanan, karena bertemu Adoy dan Wildan yang rupanya tidak di depan saya, mereka terlihat basah, namun tidak mengalami hipotermia, Pangrango memang memberikan situasi yang berbeda dengan gunung lainnya, mungkin ini situasi yang membuat saya berpikir beberapa kali jika melakukan pendakian di musim hujan.

Karena hujan tak reda juga, kami putuskan untuk membuat bivak darurat di sela-sela jalur pendakian, ketika beres rupa Ari ikut serta, ia terlihat sangat basah, dan sepertinya mulai bingung karena kedinginan.

Adoy memutuskan untuk meneruskan perjalanan, dan akan kembali dengan membawa teman untuk meneruskan perjalanan menuju tenda.

Semuanya berganti pakaian untuk mendapatkan kehangatan yang lebih baik, namun itu tak bertahan lama, karena lelah sepertinya membuat pikiran susah sekali untuk jernih, saya khawatir mereka yang di atas sana kekurangan logistik karena rupanya logistiknya ada di kami.

Setelah semuanya berganti pakaian, semuanya terdiam saja, sepertinya dinginnya Pangrango menjadi pikiran utama di benak masing-masing, dan di pikiran saya adalah ketakutan, ya takut saja ketika semuanya di luar dugaan, bahkan di luar perencanaan. Alam telah memberikan pelajaran paling berharga untuk mengetahui seberapa tinggi harus menghargai materi, seberapa jauh harus menghargai waktu dan mengukur kecilnya diri sendiri dibandingkan kuasaNya.

Dian datang dengan jaket Yakultnya, ia hendak mengambil tas punya Adoy malam itu, dengan rencananya awalnya akan meneruskan perjalanan menuju tenda bersama-sama, tapi rupanya itu tidak menjadi pilihan untuk Ari, saya, Dinda dan Wildan.

Kami memilih untuk tetap bertahan di sini saja hingga pagi datang dan bertemu kembali di Kandang Badak. Saya rasa pilihan saya tepat, karena rupanya hujan mulai berhenti ketika jam 2 malam mulai habis, dengan kondisi Dinda yang sempat membuat saya menyesal mengajaknya melihat Mandalawangi, sedang Wildan tengah tidur pulas, rasa kantuk karena kecapaian sering kali datang, namun dari racauan Ari, saya berusaha untuk sadar, terlebih lagi Dinda mulai muntah-muntah. Dan apalagi ini?

Setelah menjadi makin shubuh, semuanya kembali pada suhu yang mulai menghangat, saya bisa beristirahat di bivak darurat di jalur pendakian, sepertinya tempat itu akan saya ingat selalu, di situ saya melihat bagaimana ganasnya alam sempat membuat saya berpikir ulang untuk mendaki lagi, sepertinya, bukan jodohnya Mandalawangi waktu itu saya singgahi, tapi saya pastikan saya akan kembali ke sana. Perjalanan saya belum saya tuntaskan.

Pagi yang cerah menyambut bangunnya kami di jalur pendakian, hujan semalam terus saja di pikiran saya, betapa menyeramkannya situasi semalam dan pagi ini bisa bersyukur karena masih bisa meneruskan perjalanan. Perjalanan pulang.

Dengan carrier yang telah berkurang lebih saja Dinda masih saja lambat dan itu membuat saya lebih khawatir lagi. Dan apalagi ini?

Wildan dan Ari harus terlebih dahulu menuju kandang badak, karena mempersiapkan logistik dan flysheet untuk beristirahat, ternyata Dinda mulai payah lagi di perjalanan pulang, dan pertolongan dari Dian karena membawakan carrier Dinda tak hentinya membuat saya bersyukur karena ternyata saya tak salah memilih teman, tak terbayang jika tak ada Dian.

Dan akhirnya kandang badak saya datangi lagi, semuanya sudah di bawah flysheet, kecuali Adoy dan Yas, semua orang mulai melakukan kegiatannya sesuai dengan keadaan, ada yang memasak, ada yang mengisi waktunya dengan beristirahat dan mempersiapkan perjalanan selanjutnya.

Semua teman sudah siap dengan perlengkapannya setelah berbenah untuk perjalanan menuju Cibodas, perjalanan pulang.

Menuju Cibodas saya berdua saja bareng Dinda, entah kapan lagi saya akan melakukan perjalanan bersamanya, jika saja percakapan kami semalam mendapat titik temu, mungkin perjalanan nanti akan saya lakukan bersamanya lagi. Entah mengapa saya utarakan rencana sangat besar saya kepadanya.

