Minggu, 17 November 2013

Jika Ingin Tahu Saja

17 Agustus, tahun ini


Tangan saya telah dingin oleh udara Bandung hari ini, yahari senin yang cerah di Banjaran, berbeda dengan senin sebelumnya di Malang sana,entah diksi yang cocok untuk kata malang sebenarnya ataupun Malang dengan artisebuah kota di Jatim sana.

17 Agustus pagi ini jalanan di Banjaran telah lengang,seperti akan menyambut sesuatu dari arah Ciapus sana, ya saya berjalan kakisaja menyusuri jalanan Ciapus, jalanan sejauh satu kilo meter tepat terhitungdari penanda jarak di motor saya dulu ketika masih benar, jarak yang cukupuntuk prolog pagi itu, pagi yang akan mengawali perjalanan paling jauh darirumah untuk tahun ini saja.

Di tangan kiri saya plastik putih berisi air mineral danbeberapa cemilan kecil, di tangan kanan saya ada trashbag dan lembaran plastik yang tak sempat saya jadikan jashujan.

Jalanan tampak riuh dengan orang-orang yang menikmati tanggalkemerdekaan negaranya, tapi bagi saya kemerdekaan adalah ketika terbebas darikewajiban, ya kewajiban sebagai manusia yang tahu kewajibannya saja dengan katalain jika ilmunya belum memerdekakan manusia kemungkinan masih terjajah olehnafsunya.

Beragam atribut mulai dari menjadi bencong hingga hewanterpampang jelas di jalanan, mungkin itulah cara mereka menikmati tanggalkemerdekaannya, tapi berdandan menjadi lain kodratnya saya anggap merupakanpenjajahan terhadap dirinya sendiri.

Rumah saya sudah dekat dan para anak-anak tengah sibuk di sampingjalanan dengan berbagai ekspresi, mulai dari takut hingga biasa saja. Menikmatitontonan nyata di hari Minggu, mungkin lebih baik daripada menonton film dikotak elektronik sana.

Persiapan pun dimulai di pagi ini, pagi yang mengawali sayameninggalkan rumah, menuju atap pulau Jawa sana, menuju titik tertinggi daratanini, semoga tak ada halang rintang dalam perjalanan hari ini.


Memulai perjalanan


Hari ini tas pinjaman saya ari A Elfa telah siap, terlihatterisi penuh dengan berat yang melebihi biasanya, saya dapat bagian membawatenda trip kali itu, saya hanya bisa berusaha sebaik mungkin untuk tugas sayakali itu.

Setelah semua persiapan sudah siap, motor telah di depanpintu sana sudah siap mengantar saya menuju daerah yang tak saya kenali, Semerusemua orang panggil demikian, saya tak tahu arti dari kata tersebut, yang sayatahu puncaknya Mahameru, dengan keangkuhan sepertinya puncaknya dinamai, yangsaya tahu maha itu selain punya mahasiswa tapi batasan atas tafsiran sebuahnama, ya nama Tuhan kami.

Siang itu Kiara Condong telah saya pijaki, ya di depan stasiunsaya temukan Faisal dengan temannya Rizki, saya panggil dua huruf terakhirnyasaja.

Para teman sudah siap ternyata di stasiun sana, semua telahhadir. Azie, Dian, Adoy, Arie, Faisal dan Kiki, sedang Ratna rencananya akanbertemu di Malang sana.

Tiket telah saya pegang, saya masukan ke tas kecil saya,tentunya setelah diperiksa oleh petugas stasiun dan menunggu kereta datangseolah lama sekali, ada yang kurang di hari ini, suara seorang gadis cantik di handphone melengkapi awal perjalanansaya hari itu.


Di kereta.


Dalam hitungan jari saya masih terhitung jelasnya saya menaikikereta api, sepertinya beberapa kali entah 6 kali atau entah berapa pastinya,sepertinya kurang dari sepuluh namun untuk kali ini sepertinya rasanya lain,naik kereta lebih teratur dan lebih nyaman, namun dengan semua kelebihanmembuat saya harus membayar lebih, namun untuk itu saya jadi lebih bisabersyukur, karena kebetulan uangnya pun ada.

Ternyata di kereta ada restoran semampunya juga, ya semisalkopi dan mi instan bisa dengan cepat langsung dibuat, sedangkan nasi gorengbisa langsung disajikan dan tentunya menjadi pilihan yang menguntungkan jikasedang dalam perjalanan, karena kereta api tak bisa menunggumu walaupun hanyasekedar membeli sebatang rokok atau seonggok roti tawar.

Duduk lama sepertinya membuat waktu menjadi semakin manjasaja, seolah terus melekat dengan semua orang, sedang mereka yang di luarkereta tengah terdiam ataupun hanya melihat ketika kereta yang saya tumpangimemelesat dengan kecepatan tinggi, kami yang terbawa cepatnya kereta segerameninggalkan Bandung menuju Malang sana, sebuah kota yang terkenal denganapelnya, dengan universitasnya dengan kemiripannya dengan Bandung.

Saya, Dian, Arie duduk sebangku sedang Adoy dan Azie didepan kami yang sedang duduk, mereka ternyata duduk juga, dan ada satu orangsantri yang sekolah di entah saya lupa lagi bahkan saya lupa lagi namanya siapadan sekolah di mana yang saya ingat ia mengaku santri kelas dua aliyah, dan iatepat duduk di hadapan saya sedang tidur rupanya. Dan Faisal duduk di seberangsana, ia bersama rombongan ibu-ibu yang membawa anaknya, juga Kiki ia berbedagerbong dengan kami.

Menuju malam suasana makin tidak terkendali, terutama denganposisi tidur dan duduk yang berkurang kenyamanannya, mungkin karena Faisal ikutserta dalam posisi kami yang sengaja begitu saja, namun dalam keadaan yang takterkendali saya namakan ia Faisal Bedebah karena membuat formasi duduk yangnyaman terusik untuk beberapa saat. Sekali lagi ah, Faisal Bedebah!

Malam berganti pagi, kereta Malabar yang saya tumpangi telahsampai di stasiun Malang, tepatnya kota Malang dengan udara yang sayakenal,mirip Bandung sekali.


Menuju Tempat Kejadian Perkara


Saya sengaja tulis judulnya demikian, karena untuk saya sajasaya tak ingin beri judul dengan kata lainnya, sebuah nama mengingatkan sayadengan beberapa situasi yang saya tak ingin ulangi lagi.

Malang tengah dingin pagi ini, cerah sekali dengan udarayang mirip ketika saya bangun pagi di Banjaran, menyejukkan sekali, seorangsupir tengah mengobrol dengan Faisal dengan bahasa Jawa, saya tak mengertimaksudnya apa, mungkin Faisal mengonsultasikan rencana masa depannya dengan paksupir tersebut, mungkin ia mengadu pada pak supir karena saya memanggilnyabedebah, atau mungkin juga ada hal lainnya. Saya tak tahu.

Saya temukan Ratna telah ada di Malang ini, ia diantar olehsaudaranya, terlihat siap memulai perjalanan, dengan sepatu yang telah hadir dikakinya, sebuah ransel yang sepertinya penuh dengan entah isinya apa saja dansenyuman yang mengawali pertemuan saya dengan dokter muda RS Dustira ini,entahlah ia ini seorang dokter atau pendaki gunung. Jika ia dua-duanya sayakhawatir ia akan buka praktek di hutan sana, atau mungkin ia akan mengobatipasiennya dengan obat yang ia racik sendiri dari pendakiannya selama di gunung.Entahlah.

Yang saya tahu sekarang itu tujuan selanjutnya ialah menujutempat rental alat kemping, Adoy secara tak sengaja meninggalkan sepatunya diBandung, entah ada siapa yang membuat ia lupa, mungkin seorang yang sangatspesial di hatinya membuatnya bingung, seorang yang mungkin akan mengisikebingungannya dengan semua rencananya. Seperti tulisan di kertas kemarin. AKUDAN KAMU, NANTI DI RANU KUMBOLO. Semoga rencananya tersiapkan dengan baik,karena saya yakin Adoy itu orang baik, dan saya yakin hanya orang baiklah yangpantas bersanding dengan orang baik.

Rental alat kemping telah di gang depan kami, saya turuntemani Adoy mencari sepatunya yang akan ia sewa, ternyata rental alat-alatkemping punya harga yang lumayan tinggi, itu membuat saya semakin yakin untukikut dalam bisnis tersebut. Bisnis yang saya rencanakan dengan sebaik-baiknyarencana saya.

Setelah mendapat barang yang dimaksud mobil melaju pelanmenuju pasar Tumpang, nama yang aneh bagi saya awalnya namun apa daya saya takbisa mengubahnya, pada kenyataannya Jack Derrida tak bisa memberikan nilaidekonstruksi untuk sebuah kenyataan yang harus ditelan mentah-mentah, sebuahnomenklatur yang tak bisa diganggu gugat.

Sebuah rumah menjadi shelter sementara ada di belakang pasartersebut, ya kami transit untuk beberapa saat di sana, dan membeli beberapalogistik yang akan kami bawa untuk perjalanan kami.

Pasar setempat kami jelajahi dengan beberapa panganan jugatelah kami nikmati, dan Ranu Pani kami jelang dengan truk. Perjalanan yangsempat membuat saya berdebar kencang hari itu, perjalanan yang sempat membuatsaya bingung dengan tujuan saya, perjalanan yang sempat membuat rindu pulangsemakin menjadi, perjalanan yang sempat membuat saya ingin segera pulang walauhanya ingin bertemu kamu untuk sebentar saja.

Semua orang sudah siap dan pendakian pun dimulai di terikmatahari ini, jalanan berdebu mulai saya dapati, dan pegunungan yang kerap kalimenjadi destinasi banyak pendaki gunung saya dapati juga, sebuah tempat yangmenyejukkan rupanya.

Ternyata Faisal mempunyai masalah dengan perutnya, sempat iasangat rewel dalam perjalanan kali ini, sepertinya penyakit mencret sangat takcocok untuk mencapai tempat kejadian perkara.

Namun dengan semua kejadian yang dilakukan siang itu,akhirnya Ranu Kumbolo saya dapati juga, ternyata lebih indah dari foto-fotoyang pernah saya lihat, air yang jernih memantulkan cahaya bulan malam ini,beberapa bintang berbinar ramah menyambut kami di danau ini.

Berkemah dimulai dan selanjutnya bisa ditebak, kamimakan-makan dan minum-minum, sembari bercanda ringan menghabiskan logistik yangada. Menutup malam dengan kedipan mata terakhir malam ini, malam yang indah danmungkin sangat syahdu jika Dinda bisa ikut.

Pagi itu saya disambut dengan butiran es di atas tenda,dengan udara dingin yang menusuk kulit, dengan langit yang indah, dengan semuakenangan yang indah yang akan kami sangat kenali, dengan cahaya matahari yangdirindukan menyapa kulit dengan bukit berpasir di sana dan kenangan manismempunyai teman yang baik hatinya.

Pagi berganti hangat semakin hangat dan mulai memanaskansituasi, semua patok di tenda telah terlepas, makanan telah tersedia, kamiberbenah untuk memulai pendakian kembali.

Ranu Kumbolo kami lewati begitu saja, di sisi lain danau adabanyak sekali tenda, dengan banyak sekali sampah, namun tidak sehebat sampahketika mendaki gunung Slamet, sampah di sini lebih terkondisikan dengan lebihbaik. Arie bilang tanjakan di depan itu tanjakan Cinta, entah siap yangmenamainya entah apa juga di belakang penamaan itu, yang pasti itu tanjakankedua untuk perjalanan hari ini, di depan ada Oro Oro Ombo, sebuah deretanpadang Savana dengan Lavender ungu di atasnya, beberapa sisi kanan sebagianhabis terbakar rupanya, sayang sekali Lavender terlihat gersang siang itu,mungkin waktu yang lain bisa saya jumpai ketika mekar.

Selanjutnya Cemoro Kandang, rupanya itu nama bagi daerahberbukit yang banyak sekali pohon cemara, jika melihatnya saya ingat gunung Puntangdi Banjaran sini, namun dengan pohon yang lebih besar dan debu yang lebihbanyak.

Tak terasa perjalanan semakin sore saja, ya Jambangan telahkami lewati puncak Mahameru sudah menanti di depan sana, Kalimati kami jelangbeberapa menit lagi.

Di Kalimati ada sumber air yang dinamai Sumber Mani,terkesan sangat erat dengan seks tapi sepertinya itu hanya bagian kecil dariperan sumber air ini, ternyata Sumber Mani hanya satu-satunya sumber air di arsiranKalimati, sehingga disarankan membawa air hingga sore hari saja, soalnya jikaberpapasan dengan binatang buas selanjutnya akan masuk ke koran lokal dantentunya berita naas untuk sanak saudara.

Sumber Mani punya air yang menguras habis rasa haus, airnyadingin dan saya rasa itu air paling nikmat dari semua perjalanan saya mendakigunung, jika pun tak percaya, coba saja simpan sebanyak mungkin rasa haus dansegera minum air di mata air tersebut.

Tenda telah berdiri kokoh ketika saya pulang mengambil air,setelah Maghrib segera shalat dan siap-siap melaksanakan perjalanan malammenuju puncak, ya trek yang tidak diketahui oleh kami berdelapan membuat kamimengutamakan waktu yang lebih senggang untuk menuju puncak.

Bulan tengah indah malam ini, jika kamu di sini kamu punakan tahu bulan itu indah adanya, udara malam tengah dingin kala itu, sepertiadanya dingin semua orang tahu akan hal itu.

