Kamis, 02 Mei 2013

Catatan, Mei tahun Ini

Senangnya bisa menulis malam lagi terutama ada Explosions In The Sky memperdengarkan The Only Moment We Were Alone, ya malam ini malam kedua di bulan Mei, entah mengapa bulan ini sangat berkesan untuk saya, ya saya sendiri saja, saya yang tahu kesannya seperti apa dan mungkin kesan yang lain untuk orang lain. Entahlah.

Jika di luar negeri sana mungkin tanggal pertama dan  kedua itu menjadi libur nasional mereka dan selanjutnya arak-arakan damai akan terjadi di hari buruh itu, memperingati kejadian yang lampau di Haymart dulu dan hingga sekarang pun di Indonesia terjadi demikian, namun beda orang dan sistem yang hampir sama.tragis memang, tapi saya kira jika tetap pada teori kelasa kan sama saja dengan mempertahankan jarak, sehingga massifitas lasannya, usaha yang lebih mikro saya kira jawabannya atas masalah perburuhan.

Hari buruh sebagian orang menamakannya namun bagi saya itu adalah hari yang saya tunggu, sejak sepuluh Maret lalu saya ingin tak menulis status facebook ataupun twitter, ya itu sebagian dari beberapa kegiatan saya mengisi waktu luang, sebagian lagi ya berinteraksi di dunia nyata tentunya, dengan sebaik-baiknya kenyataan yang membuat saya tetap bersyukur masih bisa menikmatinya, entah kenapa hari itu saya ingin berikrar seperti itu, namun itu usaha saya untuk menghormati saya sendiri. Narcissus? Bukan tentunya, kalau itu sebuah cerita Yunani sana yang dibawa ulang oleh Sigmund dalam penggambaran fenomena Ujub.

Sedari April lalu, saya inginnya satu Mei itu main ke Taman Kupu-Kupu, saya ingin mengingat kembali jika untuk menjadi secantik kupu-kupu itu bukan dengan waktu yang dekat, bukan sebuah kata sihir yang membuat seolah kedipan mata dan seekor ulat berubah menjadi kupu-kupu. Ya hanya menikmati keingintahuannya saja, inginnya begitu saja.

Ulat, sebuah serangga yang kerap kali dianggap menjadi hama, bahkan sebuah ancaman, padahal jika melihat ukurannya yang kecil saya kira itu bukan sebuah ancaman. “Pa Aki, naha teu dipaehan eta hileudna?” tanya saya dulu pada almarhum kakek saya, “Teu kudu,” ujarnya santai, “Naha?” tanya saya lagi, “Yeuh hileud mah jang parab manuk, lain tempatnya jelema mah maehan hileud,” ujarnya lagi.

Jika tak salah percakapannya demikian, saya juga lupa-lupa ingat, soalnya kenangan manis bersama beliau sangat berkesan dengan kata-katanya yang santai, hampir percakapan kami terjadi itu di sawah atau di kebun yang ia garap.

Dulu jika libur saya sering sekali disuruh mengantar bekal untuk kakek di sawah, di sana sudah ada Ema, panggilan sayang saya untuk nenek saya, dan Pa Aki, tentunya dengan para petani yang bekerja untuk mereka. Di saung biasa kami membuka makanan yang telah saya bawa bersama kakak sepupu saya A Hanhan atau A Elfa ataupun bersama Almarhum Wa Dedeh, sungguh menyenangkan disaat mereka menggarap sawah, yang anak-anak biasanya mandi di sungai samping sawah, sangat menyenangkan sekali untuk mengingatnya.

Memang semua hal sebaiknya ada pada tempatnya, begitu pun dengan ulat, seharusnya ada di dahan dan menjadi makanan burung, namun ekosistem alam telah berubah sekarang burung tempatnya bukan di pohon namun di sangkar, dan kupu-kupu ada di penangkaran. Manusia telah bermain tuhan sepertinya. Entah apa yang mereka pikirkan ketika menyimpan kehidupan dalam sangkar dan memberikan opsi lain dari kehidupan burung tersebut.