Sepanjang perjalanan pulang cuaca berubah-ubah, kadang rintik, kadang tidak hingga malam hari mulai menampakkan gelapnya, pos terakhir saya jelang sebagai orang terakhir sampai di basecamp.

Kami pulang. Dan saya bersyukur karena masih punya teman seperti kalian, Ratna, Tiara, Wildan, Dian, Ari, Azi, Adoy, David, Nicky, Yas, dan Dinda.

Terima kasih telah memberikan pelajaran hidup yang sangat berharga.



*diketik sembari senggang | First Breath After Coma – Explosions In Th Sky.


Tentang Menikah


Teman saya kemarin baru saja datang main ke rumah, ya maksudnya ingin punya usaha mirip yang saya lakukan sekarang ini, menjahit. Tapi entah kenapa selama obrolannya yang saya dapati ialah menyuruh saya untuk segera menikah, ya menikah, sebuah kegiatan sakral yang saya tak bisa berikan konstantanya seperti apa, dan lambat laun saya katakan itu biner, melihat banyaknya cerita nyata yang indah dan lebih menyeramkan dari sebuah cerita horor mana pun.

Ya menikah menjadi sebuah kejadian yang pasti buat seorang manusia hingga akhirnya merekaberdua, bertiga hingga berempat bahkan menjadi berlima hingga dengan jumlah angka lainnya, menikah menjadi pertimbangan saya untuk beberapa saat kemarin.

Yakin, itulahyang saya dapatkan dari teman saya itu, ya semisal semuanya juga sudah pada tempatnya, semuanya tinggal bagaimana mencari hal yang menjadikannya nyata.

Entah mengap asaya selalu menghitung dengan angka, sehingga kadangkala saya bingung sayasudah pada angka berapa dan mungkin saya menjadi lebih bingun lagi ketikajumlah yang saya hitung itu lebih atau pun kurang bahkan tidak berubah sedkitpun.

Namun saya sadari, saya harus menikah, dengan seseorang yang yang pilih dengan keyakinan seadanya.

Saya punya banyak sekali cita-cita, semisal undangan yang dikirim itu kumpulan cerita yang berbentuk buku kecil, semuanya tulisnnya saya dan pasangan saya yang tulis,hingga kadang-kadang saya ingin punya istri yang bisa menulis dengan baik, bukan alasan yang sembarangan, karena saya pikir seorang penulis itu tentunya juga seorang pembaca.

Undangan dengan tulisan yang kecil, dengan sampul hitam dan tulisan abu tua, dengan kertas 70gram sepertinya makin menarik, karena bayangannya itu akan membuat sediki tkonsentrasi untuk membaca, begitu pun dengan warna abu tua akan memberikan perhatian lain untuk proses membaca isinya. Isinya cerita saja keseharian, atau mungkin sebuah otobiografi acak-acakan dari kegiatan keseharian, cerita-cerita indah dan mungkin beberapa menyedihkan dan itu cerita saya dengannya. Dimulai dengandenah dan semua orang yang saya kira berpartisipasi dalam bagaimana semua halitu akan menjadi leih indah saya akan tulis, sepertinya saya akan menyesal,jika kertas yang banyak itu tak mampu menuliskan banyaknya nama yang membuat saya bahagia hingga hari itu datang.

Beberapa halaman akan saya kosongkan, dan itu hak yang pegang akan menulis apa, begitu pun dengan ucapan terima kasih saya akan berikan pinsil yang pendek dan beberapa kertas yang bisa menjadi catatan untuk mereka catat, bahwa hari itu saya sedang bahagia.



*diketik dengan senang hati.

Kamis, 02 Mei 2013

Catatan, Mei tahun Ini

Senangnya bisa menulis malam lagi terutama ada Explosions In The Sky memperdengarkan The Only Moment We Were Alone, ya malam ini malam kedua di bulan Mei, entah mengapa bulan ini sangat berkesan untuk saya, ya saya sendiri saja, saya yang tahu kesannya seperti apa dan mungkin kesan yang lain untuk orang lain. Entahlah.

Jika di luar negeri sana mungkin tanggal pertama dan  kedua itu menjadi libur nasional mereka dan selanjutnya arak-arakan damai akan terjadi di hari buruh itu, memperingati kejadian yang lampau di Haymart dulu dan hingga sekarang pun di Indonesia terjadi demikian, namun beda orang dan sistem yang hampir sama.tragis memang, tapi saya kira jika tetap pada teori kelasa kan sama saja dengan mempertahankan jarak, sehingga massifitas lasannya, usaha yang lebih mikro saya kira jawabannya atas masalah perburuhan.

