Minggu, 17 November 2013

Di Pantai, Kemarin

Saya telah lama menunda-nunda untuk segera menulis, entahlah saya tunda untuk beberapa menit atau berapa jam, setelah puas memperdengarkan Kings And Queens dari 30 Second To Mars dan beberapa video yang kerap kali berpikir ulang kenapa Klaxons buat video klip Echoes di gurun, kenapa video dari Vampire Weekend kebanyakan simple dengan hasil yang memuaskan, kenapa Karen O harus berkata “Wait they not love you like i love you..” dalam lagu Maps, kenapa Toki Asako seksi sekali pas bareng Toe.

Adalah saya yang sedang terus-terusan memperdengarkan Kings and Quens dari 30 Second To Mars sekarang setelah kepulangan saya di rumah ini, ya maksud saya di Banjaran ini.

Dan adalah saya juga yang tengah berbelanja di pasar Banjaran pagi kemarin, dengan daftar dari SMS nya Ibu kyai haji dokter Tiara, ia itu seorang dokter muda dari Sukabumi sana dengan ilmu yang ia peroleh dari Unjani, Unjani itu akronim seperti Puskesmas dan SMS itu adalah singkatan.

Ternyata ia khilaf untuk memberikan daftar pada saya untuk logistik perjalanan kami hari ini, perjalanan yang mengakhiri kami untuk Juni ini, entah kenapa saya ingat The Monophones jika bulan Juni berakhir, seolah sound tracknya itu Rain Of Juli saja. Dan hujan sore ini saya saksikan demikian.

Saya diantar adik saya untuk membawa motor saya kembali ke rumah saya, setelah sebelumnya bersama Dinda dari depan museum Sri Baduga saya temukan ia, ia telah beres dengan wawancara dari calon tempat kerjanya, calon tempat kerjanya mirip sekali dengan suara orang sedang bersin, Holcim!

Saya dengannya menuju Buah Batu, tepatnya depan tol Buah Batu saya berhenti dan seperti perjalanan sebelumnya, saya makan Siomay dengan Baso Tahu yang dijajakan di sana, namun kali ini saya yang ditraktir, karena uang yang ada di ATM tak mau keluar rupanya, entahlah. Dan ATM juga adalah singkatan, Cuma dari bahasa inggris, Automatic Teller Machine, bukan Anjungan Tunai Mandiri karena itu adalah jebakan istilah dari bank Adoy bekerja untuk penetrasi branding di masyarakat Indonesia dan ternyata sebagian orang berhasil terpengaruh.

Dinda tampak cantik kali ini, bukan sekali atau dua kali saya temukan demikian, sepertinya hampir setiap kali demikian terkecuali ketika ia muntah-muntah di Pangrango sana, sebentar paragraf ini sepertinya tidak romantis ya, tapi tak apalah, saya juga yakin semua orang akan berkurang kecantikan atau ketampanan satu saat, tinggal dicek lagi saja momentumnya kapan.

Langit di arah timur sudah menghitam pas saya duduk di sebelah Dinda di sana arah barat tampak cerah, namun hujan poyan datang dengan tak terkira, setelah shalat saya pun mencari tempat yang lebih nyaman untuk duduk, dengan secangkir kopi hangat sepertinya akan lebih menyemangka, sebelum teman-teman datang.

Ternyata saat kopi dihidangkan teman-teman baru saja sampai di hadapan saya dengan hujan yang datang dengan sedikit tetapi banyak saya datangi mobilnya dan berganti tempat dengan adik saya untuk segera membawa pulang motor yang telah lama temani saya ke mana pun saya pegang stangnya.

Dan perjalanan pun dimulai, dengan jalan tol yang sedang mengalami pelebaran, saya kira itu dari efek BBM naik sehingga pelayanan pun harus ditingkatkan, ternyata itu sudah menjadi program Jasamarga sedari 3 bulan lalu.

Cimahi saya jelang bareng Dian, Azi, Dinda, dan Ari. Semuanya dalam satu posisi duduk, dan setelah RS Dustira dan Unjani Ratna dan Tiara akan kami temukan, sehingga teman kami seperjalanan akan lebih banyak lagi.

Seiring matahari yang terus turun di arah barat sana, Tol Baros kami masuki dengan teman yang menunggu di Cileunyi sana, ada Adoy dengan Wildan tengah berdua saja, romantis ga ya?

Ternyata GOR Bandung Lautan Api terlihat seperti katel yang terbalik jika dari tol, di sana mungkin akan menjadi tempat bermain bola para pemain Persib, sehingga jika nanti ada permainan bola yang macet bukan Soreang, dan iring-iringan bobotoh tak bermoral tak akan kebut-kebutan di Banjaran lagi. Sebentar sepertinya bukan GOR tapi lenih mirip Stadion tapi bagaimana menentukan skala itu bangunan GOR atau itu sejenis stadion?

Sebentar lagi Cileunyi dengan kemacetannya yang hampir panjang sekali dengan tahu Sumedang yang beralamat Cileunyi juga dengan Adoy dan Wildan yang menunggu di sana.

Teman seperjalanan telah lengkap, dengan melaju cepat tapi menegangkan terus saja berjalan, sempat di Cicalengka berhenti untuk shalat, dan seterusnya melaju cepat saja.

Dengan ban yang terus saja melaju kencang hampir setiap perjalanan diisi dengan celotehan khas masing-masing, ya masing-masing punya suara yang khas, dengan lantunan lagu yang terdengar kencang dengan keadaan yang terus berubah, Ciamis telah terlewati, dan Banjar pun kami jelang dengan lapar yang terus saja memberikan sinyal tak nyaman di perut, dengan celetukan yang hampir saja tak terkontrol setiap kali melihat warung nasi dan restoran samping jalan.

Dan ternyata restoran yang dituju Azi sangat tepat, dengan porsi yang cukup untuk sekedar berucap syukur dengan nasi dan Soto Betawi sepertinya sudah cukup untuk membuat perut diam untuk sementara waktu.

Perjalanan dimulai lagi, dengan malam yang hampir menuju pagi, dengan jalur yang tak kami ketahui.

Batu Karas, ya sebuah daerah di Pangandaran sana kami jelang dengan teratur, dengan membayar upeti sekadarnya kepada preman setempat dengan tanpa tiket masuk akmi sampai di sana. Tujuannya cuma satu, Batu Nunggul.

Ya, itulah nama destinasinya, sebuah kawasan yang sepi dari wisatawan lainnya, dengan jalur yang tak biasa untuk dilalui.

Sembari hujan yang terus saja datang kami bersiap dengan tenda, dua mata itu tetap mengintai dan perasaan tak enak sempat muncul dan gelak tawa pada paginya meredupkan kecemasan akan binatang liar.

Malam hari itu ternyata badai sedang bermain-main dengan ombak di sana, tepatnya di depan tenda kami dengan deburan yang kerap kali datang membawa putihnya lautan dengan suaranya yang tak kalah dengan suara guntur di atas sana, dan untungnya ketika pagi datang cerah menyambut kesadaran kami.

Sudah cukup kami bersyukur dengan udara yang menyejukkan pagi ini, sudah cukup rasanya untuk tahu indahnya matahari terbit di ufuk timur sana, cukup rasanya untuk tahu indahnya hari ini, hari bersama teman-teman yang mungkin akan kami sangat banggakan untuk masa tua kami, dengan kenangan indah yang tak mungkin bisa diulang, dengan nikmatnya waktu itu, terlebih lagi indahnya waktu bersamamu.


*diketik dengan senang hati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar