17 Agustus, tahun ini
Tangan saya telah
dingin oleh udara Bandung hari ini, yahari senin yang cerah di Banjaran,
berbeda dengan senin sebelumnya di Malang sana,entah diksi yang cocok
untuk kata malang sebenarnya ataupun Malang dengan artisebuah kota di
Jatim sana.
17 Agustus pagi ini jalanan di Banjaran
telah lengang,seperti akan menyambut sesuatu dari arah Ciapus sana, ya
saya berjalan kakisaja menyusuri jalanan Ciapus, jalanan sejauh satu
kilo meter tepat terhitungdari penanda jarak di motor saya dulu ketika
masih benar, jarak yang cukupuntuk prolog pagi itu, pagi yang akan
mengawali perjalanan paling jauh darirumah untuk tahun ini saja.
Di tangan kiri saya plastik putih berisi air mineral danbeberapa cemilan kecil, di tangan kanan saya ada trashbag dan lembaran plastik yang tak sempat saya jadikan jashujan.
Jalanan
tampak riuh dengan orang-orang yang menikmati tanggalkemerdekaan
negaranya, tapi bagi saya kemerdekaan adalah ketika terbebas
darikewajiban, ya kewajiban sebagai manusia yang tahu kewajibannya saja
dengan katalain jika ilmunya belum memerdekakan manusia kemungkinan
masih terjajah olehnafsunya.
Beragam atribut mulai dari
menjadi bencong hingga hewanterpampang jelas di jalanan, mungkin itulah
cara mereka menikmati tanggalkemerdekaannya, tapi berdandan menjadi
lain kodratnya saya anggap merupakanpenjajahan terhadap dirinya sendiri.
Rumah
saya sudah dekat dan para anak-anak tengah sibuk di sampingjalanan
dengan berbagai ekspresi, mulai dari takut hingga biasa saja.
Menikmatitontonan nyata di hari Minggu, mungkin lebih baik daripada
menonton film dikotak elektronik sana.
Persiapan pun
dimulai di pagi ini, pagi yang mengawali sayameninggalkan rumah, menuju
atap pulau Jawa sana, menuju titik tertinggi daratanini, semoga tak ada
halang rintang dalam perjalanan hari ini.
Memulai perjalanan
Hari
ini tas pinjaman saya ari A Elfa telah siap, terlihatterisi penuh
dengan berat yang melebihi biasanya, saya dapat bagian membawatenda trip
kali itu, saya hanya bisa berusaha sebaik mungkin untuk tugas sayakali
itu.
Setelah semua persiapan sudah siap, motor telah di
depanpintu sana sudah siap mengantar saya menuju daerah yang tak saya
kenali, Semerusemua orang panggil demikian, saya tak tahu arti dari kata
tersebut, yang sayatahu puncaknya Mahameru, dengan keangkuhan
sepertinya puncaknya dinamai, yangsaya tahu maha itu selain punya
mahasiswa tapi batasan atas tafsiran sebuahnama, ya nama Tuhan kami.
Siang
itu Kiara Condong telah saya pijaki, ya di depan stasiunsaya temukan
Faisal dengan temannya Rizki, saya panggil dua huruf terakhirnyasaja.
Para
teman sudah siap ternyata di stasiun sana, semua telahhadir. Azie,
Dian, Adoy, Arie, Faisal dan Kiki, sedang Ratna rencananya akanbertemu
di Malang sana.
Tiket telah saya pegang, saya masukan
ke tas kecil saya,tentunya setelah diperiksa oleh petugas stasiun dan
menunggu kereta datangseolah lama sekali, ada yang kurang di hari ini,
suara seorang gadis cantik di handphone melengkapi awal perjalanansaya hari itu.
Di kereta.
Dalam
hitungan jari saya masih terhitung jelasnya saya menaikikereta api,
sepertinya beberapa kali entah 6 kali atau entah berapa
pastinya,sepertinya kurang dari sepuluh namun untuk kali ini sepertinya
rasanya lain,naik kereta lebih teratur dan lebih nyaman, namun dengan
semua kelebihanmembuat saya harus membayar lebih, namun untuk itu saya
jadi lebih bisabersyukur, karena kebetulan uangnya pun ada.
Ternyata
di kereta ada restoran semampunya juga, ya semisalkopi dan mi instan
bisa dengan cepat langsung dibuat, sedangkan nasi gorengbisa langsung
disajikan dan tentunya menjadi pilihan yang menguntungkan jikasedang
dalam perjalanan, karena kereta api tak bisa menunggumu walaupun
hanyasekedar membeli sebatang rokok atau seonggok roti tawar.