Berdelapan sudah siap dengan pakaiannya masing-masing,dengan head lamp di atas kepala, dengan jaketnya masing-masing, dengan rasapenasaran yang berkobar rendah di kepalanya masing-masing, dengan nyalasemangat yang terus dijaga di benaknya masing-masing.

Doa telah terlontar pelan memulai perjalanan kami, puncak punsegera kami jelang, dari kalimati kami menyusuri jalan ke bawah menuju jalansetapak menuju Arcopodo, daerah berdebu di ditapaki pelan saja, denganistirahat yang kadang menjadikan kaki lebih nyaman untuk berjalan lagi, hinggaakhir vegetasi nampaknya semuanya baik-baik saja.

Gunungan pasir di sana mengajarkan kami untuk tetap tahubatasan menjadi dirinya masing-masing, begitu juga dengan saya, saya hampirsaja bingung kenapa juga harus mendaki sejauh ini, meninggalkan rumah,meninggalkan tugas saya sebagai buruh kecil di rumah jahit yang saya kelola,meninggalkan pesanan seteman yang mungkin kemarin sedang marah-marah karenaditagih temannya, tapi saya yakin pendakian itu hanya sementara, dan ini hanyaduniawi semata.

Kebingungan terbayar lengkap dengan semua jawaban kenyataanyang ada disana, angin yang kerap kali menyapa lebih mesra dari dekapan seorangibu, pasir membelai lebih keras dibandingkan belaian lembut pari lainnya, danternyata inikah gunung tertinggi di pulau Jawa ini.

Kerlip bintang di sana berbinar lebih indah dalam situasiini, bulan pun demikian, purnama tak hentinya mengingatkan untuk segera pulangjika rasa penasaran sudah selesai.

Dalam perjalanan sering sekali beristirahat, untuk sekedarduduk, ya hanya duduk saja, sepertinya dua langkah turun satu itu jelas sekali,trek yang berpasir dan keadaan yang hampir saja membuat semua orang bingung.

Di tengah perjalanan kami terpisah, ari saya dan Ratna beradadi depan, rupanya Azie dan Faisal kedinginan, dan beberapa penyakit perutsangat tak nyaman jika ada di gunung, jika tak percaya silakan wawancara merekaberdua.

Puncak mulai terlihat, ari rupanya sudah lebih dahulu sampaidan mengabadikan beberapa momen dengan kameranya, begitu juga dengan tetes airmata yang terlihat jelas dari bekas air di atas hidungnya, dia menangisternyata, dan begitu juga saya ketika sampai di puncaknya.

Saya bingung kenapa harus sampai ke sini, di rumah banyaksekali yang harus saya kerjakan, kenapa saya harus di sini, apakah saya kurangbersyukur dengan pekerjaan saya yang saya tinggalkan, ataukah ini hanya mimpi,saya bingung kenapa saya harus ke tempat pemujaan seperti itu, banyak sekalisesajen di sana, banyak sekali.

Setelah memotret beberapa gambar, saya pastikan untuk segeraturun, angin di sana kurang bersahabat dengan kulit saya.

Dian menyusul, juga Faisal, Adoy, dan selanjutnya Kiki dansaya bingung Azie di mana, ternyata berbeda jalur, saya segera turun dengan Ratna,dan begitu pun yang lain, rupanya Azie dan Kiki tidak mengentaskanpendakiannya, Kiki sudah mulai sesak napas di pendakian pertamanya ini.

Kami sempat duduk di batas vegetasi, sembari mengobrol danmengurai lelah, menuju siang kami menuju tenda di kalimati sana.

Telah siang rupanya ketika terbangun dari mimpi pendek ditenda, dan pada kenyataannya kami segera menuju Ranu Kumbolo lagi, dan semuakesenangan dimulai kembali.

Sepertinya kata hanya terbatas kata saja untuk tahu jikaditulis, dan gambar pun hanya dokumentasi per sekian detik untuk menggambarkanindah bisa bangun pagi di Ranu Kumbolo, jika tak mencobanya, tak akan tahujernih airnya, indahnya pagi itu.

Jika ingin tahu saja, saya sarankan untuk mencobanya, minimal sekali seumur hidup.

Ada hal yang selama ini saya ingin tulis untuk semua halyang telah terlalui dari semua perjalanan, saya sangat berterima kasih telahbisa mengenal kalian, saya sangat bersyukur punya teman seperti kalian.

;)




*ditutup dengan lagu Desire dari Pure Saturday

Tidak ada komentar:

Posting Komentar