Taman Kupu-Kupu, ya biasanya saya panggil demikian, karena terteranya pun demikian. Sebuah area penangkaran yang ingin saya sambangi awal Mei ini di Cimahi sana, namun sepertinya harus saya pending, tak ada teman bisa menemani saya, bahkan harapan terakhir saya pun begitu. Saya dapat kabarnya setelah 8 jam menanti, di parkiran sekolah saya dengar kabarnya. Alasannya ia bingung harus memberi kabar ke mana, “HPnya mati,” ujarnya tapi entahlah saya pun tak tahu harus berkata apa untuknya, ketika hari makin siang saja dan hujan akan segera datang saya sudah menyerah untuk menikmati hari yang saya liburkan sendiri disela-sela orderan yang datang terus-menerus. Kurang manfaatnya jika hanya berpikir rencana hari ini gagal, toh mungkin hari esok masih datang.

mungkin bukan kesempatan saya menikmati keingin tahuan saya atasa serangga dengan kamu. atau mungkin harus sendirian saja seperti kebiasaan saya bermain kemanapun sendirian. toh mati pun sendirian, bukankah itu yang paling dekat dengan saya sadar tak sadar.

Sepertinya beberapa awal Mei bukan hari yang indah untuk saya kenang, ya itu mungkin saja, namun disaat semuanya serasa penat, buku seolah menjadi jalan yang indah untuk ditelusuri, sebuah buku cantik dari Anggun Pramudya, terima kasih banyak untuk ilmunya Hermawan Kartajaya, untuk beberapa kali pun sepertinya saya tak bosan dengan sampel kepemimpinan yang ada di bukunya, sembari menunggu seharian ini juga masih berkutat untuk hal demikian.

Cibiru saya tahunya demikian, ya hari ini akan diadakan nonton bareng film Dibalik Frequensi, namun sayang mbak Luviananya tak hadir untuk memberitahukan lebih jelas keganasan media saat ini. Sedari Jum’at lalu saya tahu acara ini akan berlangsung, namun saya lebih tertarik dengan Stand Up dari Aad teman saya, ia orang Indramayu, sebuah daerah yang saya belum jelang, mungkin nanti jika santai. Tapi sebelumnya ingin main ke Bayah di Banten sana, ingin tahu tempat belajarnya Tan Malaka, dan indahnya pasir Sawarna.

Namun saya tak dapati perform Aad sore itu, salah saya kenapa harus membeli makanan terlebih dahulu dan sebelum hujan semakin membuat jok motor saya basah, sepertinya saya harus segera ke Buah Batu, ada teman menunggu di sana.

Dan hujan makin ramai saja, bagi saya hujan itu rintik air yang banyak menghalangi pandangan saya untuk melihat kamu lebih jelas, dan ketika hujan reda nyanyian Semoga Ku Sembuh Part II menjadi soundtrack perjalanan bermotor untuk saya sendiri saja.

Dan jarak makin jauh saja, bagi saya jarak hanya beberapa langkah yang saya harus lalui untuk bertemu kamu, dan ketika saya sampai kamu telah pergi lagi, dan saya ingat puisinya Kuhentikan Hujan, sembari ingatkan saya untuk kembali mengunyah permen karet.

Jalan makin basah saja, hingga jaket yang basah perlahan kering, dan lapar mengantar saya untuk beristirahat pulang.


*diketik sembari senggang

Rabu, 01 Mei 2013

Terima kasih


“I think it possibly may be i falling for you..” Landon Pigg

Itu liriknya yang baru saja dinyanyikan di speaker Altec lama, suaranya hampirmasih sama, ya lagu ‘jatuh’ bagus menurut saya, jika mendengarnya saya ingat KingOf Convenience, dan Fumblenya Architecture In Helsinki, petikan gitar yangbagus sekali.

Semalam gerhana Matahari, dimulai dari 3an, ternyata sangatsebentar, ya tak mungkin juga gerhana itu berhari-hari , jika gerhana yangsinetron di RCTI dulu itu mungkin lebih lama dari beberapa hari, jadi ingat Gerhanasekedip lalu kemudian beberapa orang terpental dan ada Genta, seorang anak yangpunya kemampuan sama, yang jadi takut adalah jika mereka yang punya kekuatankedipan sedahsyat itu kelilipan dan itu sangat membahayakan banyak orang disekelilingnya. Kadang kala cerita fiksi jika dibawa ke kenyataan hanya akanjadi pertanyaan besar saja. Terus jika ada orang yang cita-citanya jadiGerhana, pas ia kedip-kedip paling orang sekitarnya bilang, “Ari kamu cageur?”