Hari buruh sebagian orang menamakannya namun bagi saya itu adalah hari yang saya tunggu, sejak sepuluh Maret lalu saya ingin tak menulis status facebook ataupun twitter, ya itu sebagian dari beberapa kegiatan saya mengisi waktu luang, sebagian lagi ya berinteraksi di dunia nyata tentunya, dengan sebaik-baiknya kenyataan yang membuat saya tetap bersyukur masih bisa menikmatinya, entah kenapa hari itu saya ingin berikrar seperti itu, namun itu usaha saya untuk menghormati saya sendiri. Narcissus? Bukan tentunya, kalau itu sebuah cerita Yunani sana yang dibawa ulang oleh Sigmund dalam penggambaran fenomena Ujub.

Sedari April lalu, saya inginnya satu Mei itu main ke Taman Kupu-Kupu, saya ingin mengingat kembali jika untuk menjadi secantik kupu-kupu itu bukan dengan waktu yang dekat, bukan sebuah kata sihir yang membuat seolah kedipan mata dan seekor ulat berubah menjadi kupu-kupu. Ya hanya menikmati keingintahuannya saja, inginnya begitu saja.

Ulat, sebuah serangga yang kerap kali dianggap menjadi hama, bahkan sebuah ancaman, padahal jika melihat ukurannya yang kecil saya kira itu bukan sebuah ancaman. “Pa Aki, naha teu dipaehan eta hileudna?” tanya saya dulu pada almarhum kakek saya, “Teu kudu,” ujarnya santai, “Naha?” tanya saya lagi, “Yeuh hileud mah jang parab manuk, lain tempatnya jelema mah maehan hileud,” ujarnya lagi.

Jika tak salah percakapannya demikian, saya juga lupa-lupa ingat, soalnya kenangan manis bersama beliau sangat berkesan dengan kata-katanya yang santai, hampir percakapan kami terjadi itu di sawah atau di kebun yang ia garap.

Dulu jika libur saya sering sekali disuruh mengantar bekal untuk kakek di sawah, di sana sudah ada Ema, panggilan sayang saya untuk nenek saya, dan Pa Aki, tentunya dengan para petani yang bekerja untuk mereka. Di saung biasa kami membuka makanan yang telah saya bawa bersama kakak sepupu saya A Hanhan atau A Elfa ataupun bersama Almarhum Wa Dedeh, sungguh menyenangkan disaat mereka menggarap sawah, yang anak-anak biasanya mandi di sungai samping sawah, sangat menyenangkan sekali untuk mengingatnya.

Memang semua hal sebaiknya ada pada tempatnya, begitu pun dengan ulat, seharusnya ada di dahan dan menjadi makanan burung, namun ekosistem alam telah berubah sekarang burung tempatnya bukan di pohon namun di sangkar, dan kupu-kupu ada di penangkaran. Manusia telah bermain tuhan sepertinya. Entah apa yang mereka pikirkan ketika menyimpan kehidupan dalam sangkar dan memberikan opsi lain dari kehidupan burung tersebut.

Taman Kupu-Kupu, ya biasanya saya panggil demikian, karena terteranya pun demikian. Sebuah area penangkaran yang ingin saya sambangi awal Mei ini di Cimahi sana, namun sepertinya harus saya pending, tak ada teman bisa menemani saya, bahkan harapan terakhir saya pun begitu. Saya dapat kabarnya setelah 8 jam menanti, di parkiran sekolah saya dengar kabarnya. Alasannya ia bingung harus memberi kabar ke mana, “HPnya mati,” ujarnya tapi entahlah saya pun tak tahu harus berkata apa untuknya, ketika hari makin siang saja dan hujan akan segera datang saya sudah menyerah untuk menikmati hari yang saya liburkan sendiri disela-sela orderan yang datang terus-menerus. Kurang manfaatnya jika hanya berpikir rencana hari ini gagal, toh mungkin hari esok masih datang.

mungkin bukan kesempatan saya menikmati keingin tahuan saya atasa serangga dengan kamu. atau mungkin harus sendirian saja seperti kebiasaan saya bermain kemanapun sendirian. toh mati pun sendirian, bukankah itu yang paling dekat dengan saya sadar tak sadar.

Sepertinya beberapa awal Mei bukan hari yang indah untuk saya kenang, ya itu mungkin saja, namun disaat semuanya serasa penat, buku seolah menjadi jalan yang indah untuk ditelusuri, sebuah buku cantik dari Anggun Pramudya, terima kasih banyak untuk ilmunya Hermawan Kartajaya, untuk beberapa kali pun sepertinya saya tak bosan dengan sampel kepemimpinan yang ada di bukunya, sembari menunggu seharian ini juga masih berkutat untuk hal demikian.

Cibiru saya tahunya demikian, ya hari ini akan diadakan nonton bareng film Dibalik Frequensi, namun sayang mbak Luviananya tak hadir untuk memberitahukan lebih jelas keganasan media saat ini. Sedari Jum’at lalu saya tahu acara ini akan berlangsung, namun saya lebih tertarik dengan Stand Up dari Aad teman saya, ia orang Indramayu, sebuah daerah yang saya belum jelang, mungkin nanti jika santai. Tapi sebelumnya ingin main ke Bayah di Banten sana, ingin tahu tempat belajarnya Tan Malaka, dan indahnya pasir Sawarna.

Namun saya tak dapati perform Aad sore itu, salah saya kenapa harus membeli makanan terlebih dahulu dan sebelum hujan semakin membuat jok motor saya basah, sepertinya saya harus segera ke Buah Batu, ada teman menunggu di sana.

Dan hujan makin ramai saja, bagi saya hujan itu rintik air yang banyak menghalangi pandangan saya untuk melihat kamu lebih jelas, dan ketika hujan reda nyanyian Semoga Ku Sembuh Part II menjadi soundtrack perjalanan bermotor untuk saya sendiri saja.

Dan jarak makin jauh saja, bagi saya jarak hanya beberapa langkah yang saya harus lalui untuk bertemu kamu, dan ketika saya sampai kamu telah pergi lagi, dan saya ingat puisinya Kuhentikan Hujan, sembari ingatkan saya untuk kembali mengunyah permen karet.

Jalan makin basah saja, hingga jaket yang basah perlahan kering, dan lapar mengantar saya untuk beristirahat pulang.


*diketik sembari senggang

Rabu, 01 Mei 2013

Terima kasih


“I think it possibly may be i falling for you..” Landon Pigg

Itu liriknya yang baru saja dinyanyikan di speaker Altec lama, suaranya hampirmasih sama, ya lagu ‘jatuh’ bagus menurut saya, jika mendengarnya saya ingat KingOf Convenience, dan Fumblenya Architecture In Helsinki, petikan gitar yangbagus sekali.

Semalam gerhana Matahari, dimulai dari 3an, ternyata sangatsebentar, ya tak mungkin juga gerhana itu berhari-hari , jika gerhana yangsinetron di RCTI dulu itu mungkin lebih lama dari beberapa hari, jadi ingat Gerhanasekedip lalu kemudian beberapa orang terpental dan ada Genta, seorang anak yangpunya kemampuan sama, yang jadi takut adalah jika mereka yang punya kekuatankedipan sedahsyat itu kelilipan dan itu sangat membahayakan banyak orang disekelilingnya. Kadang kala cerita fiksi jika dibawa ke kenyataan hanya akanjadi pertanyaan besar saja. Terus jika ada orang yang cita-citanya jadiGerhana, pas ia kedip-kedip paling orang sekitarnya bilang, “Ari kamu cageur?”

Gerhana dalam Islam punya kedudukan yang sangat istimewa, dalamwaktu yang pendek itu disuruh untuk solat, ya dengan empat takbir dengan empat Al-Fatihahdan empat surat, dua ruku dan empat sujud, dengan diakhiri ceramah semuanyasatu paket dalam waktu yang pendek itu, ya dalam  waktu yang pendek itu saja. Gerhana.
Dalam Gerhana biasanya orang-orang mulai melihat ke atas, yabulan purnama yang indah itu, dan kerlip bintang hanya beberapa di sampingnya,ya hanya beberapa saja terlihat di Ciapus ini, Halo tak terlihat jelas namunbulan malam tadi sangat indah, saya tak lihat gerhananya seperti apa, jujursaja saya takut melihat fenomena seperti itu secara langsung, takutnya jikadengan kehendakNya memperpanjang proses gerhana jadi berbulan-bulan, dansepertinya siang akan sangat dirindukan, shalat Dhuha akan sangat diingat,begitu pun hitungan waktu akan serba salah, karena hari menjadi gelap.