Duduk
lama sepertinya membuat waktu menjadi semakin manjasaja, seolah terus
melekat dengan semua orang, sedang mereka yang di luarkereta tengah
terdiam ataupun hanya melihat ketika kereta yang saya tumpangimemelesat
dengan kecepatan tinggi, kami yang terbawa cepatnya kereta
segerameninggalkan Bandung menuju Malang sana, sebuah kota yang terkenal
denganapelnya, dengan universitasnya dengan kemiripannya dengan
Bandung.
Saya, Dian, Arie duduk sebangku sedang Adoy
dan Azie didepan kami yang sedang duduk, mereka ternyata duduk juga, dan
ada satu orangsantri yang sekolah di entah saya lupa lagi bahkan saya
lupa lagi namanya siapadan sekolah di mana yang saya ingat ia mengaku
santri kelas dua aliyah, dan iatepat duduk di hadapan saya sedang tidur
rupanya. Dan Faisal duduk di seberangsana, ia bersama rombongan ibu-ibu
yang membawa anaknya, juga Kiki ia berbedagerbong dengan kami.
Menuju
malam suasana makin tidak terkendali, terutama denganposisi tidur dan
duduk yang berkurang kenyamanannya, mungkin karena Faisal ikutserta
dalam posisi kami yang sengaja begitu saja, namun dalam keadaan yang
takterkendali saya namakan ia Faisal Bedebah karena membuat formasi
duduk yangnyaman terusik untuk beberapa saat. Sekali lagi ah, Faisal
Bedebah!
Malam berganti pagi, kereta Malabar yang saya
tumpangi telahsampai di stasiun Malang, tepatnya kota Malang dengan
udara yang sayakenal,mirip Bandung sekali.
Menuju Tempat Kejadian Perkara
Saya
sengaja tulis judulnya demikian, karena untuk saya sajasaya tak ingin
beri judul dengan kata lainnya, sebuah nama mengingatkan sayadengan
beberapa situasi yang saya tak ingin ulangi lagi.
Malang
tengah dingin pagi ini, cerah sekali dengan udarayang mirip ketika saya
bangun pagi di Banjaran, menyejukkan sekali, seorangsupir tengah
mengobrol dengan Faisal dengan bahasa Jawa, saya tak mengertimaksudnya
apa, mungkin Faisal mengonsultasikan rencana masa depannya dengan
paksupir tersebut, mungkin ia mengadu pada pak supir karena saya
memanggilnyabedebah, atau mungkin juga ada hal lainnya. Saya tak tahu.
Saya
temukan Ratna telah ada di Malang ini, ia diantar olehsaudaranya,
terlihat siap memulai perjalanan, dengan sepatu yang telah hadir
dikakinya, sebuah ransel yang sepertinya penuh dengan entah isinya apa
saja dansenyuman yang mengawali pertemuan saya dengan dokter muda RS
Dustira ini,entahlah ia ini seorang dokter atau pendaki gunung. Jika ia
dua-duanya sayakhawatir ia akan buka praktek di hutan sana, atau mungkin
ia akan mengobatipasiennya dengan obat yang ia racik sendiri dari
pendakiannya selama di gunung.Entahlah.
Yang saya tahu
sekarang itu tujuan selanjutnya ialah menujutempat rental alat kemping,
Adoy secara tak sengaja meninggalkan sepatunya diBandung, entah ada
siapa yang membuat ia lupa, mungkin seorang yang sangatspesial di
hatinya membuatnya bingung, seorang yang mungkin akan
mengisikebingungannya dengan semua rencananya. Seperti tulisan di kertas
kemarin. AKUDAN KAMU, NANTI DI RANU KUMBOLO. Semoga rencananya
tersiapkan dengan baik,karena saya yakin Adoy itu orang baik, dan saya
yakin hanya orang baiklah yangpantas bersanding dengan orang baik.
Rental
alat kemping telah di gang depan kami, saya turuntemani Adoy mencari
sepatunya yang akan ia sewa, ternyata rental alat-alatkemping punya
harga yang lumayan tinggi, itu membuat saya semakin yakin untukikut
dalam bisnis tersebut. Bisnis yang saya rencanakan dengan
sebaik-baiknyarencana saya.
Setelah mendapat barang
yang dimaksud mobil melaju pelanmenuju pasar Tumpang, nama yang aneh
bagi saya awalnya namun apa daya saya takbisa mengubahnya, pada
kenyataannya Jack Derrida tak bisa memberikan nilaidekonstruksi untuk
sebuah kenyataan yang harus ditelan mentah-mentah, sebuahnomenklatur
yang tak bisa diganggu gugat.
Sebuah rumah menjadi
shelter sementara ada di belakang pasartersebut, ya kami transit untuk
beberapa saat di sana, dan membeli beberapalogistik yang akan kami bawa
untuk perjalanan kami.
Pasar setempat kami
jelajahi dengan beberapa panganan jugatelah kami nikmati, dan Ranu Pani
kami jelang dengan truk. Perjalanan yangsempat membuat saya berdebar
kencang hari itu, perjalanan yang sempat membuatsaya bingung dengan
tujuan saya, perjalanan yang sempat membuat rindu pulangsemakin menjadi,
perjalanan yang sempat membuat saya ingin segera pulang walauhanya
ingin bertemu kamu untuk sebentar saja.
Semua orang
sudah siap dan pendakian pun dimulai di terikmatahari ini, jalanan
berdebu mulai saya dapati, dan pegunungan yang kerap kalimenjadi
destinasi banyak pendaki gunung saya dapati juga, sebuah tempat
yangmenyejukkan rupanya.
Ternyata Faisal mempunyai
masalah dengan perutnya, sempat iasangat rewel dalam perjalanan kali
ini, sepertinya penyakit mencret sangat takcocok untuk mencapai tempat
kejadian perkara.
Namun dengan semua kejadian yang
dilakukan siang itu,akhirnya Ranu Kumbolo saya dapati juga, ternyata
lebih indah dari foto-fotoyang pernah saya lihat, air yang jernih
memantulkan cahaya bulan malam ini,beberapa bintang berbinar ramah
menyambut kami di danau ini.
Berkemah dimulai dan
selanjutnya bisa ditebak, kamimakan-makan dan minum-minum, sembari
bercanda ringan menghabiskan logistik yangada. Menutup malam dengan
kedipan mata terakhir malam ini, malam yang indah danmungkin sangat
syahdu jika Dinda bisa ikut.
Pagi itu saya disambut
dengan butiran es di atas tenda,dengan udara dingin yang menusuk kulit,
dengan langit yang indah, dengan semuakenangan yang indah yang akan kami
sangat kenali, dengan cahaya matahari yangdirindukan menyapa kulit
dengan bukit berpasir di sana dan kenangan manismempunyai teman yang
baik hatinya.
Pagi berganti hangat semakin hangat dan
mulai memanaskansituasi, semua patok di tenda telah terlepas, makanan
telah tersedia, kamiberbenah untuk memulai pendakian kembali.
Ranu
Kumbolo kami lewati begitu saja, di sisi lain danau adabanyak sekali
tenda, dengan banyak sekali sampah, namun tidak sehebat sampahketika
mendaki gunung Slamet, sampah di sini lebih terkondisikan dengan
lebihbaik. Arie bilang tanjakan di depan itu tanjakan Cinta, entah siap
yangmenamainya entah apa juga di belakang penamaan itu, yang pasti itu
tanjakankedua untuk perjalanan hari ini, di depan ada Oro Oro Ombo,
sebuah deretanpadang Savana dengan Lavender ungu di atasnya, beberapa
sisi kanan sebagianhabis terbakar rupanya, sayang sekali Lavender
terlihat gersang siang itu,mungkin waktu yang lain bisa saya jumpai
ketika mekar.
Selanjutnya Cemoro Kandang, rupanya itu
nama bagi daerahberbukit yang banyak sekali pohon cemara, jika
melihatnya saya ingat gunung Puntangdi Banjaran sini, namun dengan pohon
yang lebih besar dan debu yang lebihbanyak.
Tak terasa
perjalanan semakin sore saja, ya Jambangan telahkami lewati puncak
Mahameru sudah menanti di depan sana, Kalimati kami jelangbeberapa menit
lagi.
Di Kalimati ada sumber air yang dinamai Sumber
Mani,terkesan sangat erat dengan seks tapi sepertinya itu hanya bagian
kecil dariperan sumber air ini, ternyata Sumber Mani hanya satu-satunya
sumber air di arsiranKalimati, sehingga disarankan membawa air hingga
sore hari saja, soalnya jikaberpapasan dengan binatang buas selanjutnya
akan masuk ke koran lokal dantentunya berita naas untuk sanak saudara.
Sumber
Mani punya air yang menguras habis rasa haus, airnyadingin dan saya
rasa itu air paling nikmat dari semua perjalanan saya mendakigunung,
jika pun tak percaya, coba saja simpan sebanyak mungkin rasa haus
dansegera minum air di mata air tersebut.
Tenda telah
berdiri kokoh ketika saya pulang mengambil air,setelah Maghrib segera
shalat dan siap-siap melaksanakan perjalanan malammenuju puncak, ya trek
yang tidak diketahui oleh kami berdelapan membuat kamimengutamakan
waktu yang lebih senggang untuk menuju puncak.
Bulan
tengah indah malam ini, jika kamu di sini kamu punakan tahu bulan itu
indah adanya, udara malam tengah dingin kala itu, sepertiadanya dingin
semua orang tahu akan hal itu.