Gerhana dalam Islam punya kedudukan yang sangat istimewa, dalamwaktu yang pendek itu disuruh untuk solat, ya dengan empat takbir dengan empat Al-Fatihahdan empat surat, dua ruku dan empat sujud, dengan diakhiri ceramah semuanyasatu paket dalam waktu yang pendek itu, ya dalam  waktu yang pendek itu saja. Gerhana.
Dalam Gerhana biasanya orang-orang mulai melihat ke atas, yabulan purnama yang indah itu, dan kerlip bintang hanya beberapa di sampingnya,ya hanya beberapa saja terlihat di Ciapus ini, Halo tak terlihat jelas namunbulan malam tadi sangat indah, saya tak lihat gerhananya seperti apa, jujursaja saya takut melihat fenomena seperti itu secara langsung, takutnya jikadengan kehendakNya memperpanjang proses gerhana jadi berbulan-bulan, dansepertinya siang akan sangat dirindukan, shalat Dhuha akan sangat diingat,begitu pun hitungan waktu akan serba salah, karena hari menjadi gelap.

Jadi ingat dengan alam dan lingkungan, sepertinya duluanggapan anomali itu jarang sekali ada, dan itu siklusnya masih bisa diprediksikan,namun sepertinya anomali menjadi wajah dari cuaca sekarang ini, ya dengan hujanyang kerap kali menyapa mesra tiap hari, bahkan untuk pelataran rumah jait punjika hujan datang genangan akan terjadi secara alamiah, begitu pun denganpenampakan dari lapang voli di selatan rumah saya yang dulu, seperti genangansaja, dan parahnya itu sebesar lapangan voli dan beberapa tempat dudukpenonton, entah mengapa saya sewaktu dulu, untuk melihat pemandangan sepertihanya jika hujan sangat besar saja, dan kesibukan lainnya sewaktu hujan besarberhenti ialah mencari jamur yang banyak tumbuh setelah hujan reda, dansekarang hampir tak mungkin, jarang sekali saya dapati hal itu, nampaknyakesuburan bukan lagi milik tanah, tapi milik seorang eyang yang gagap mengucapkanAl Fatihah di layar TV.

Dulu sewaktu SD jika hujan datang lapangan bola yang menjadibanyak tujuan orang, sungguh menyenangkan bermain bola, meskipun make upnya itu lumpur, dan aturannyahanya satu. Bersenang-senang.
Meskipun kadang sakit demam karena bermain bola sebelummakan itu ternyata membuat sakit, dan entah beberapa kali itu terjadi, tetapsaja aturan senang-senang menjadi tujuannya, maklum saja anak-anak tahunyahanya permainan, bukan seperti orang tua yang tahunya hanya penghidupan.

Hujan kini menjadi wajah lain di sekitarku, sepertinya rasatakut menjadi bagian di dalamnya, takut rumah saudara di daerah Kamasan terendam,takut luapannya akan merendam rumah teman di Cirengit dan Sayangsari, dan takutakumulasinya akan merendam Bandung, dimulai dari Bale Endah dan Dayeuh Kolot.

Hujan, seperti semua orang mengejanya, dari lima huruf yangsering beberapa penyair katakan sebagai metafora romantisme, ataupun sebuahejaan tentang kesederhanaan kasih sayang, Sapardi juga menuliskannya demikian,namun kadang kala perumpamaan tidak semuanya bisa menjadi hal-hal indah saja.Kadang unsur ketakutan akan lebih dominan untuk alam yang anomali.

Sepertinya air akan tampak menjadi berkah jika padatempanya, ingat perkataan Erik senior saya dulu di Suaka, “Yeuh, mun aya cai ngeclak, tapi butuhnya sagelaseun, tandean we! Tapikudu sabar,” ujarnya ketika saya mengeluh kenapa tulisan saya lebih jelekdari teman-teman yang lain. Namun pada kenyataan sekarang segelas air yangdiperlukan tapi yang datang bukan air dengan tetesan namun dengan galonan.

Sepertinya perlu adaptasi yang baik untuk alam yang semakinganas ini, sekarang bukan di gunung saja yang alamnya ganas, namun di desa dan kotapun alam demikian.

Dari semua keluhan sepertinya hanya akan membuahkanomelan-omelan saja dan lupa bersyukur, sepertinya rasa syukur harus tetap ada,ini hujan hanya beberapa jam, dan bersyukur bukan berbulan-bulan, ini banjirberhari-hari dan bersyukur bukan bertahun-tahun.

Terima kasih, dan terima kasih sepertinya harus menjadikebiasaan dan selanjutnya menjadi budaya bersyukur.

Terima kasih juga untuk teh kotak dari Nirra dan Ratu untuksore yang menyenangkan kemarin.



*diketik dengan senang hati

Mahapralaya

sebutan hancurnya tujuh loka
loka tempat mu dihatiku
seperti itukah?


*banjaran tadi pagi