Jadi ingat dengan alam dan lingkungan, sepertinya duluanggapan anomali itu jarang sekali ada, dan itu siklusnya masih bisa diprediksikan,namun sepertinya anomali menjadi wajah dari cuaca sekarang ini, ya dengan hujanyang kerap kali menyapa mesra tiap hari, bahkan untuk pelataran rumah jait punjika hujan datang genangan akan terjadi secara alamiah, begitu pun denganpenampakan dari lapang voli di selatan rumah saya yang dulu, seperti genangansaja, dan parahnya itu sebesar lapangan voli dan beberapa tempat dudukpenonton, entah mengapa saya sewaktu dulu, untuk melihat pemandangan sepertihanya jika hujan sangat besar saja, dan kesibukan lainnya sewaktu hujan besarberhenti ialah mencari jamur yang banyak tumbuh setelah hujan reda, dansekarang hampir tak mungkin, jarang sekali saya dapati hal itu, nampaknyakesuburan bukan lagi milik tanah, tapi milik seorang eyang yang gagap mengucapkanAl Fatihah di layar TV.

Dulu sewaktu SD jika hujan datang lapangan bola yang menjadibanyak tujuan orang, sungguh menyenangkan bermain bola, meskipun make upnya itu lumpur, dan aturannyahanya satu. Bersenang-senang.
Meskipun kadang sakit demam karena bermain bola sebelummakan itu ternyata membuat sakit, dan entah beberapa kali itu terjadi, tetapsaja aturan senang-senang menjadi tujuannya, maklum saja anak-anak tahunyahanya permainan, bukan seperti orang tua yang tahunya hanya penghidupan.

Hujan kini menjadi wajah lain di sekitarku, sepertinya rasatakut menjadi bagian di dalamnya, takut rumah saudara di daerah Kamasan terendam,takut luapannya akan merendam rumah teman di Cirengit dan Sayangsari, dan takutakumulasinya akan merendam Bandung, dimulai dari Bale Endah dan Dayeuh Kolot.

Hujan, seperti semua orang mengejanya, dari lima huruf yangsering beberapa penyair katakan sebagai metafora romantisme, ataupun sebuahejaan tentang kesederhanaan kasih sayang, Sapardi juga menuliskannya demikian,namun kadang kala perumpamaan tidak semuanya bisa menjadi hal-hal indah saja.Kadang unsur ketakutan akan lebih dominan untuk alam yang anomali.

Sepertinya air akan tampak menjadi berkah jika padatempanya, ingat perkataan Erik senior saya dulu di Suaka, “Yeuh, mun aya cai ngeclak, tapi butuhnya sagelaseun, tandean we! Tapikudu sabar,” ujarnya ketika saya mengeluh kenapa tulisan saya lebih jelekdari teman-teman yang lain. Namun pada kenyataan sekarang segelas air yangdiperlukan tapi yang datang bukan air dengan tetesan namun dengan galonan.

Sepertinya perlu adaptasi yang baik untuk alam yang semakinganas ini, sekarang bukan di gunung saja yang alamnya ganas, namun di desa dan kotapun alam demikian.

Dari semua keluhan sepertinya hanya akan membuahkanomelan-omelan saja dan lupa bersyukur, sepertinya rasa syukur harus tetap ada,ini hujan hanya beberapa jam, dan bersyukur bukan berbulan-bulan, ini banjirberhari-hari dan bersyukur bukan bertahun-tahun.

Terima kasih, dan terima kasih sepertinya harus menjadikebiasaan dan selanjutnya menjadi budaya bersyukur.

Terima kasih juga untuk teh kotak dari Nirra dan Ratu untuksore yang menyenangkan kemarin.



*diketik dengan senang hati

Mahapralaya

sebutan hancurnya tujuh loka
loka tempat mu dihatiku
seperti itukah?


*banjaran tadi pagi

Minggu, 07 April 2013

Tiga Minggu lagi bulan Mei


Hari ini hujan,  yaitu sedari pagi rintik kecil bertahan cukup lama sedari shubuh tadi. Ya seperti itu terus saja rinainya berhenti ketika mendekati pagi yang makin terang.Sekarang hari ju’mat, sebuah hari raya yang lain dalam kalender Islam.


Esok itu ada wawancara yang diselenggarakan oleh SUAKA. Dan hari ini adalah membawa barang yang saya telah pesan sedari akhir Maret lalu,sekarang sudah hampir habis Minggu pertama di bulan April.


Dua gulung kain sabet yang nanti saya mau bikin hammuck,segulung kecill kain hitam dan beberapa lembar kain yang rencana akan menjadi bagian dari bisnis kecil saya. Ya saya jadi kepikiran terus ingin buat rental alat-alat kemping, meskipun tidak di banjaran tapi saya bisa pastikan itu akan terjadi dalam beberapa tahun ke depan.