Berdelapan sudah siap dengan pakaiannya masing-masing,dengan head lamp
di atas kepala, dengan jaketnya masing-masing, dengan rasapenasaran
yang berkobar rendah di kepalanya masing-masing, dengan nyalasemangat
yang terus dijaga di benaknya masing-masing.
Doa telah
terlontar pelan memulai perjalanan kami, puncak punsegera kami jelang,
dari kalimati kami menyusuri jalan ke bawah menuju jalansetapak menuju
Arcopodo, daerah berdebu di ditapaki pelan saja, denganistirahat yang
kadang menjadikan kaki lebih nyaman untuk berjalan lagi, hinggaakhir
vegetasi nampaknya semuanya baik-baik saja.
Gunungan
pasir di sana mengajarkan kami untuk tetap tahubatasan menjadi dirinya
masing-masing, begitu juga dengan saya, saya hampirsaja bingung kenapa
juga harus mendaki sejauh ini, meninggalkan rumah,meninggalkan tugas
saya sebagai buruh kecil di rumah jahit yang saya kelola,meninggalkan
pesanan seteman yang mungkin kemarin sedang marah-marah karenaditagih
temannya, tapi saya yakin pendakian itu hanya sementara, dan ini
hanyaduniawi semata.
Kebingungan terbayar lengkap
dengan semua jawaban kenyataanyang ada disana, angin yang kerap kali
menyapa lebih mesra dari dekapan seorangibu, pasir membelai lebih keras
dibandingkan belaian lembut pari lainnya, danternyata inikah gunung
tertinggi di pulau Jawa ini.
Kerlip bintang di sana
berbinar lebih indah dalam situasiini, bulan pun demikian, purnama tak
hentinya mengingatkan untuk segera pulangjika rasa penasaran sudah
selesai.
Dalam perjalanan sering sekali beristirahat,
untuk sekedarduduk, ya hanya duduk saja, sepertinya dua langkah turun
satu itu jelas sekali,trek yang berpasir dan keadaan yang hampir saja
membuat semua orang bingung.
Di tengah perjalanan kami
terpisah, ari saya dan Ratna beradadi depan, rupanya Azie dan Faisal
kedinginan, dan beberapa penyakit perutsangat tak nyaman jika ada di
gunung, jika tak percaya silakan wawancara merekaberdua.
Puncak
mulai terlihat, ari rupanya sudah lebih dahulu sampaidan mengabadikan
beberapa momen dengan kameranya, begitu juga dengan tetes airmata yang
terlihat jelas dari bekas air di atas hidungnya, dia menangisternyata,
dan begitu juga saya ketika sampai di puncaknya.
Saya
bingung kenapa harus sampai ke sini, di rumah banyaksekali yang harus
saya kerjakan, kenapa saya harus di sini, apakah saya kurangbersyukur
dengan pekerjaan saya yang saya tinggalkan, ataukah ini hanya mimpi,saya
bingung kenapa saya harus ke tempat pemujaan seperti itu, banyak
sekalisesajen di sana, banyak sekali.
Setelah memotret beberapa gambar, saya pastikan untuk segeraturun, angin di sana kurang bersahabat dengan kulit saya.
Dian
menyusul, juga Faisal, Adoy, dan selanjutnya Kiki dansaya bingung Azie
di mana, ternyata berbeda jalur, saya segera turun dengan Ratna,dan
begitu pun yang lain, rupanya Azie dan Kiki tidak
mengentaskanpendakiannya, Kiki sudah mulai sesak napas di pendakian
pertamanya ini.
Kami sempat duduk di batas vegetasi, sembari mengobrol danmengurai lelah, menuju siang kami menuju tenda di kalimati sana.
Telah
siang rupanya ketika terbangun dari mimpi pendek ditenda, dan pada
kenyataannya kami segera menuju Ranu Kumbolo lagi, dan semuakesenangan
dimulai kembali.
Sepertinya kata hanya terbatas kata
saja untuk tahu jikaditulis, dan gambar pun hanya dokumentasi per sekian
detik untuk menggambarkanindah bisa bangun pagi di Ranu Kumbolo, jika
tak mencobanya, tak akan tahujernih airnya, indahnya pagi itu.
Jika ingin tahu saja, saya sarankan untuk mencobanya, minimal sekali seumur hidup.
Ada
hal yang selama ini saya ingin tulis untuk semua halyang telah terlalui
dari semua perjalanan, saya sangat berterima kasih telahbisa mengenal
kalian, saya sangat bersyukur punya teman seperti kalian.
;)
*ditutup dengan lagu Desire dari Pure Saturday
Tidak ada komentar:
Posting Komentar