Senangnya bisa menulis malam lagi terutama ada Explosions In
The Sky memperdengarkan The Only Moment We Were Alone, ya malam ini malam kedua
di bulan Mei, entah mengapa bulan ini sangat berkesan untuk saya, ya saya
sendiri saja, saya yang tahu kesannya seperti apa dan mungkin kesan yang lain
untuk orang lain. Entahlah.
Jika di luar negeri sana mungkin tanggal pertama dan kedua itu menjadi libur nasional mereka dan
selanjutnya arak-arakan damai akan terjadi di hari buruh itu, memperingati
kejadian yang lampau di Haymart dulu dan hingga sekarang pun di Indonesia
terjadi demikian, namun beda orang dan sistem yang hampir sama.tragis memang, tapi saya kira jika tetap pada teori kelasa kan sama saja dengan mempertahankan jarak, sehingga massifitas lasannya, usaha yang lebih mikro saya kira jawabannya atas masalah perburuhan.
Hari buruh sebagian orang menamakannya namun bagi saya itu
adalah hari yang saya tunggu, sejak sepuluh Maret lalu saya ingin tak menulis
status facebook ataupun twitter, ya itu sebagian dari beberapa kegiatan saya
mengisi waktu luang, sebagian lagi ya berinteraksi di dunia nyata tentunya,
dengan sebaik-baiknya kenyataan yang membuat saya tetap bersyukur masih bisa
menikmatinya, entah kenapa hari itu saya ingin berikrar seperti itu, namun itu
usaha saya untuk menghormati saya sendiri. Narcissus? Bukan tentunya, kalau itu
sebuah cerita Yunani sana yang dibawa ulang oleh Sigmund dalam penggambaran
fenomena Ujub.
Sedari April lalu, saya inginnya satu Mei itu main ke Taman
Kupu-Kupu, saya ingin mengingat kembali jika untuk menjadi secantik kupu-kupu
itu bukan dengan waktu yang dekat, bukan sebuah kata sihir yang membuat seolah
kedipan mata dan seekor ulat berubah menjadi kupu-kupu. Ya hanya menikmati
keingintahuannya saja, inginnya begitu saja.
Ulat, sebuah serangga yang kerap kali dianggap menjadi hama,
bahkan sebuah ancaman, padahal jika melihat ukurannya yang kecil saya kira itu
bukan sebuah ancaman. “Pa Aki, naha teu dipaehan eta hileudna?” tanya saya dulu pada
almarhum kakek saya, “Teu kudu,” ujarnya santai, “Naha?” tanya saya lagi, “Yeuh
hileud mah jang parab manuk, lain tempatnya jelema mah maehan hileud,” ujarnya
lagi.
Jika tak salah percakapannya demikian, saya juga lupa-lupa
ingat, soalnya kenangan manis bersama beliau sangat berkesan dengan
kata-katanya yang santai, hampir percakapan kami terjadi itu di sawah atau di
kebun yang ia garap.
Dulu jika libur saya sering sekali disuruh mengantar bekal
untuk kakek di sawah, di sana sudah ada Ema, panggilan sayang saya untuk nenek
saya, dan Pa Aki, tentunya dengan para petani yang bekerja untuk mereka. Di
saung biasa kami membuka makanan yang telah saya bawa bersama kakak sepupu saya
A Hanhan atau A Elfa ataupun bersama Almarhum Wa Dedeh, sungguh menyenangkan
disaat mereka menggarap sawah, yang anak-anak biasanya mandi di sungai samping
sawah, sangat menyenangkan sekali untuk mengingatnya.
Memang semua hal sebaiknya ada pada tempatnya, begitu pun
dengan ulat, seharusnya ada di dahan dan menjadi makanan burung, namun
ekosistem alam telah berubah sekarang burung tempatnya bukan di pohon namun di
sangkar, dan kupu-kupu ada di penangkaran. Manusia telah bermain tuhan
sepertinya. Entah apa yang mereka pikirkan ketika menyimpan kehidupan dalam
sangkar dan memberikan opsi lain dari kehidupan burung tersebut.
Taman Kupu-Kupu, ya biasanya saya panggil demikian, karena
terteranya pun demikian. Sebuah area penangkaran yang ingin saya sambangi awal Mei
ini di Cimahi sana, namun sepertinya harus saya pending, tak ada teman bisa
menemani saya, bahkan harapan terakhir saya pun begitu. Saya dapat kabarnya
setelah 8 jam menanti, di parkiran sekolah saya dengar kabarnya. Alasannya ia bingung
harus memberi kabar ke mana, “HPnya mati,” ujarnya tapi entahlah saya pun tak
tahu harus berkata apa untuknya, ketika hari makin siang saja dan hujan akan
segera datang saya sudah menyerah untuk menikmati hari yang saya liburkan
sendiri disela-sela orderan yang datang terus-menerus. Kurang manfaatnya jika
hanya berpikir rencana hari ini gagal, toh mungkin hari esok masih datang.
mungkin bukan kesempatan saya menikmati keingin tahuan saya atasa serangga dengan kamu. atau mungkin harus sendirian saja seperti kebiasaan saya bermain kemanapun sendirian. toh mati pun sendirian, bukankah itu yang paling dekat dengan saya sadar tak sadar.
Sepertinya beberapa awal Mei bukan hari yang indah untuk
saya kenang, ya itu mungkin saja, namun disaat semuanya serasa penat, buku
seolah menjadi jalan yang indah untuk ditelusuri, sebuah buku cantik dari Anggun
Pramudya, terima kasih banyak untuk ilmunya Hermawan Kartajaya, untuk beberapa
kali pun sepertinya saya tak bosan dengan sampel kepemimpinan yang ada di
bukunya, sembari menunggu seharian ini juga masih berkutat untuk hal demikian.
Cibiru saya tahunya demikian, ya hari ini akan diadakan
nonton bareng film Dibalik Frequensi, namun sayang mbak Luviananya tak hadir
untuk memberitahukan lebih jelas keganasan media saat ini. Sedari Jum’at lalu
saya tahu acara ini akan berlangsung, namun saya lebih tertarik dengan Stand Up
dari Aad teman saya, ia orang Indramayu, sebuah daerah yang saya belum jelang,
mungkin nanti jika santai. Tapi sebelumnya ingin main ke Bayah di Banten sana,
ingin tahu tempat belajarnya Tan Malaka, dan indahnya pasir Sawarna.
Namun saya tak dapati perform Aad sore itu, salah saya kenapa
harus membeli makanan terlebih dahulu dan sebelum hujan semakin membuat jok
motor saya basah, sepertinya saya harus segera ke Buah Batu, ada teman menunggu
di sana.
Dan hujan makin ramai saja, bagi saya hujan itu rintik air
yang banyak menghalangi pandangan saya untuk melihat kamu lebih jelas, dan
ketika hujan reda nyanyian Semoga Ku Sembuh Part II menjadi soundtrack perjalanan bermotor untuk
saya sendiri saja.
Dan jarak makin jauh saja, bagi saya jarak hanya beberapa
langkah yang saya harus lalui untuk bertemu kamu, dan ketika saya sampai kamu
telah pergi lagi, dan saya ingat puisinya Kuhentikan Hujan, sembari ingatkan
saya untuk kembali mengunyah permen karet.
Jalan makin basah saja, hingga jaket yang basah perlahan
kering, dan lapar mengantar saya untuk beristirahat pulang.
*diketik sembari senggang