Semuanya seperti paralel saja, saya ingin buat rental yang sepetinya lebih menguntungkan dari pada membuat barang dan segera menjualnya.Ya saya sedang mengumpulkan barangnya dahulu, mengumpulkan beberapa sleeping bag dengan matras dan beberapa puluh carrier saya bisa buat sendiri. Dan rencana selanjutnya tenda, sayang saya terlalu cepat untuk membeli bahan, sehingga keputusan pertama jatuh pada pembuatan hammuck. Ya beberapa puluh hammuck tepatnya.


Hammuck ialah sebuah lembaran kain yang mempunyai lubang untuk tali yang selanjutnya menjadi sejenis ayunan yang biasa dipakai tidur di pegunungan, atau lebih tepatnya di pohon, saya tahu hammcuk dari saudara saya a Elfa, ia seorang PA atau pecinta alam dari Jantera, sebuah kelompok pencinta alam dari jurusan geografi UPI.

Ya dari situ saya mulai mengenal peralatan naik gunung, dimulai dari hammuck hingga terus bereksperimen membuat hal lainnya, semisal sleepng bag, matras, hingga gaiter. Hampir semuanya saya kira sudah cukup untuk saya jual. Namun ada beberapa barang yang saya belum kuasai pembuatannya, tenda.


Saya kerap kali gagal membuat tenda. Entahlah, sepertinya semakin besar barang yang dibuat semakin rumit juga pengerjaannya.


Saya kadang kala aneh kenapa saya terus membeli bahan yang kerap kali saya kurang bisa menggarapnya. Hingga beberapa karung saya simpan saja di rumah jahit. Hingga kini barang itu makin banyak saja.


Dan sepertinya saya baru dapat hikmahnya, saya harus segera membuat rental alat-alat kemping. Dan rencananya dimulai mei nanti. Entah darimana uangnya, tapi Mei nanti tetapsaya akan jelang.


Beberapa puluh hammuck sudah siap. Tinggal beberapa puluhbarang lainnya.


*diketik sembari senggang

Sunting di warnet setempat

di warnet setempat saya panggil ia begitu
ya, sebagian jejak rekamnya saja
seperti itu

hanya melihat tulisannya saja
tanpa tahu raut wajahnya seperti apa
seperti itu

entahlah serasa bingung saja
mencari tulisan dan entah pergi kemana maknanya
seperti seseorang sepertimu
seperti tulisan sepertimu
seperti itu saja

hanya membaca saja
seperti itu saja


*indahnya banjaran dikala cerah

Mencari Slamet di 3400an MDPL


Kata yang saya ingat sebelum pusing terus menjalar dan makin menjalar itu ,“God mau bikin judul apa buat tulisan nanti?” kata Wildan, namun saya kurangbisa fokus untuk kata apa yang nanti akan saya rangkai untuk tulisan saya,sebuah catatan saja, sekedar untuk pengingat lupa dan penawar takut kenanganakan dilupakan.

Saya sudah di Cibiru ketika akan berangkat menuju Cicaheum Kamis sore yang dingin,bukan alasan karena jaket saya ada di dalam tas, dan selembar kaos tipis yangsaya pakai waktu itu menjadi penyebabnya, hujan baru saja datang dan udaradingin itu hampir saya kenal seharian ini, bahkan untuk minggu-minggu ke belakangpun demikian, Bandung sedang musim hujan saat ini, namun dinginnya tak sedinginangin yang menerpa mereka di Dayeuh Kolot yang sedang kebanjiran air hujan duahari lalu, mungkin tanah sedang tak senang dengan air yang datang sering kalimenghujaninya, tanah menjadi lebih keras dibanding semen pabrik setempat.

Angkot hijau telah saya duduki, sebuah tempat di pojok kiri ketika masuksemua angkot, seorang anak kecil menatap tas saya yang hitam dan kuning berpadumesra di pangkuan saya, Cicaheum saya jelang beberapa menit lagi, ternyata ibukyai haji Annisa Prem Andini belum sampai juga, dan angkot telah sampai,sepertinya tak baik menyebut beliau Prem, takutnya sebutan itu hanya akan jadidoa saja, saya tak sanggup jika keponakannya tahu dan anaknya pun menyebutnyademikian.

Setelah tak lama berselang kami bertemu rombongan yang akan berlanjut kePurbalingga tempat eksekusi perjalanan dimulai. Ternyata di luar dugaan tikethabis dan kami berpencar, saya bersama Wildan yang sedang menyelesaikankuliahnya di Widyatama, Fiersa yang merencanakan mini konsernya di Safe Bistronanti Sabtu, Azie yang nanti senin itu kuliah lagi, dan David yang seninnya ituakan melaksanakan ujian, karena jika tak masuk ia akan mengulang tahun depan,Ari yang menunggu penempatan dari pekerjaannya di bea cukai dan Annisa yangterlatih dalam mendaki beberapa gunung, kami dalam bus yang sama, tertulisAlladin dengan besar namun kami tahu itu hanya pura-pura saja nama aslinya ituperusahaan bus angkutan yang pekerjanya tak baik semua karena membuat dua hargadalam satu transaksi, mereka membayar dengan 45 ribu dan kami dipaksa dengan 50ribu. Sedang Dian dalam rombongan lain, ia telah punya tiketnya.

Perjalanan tak singkat di malam hari karena ternyata menjelang Shubuh kamibaru sampai di Purwokerto, dan dilanjutkan dengan menggunakan sejenis angkutanyang kami sebut Elf, menuju Selaganggeng sebuah tempat di bawah gunung Slametdengan sebuah pertigaan kami jelang ketika cahaya matahari makin terang danBambangan akan segera kami jelang sebentar lagi.

Di terminal Purwokerto kami bertemu dengan rombongannya Dewa, kami sebutdemikian karena yang saya ingat itu orangnya cuma itu saja, saya sempatberkenalan dengan rombongan yang lain, namun karena hafalan saya akan namasingkat, saya tuliskan itu lupa lagi. Maklum, sudah tua dan segera masuk surga.

Menaiki mobil sejenis Carry, ya sebutlah demikian karena saya sebagai orangyang tahunya mesin jahit, saya tak tahu jenis jelasnya mobil tersebut, tak tahujuga kenapa mobil tersebut harus secara sengaja mogok dua kali, tak tahu jugamengapa dari kelompok kami yang turun dan rombongan Dewa tetap di tempatduduknya, saya tak tahu akan terjadi demikian. Sungguh.

Sebelum menuju basekamp, ya saya sebut demikian, karena toh tertulisdemikian dari baligo depan dua rumah yang berderet mesra di hadapan masjid tigatingkat di kaki gunung Slamet. Sepertinya salah tulis, tapi saya maklumidemikian.

Pagi menuju siang makin basah saja di tempat singgah nan menyenangkan itu,tempat yang nyaman dengan makanan yang menggugah selera, karena menu bukanmasalah, yang terpenting adanya makanan saja itu sungguh nikmat.

Pagi makin hilang saja, rombongan lain telah pergi menuju tempat tujuan,sebuah puncak yang terlihat merah dikala cerah dan terjalnya bukan main terjal.Ada yang berangkat sebelum shalat Jum’at berlangsung ada yang setelahnya,sedangkan kami menunggu teman kami Dian, tanpanya kami tidak genap dansepertinya akan tambah satu lagi teman mendaki Dian, kami sebut ia Widya,seorang mahasiswi yang kerap kali merasa dingin ketika di Papandayan, dan ituhampir terjadi lagi di kaki gunung Slamet, mungkin udaranya belum menyesuaikandengan keadaan dirinya.

Kami merencanakan berangkat di waktu malam akan berakhir, mencari suasanaterang lebih baik daripada mencari kegelapan di perjalanan, sebelum Shubuh kamiberjalan bersama ditambah mas Erwin yang kami temui di tempat kami tidur, bulansedang cantik-cantiknya malam itu, Shubuh sempat datang dan berhenti sejenak.Udara yang sejuk, langit yang indah, sungguh mempesona mata.

Ternyata diluardugaan Widya ingin segera menuntaskan perjalanannya kali ini,sebelum pos 3 ia diantar Dian dengan mesra berdua saja menuju pos 1, oh iyasaya tak hafal nama tiap pos, saya enggan menuliskannya, bahkan mencatatnya,kala hujan memang membuat malas datang dengan sering. Jika saja saya hafal mungkinakan saya buat sub judul, ‘Perjalanan Penuh Haru Di Gunung Slamet’ untuk Dian.

Di pos 3 kami menunggu Dian untuk meneruskan perjalanan lagi, hujanmengguyur dengan basahnya dan Ratna datang dengan suara batuk yang khas bagitemannya, entahlah mengapa ia memilih ringtone yang demikian untuk batuknya. Ohiya ia seorang calon dokter di masa depan. Saya kira jika pasiennya akantertawa sebentar jika mendengar suaranya demikian, saran saya Ratna segeramenggunakan provider yang baru untuk ringtone batuknya. Tapi ia sendirian,biasanya ratna bareng Tiara, sebuah nama indah dari pernik lautan sana, tapisaya temukan ia di pos 4 dan Nadia di tengah perjalanan menuju ke sana.

Dian akhirnya datang juga, dan kami segera melanjutkan perjalanan lagi, kamiterpisah cukup jauh, Annisa dan Ari telah lebih dulu di atas sana, dan kamisegera menyusulnya, saat langit makin hitam kami bertemu kembali untuk diamdalam satu tenda, sebuah waktu yang membisikkan kami untuk segera beristirahatsetelah makan, udara makin dingin, dan rencana summit attack dimulai pada jamdua malam akan segera digelar.

Ternyata rencana hanya rencana, summit attack dilakukan pada jam tiga lebihdan kami pun melakukannya, perjalanan summit attack dalam pendakian yang hampirmassal itu memang memberikan pengalaman yang berbeda, terlihat sepertirombongan headlamp dan senter sepanjang jalan, ditambah lagi jalur pendakianyang sangat memberikan kesan untuk gunung tertinggi kedua di pulau Jawa.

Saya, Fiersa dan ari duduk saja di punggung gunung, menunggu ufuk  yang segera datang beberapa menit lagi,Fiersa sudah siap dengan kameranya Ari pun demikian, saya sudah siap denganmomen seperti itu, sudah siap untuk tahu betapa dunia ini indah. Indah sekali.Seperti lukisan dengan garis-garis yang tidak mungkin seorang pun mampumembuatnya, tak seorang pun tahu cara membuatnya.

Sedangkan Dian dan Annisa sudah di puncak sana dengan pakaian yangmembuatnya jadi sarjana. Dan kabarnya David menyerah di pos 8, tapi itubeberapa menit yang lalu, karena beranjak terang David terlihat bersama kawanbarunya dan mas Erwin. David tidak menyerah rupanya.

Berjalan pelan menuju puncak dengan beberapa kejadian semisal paniknyaseorang pendaki yang tidak membawa logistik menuju puncak, terlebih lagi iasendirian, batuan yang terus mendapatkan erosi dan yang membuat saya berpikir,“Aneh kenapa harus terjadi demikian?” ialah rusaknya alam oleh ulah parapendaki yang hanya menikmatinya saja tanpa merawatnya.

Perlahan kabut datang dan menyuruh kami untuk segera turun, dengansebelumnya terima kasih sangat banyak untuk penolong perut kami Diklat lapardatang menjemput untuk segera makan. Dan saya harus berlaku demikian sama untukmereka yang memerlukan bantuan seperti keadaan saya ketika itu sebagai syukur.

Ternyata turun gunung itu lebih cepat dan mengasikkan, ternyata Wildan danAzie bertatap muka di perjalanan pulang menuju tenda, akhirnya mereka naik jugasetelah sebelumnya memutuskan untuk berdiam di tenda, tapi mereka tidak menujupuncak dan melanjutkan turun bersama kami.

Bergegas pulang dengan segera, hanya itu dalam pikiran saya, hujan itumembuat pikiran lebih penat dengan dinginnya dan itu sepertinya terjadi jugapada akhirnya dalam beberapa pos terakhir dan kami meninggalkan gunung Slametdengan kesan yang tidak semua tahu.

Bertujuh diakhiri dengan naik angkutan ke Purwokerto dan segera naik busMandalla yang saya coret dalam pilihan saya lagi ketika akan bepergian denganbus. Dan Annisa menuju kota Sri Hamengkubuwono.

Ada yang hilang dalam perjalanan ini seorang Aldy harus mengerjakan tugasnyadi kantor Mandiri di Cikapayang sana. Dan Faisal juga tak ikut, entah ia sedang apa, mungkin banyak hal diBandung ini yang membuatnya tetap di Bandung.

Dinginnya Slamet mengajarkan pada kami untuk cukup tahu bahwa syukur ituseperti itu adanya. Kami hanya cukup untuk bersyukur bahwa masih ada teman yangmau melakukan perjalanan menuju puncak merah, menuju tempat yang akan kamikenang sebagai tempat kami pernah berjumpa di ketinggian itu.

Kami hanya tahu jika indah itu bersyarat, syaratnya cuma dikenang, sepertikami kenang kami pernah berjalan beriring bersama, seperti beriring huruf T, E,M,   dalam kata TEMAN.

Saya turun di Limbangan, maksud hati ingin main ke Banyuresmi dulu, tapisaya urungkan, ada seorang yang lebih ingin saya temui di Cibiru, seorang yangkerap kali saya kirimi SMS yang mungkin konyol, tapi akhirnya saya urungkanjuga karena pekerjaan di rumah memaksa saya untuk segera pulang.

Untukmu saja, have a nice day!



*diketik dengan senang hati, diiringi Falling In Love at a Coffee Shop –Landon Pigg