Oleh Godi Rangga Budi Anshary
“Untuk tahu jalan pulang, kadang kala kita harus pergi jauh
dari rumah,” fiersa besari
Entah kenapa saya ingat tulisan di atas di Twitter yang saya
Retweet, dan entah kenapa itu saya ingat ketika KOIL mendendangkan lagu Ajaran
Moral Sesaat, seperti terkoneksi begitu saja, dan entah mengapa saya ingin
menulis hari ini, ya di pagi ini pagi yang sedikit mendung, dengan pakaian yang
basah belum disapa hangatnya sinar mentari.
Sudah lama saya tak mengetik, atau mungkin itu perasaan saya
saja, soalnya jari ini tak lagi lincah menggerayami keyboard hitam di hadapan saya. Atau mungkin dinginnya mencuci di
pagi hari itu membuat kurang nyaman dalam mengetik.
Saya suka sekali bermain air, sedari kecil juga begitu, suka
sekali bermain hujan, merasakan bagaimana air menetes di ubun-ubun, dengan
tetesan yang kecil hingga mencari guyuran air dari kenteng rumah orang, karena
di rumahku yang dulu tak ada cucuran air, rumah yang sederhana, berdinding bilik,
berlantai kayu, beratap kenteng yang murah dan seng yang telah banyak karat di
sana-sini. Rumah yang mengajarkan hidup itu indah, rumah yang mengajarkan saya
untuk tahu bagaimana menjalani pola pikir sebagai manusia biasa yang berusaha
jadi luar biasa.
Dari dulu saya anggap Bandung itu sebagai rumah saya, begitu
pun dengan luasannya, sepanjang itu wilayah Bandung saya akan menganggapnya
demikian dimulai dari Cicalengka, hingga Padalarang saya akan tetap
melaksanakan shalat dengan empat rakaat untuk Dhuhur dan begitu pun dari Lembang
hingga Pengalengan saya akan melaksanakan shalat Ashar empat rakaat, dan di luar
Bandung saya akan menjam’anya.
Ada banyak hal menarik yang saya temukan dari Bandung, kata Bandung
pun saya temukan dalam kalimat lain di bahasa sunda, ngabandungan, dengan
artian lazimnya ialah memperhatikan percakapan, hal lainnya mungkin Bandung hadir
untuk diperhatikan, dibicarakan bahkan untuk dikenang jika berada di luar Bandung.
Dan saya ada di Banjaran, jika melihat dari jalanan Raya
Banjaran ke utara akan terlihat jelas sebutan gunung Tangkupan Parahu, sangat
jelas sekali jika Bandung cerahnya bukan main, sangat jelas jika itu seperti
perahu yang terguling.
Banjaran sedari dulu adalah tempat bermain saya, tempat yang
dulu saya kunjungi ketika saya SD, saya sudah menjelajah lebih kurang radius
dua kilo meter dari rumah saya, sehingga kadang kala ketika magrib saya pulang sering kali
dimarahi, jarambah orang Banjaran menyebutnya.
Dan itu saya sangat nikmati sendirian sedari dua SD.
Setelah saya sekolah pesantren ibtidaiyah di Pajagalan
Banjaran saya mulai menjelajah lebih jauh, hampir setiap gang di Banjaran, dari
mulai yang buntu hingga yang menjadi terusan saya pernah lewati, hanya untuk
tahu saja, sekedar ingin tahu jalan saya kira tak masalah, hingga pernah satu
ketika saya berjalan-jalan sehabis magrib sepulang dari ibtidaiyah saya kena
palak preman setempat, saya bilang, “Klo adamah saya kasih, tapi ini buat
ongkos pulang saya,” mereka bilang saya bohong, dan memaksa memberikan uang
terakhir di saku, dan berakhir pulang dengan jalan kaki 1,2 kilo meter dari
banjaran hingga depan rumah saya.
Kejadian seperti itu saya sangat ingat, hingga penasaran
saya hitung lewat kilometeran di motor saya, hingga saya hitung-hitung, tepat
satu kilometer jarak dari depan rumah saya hingga jalan raya banjaran, 16.3 km
dari depan rumah saya hingga jembatan Dayeuh Kolot, dan 32.1 km jarak yang saya
habiskan untuk saya hingga parkiran SMUN 22.
Saya sempat ingin kuliah di jurusan geografi, namun melihat
saya yang suka akan sejarah saya ingin tidak kuliah dulu, sehingga begitu pun
akhirnya saya tahu bisnis itu lumayan indah, karena masakan paling enak itu
ketika hasilnya dari keringat sendiri.
Hingga kini saya tetap seperti saya dahulu, suka musik
dengan semua variabelnya, bahkan saya dulu pernah mengira kalau adzan itu musik
yang paling indah yang pernah dilantunkan seorang mantan budak dari di Arab sana,
hingga kini penampilan saya tetap saja seperti itu, penyuka warna hitam, dan
tetap saja pikiran saya berlari kencang ketika saya diam, demikian sebuah
kebiasaan untuk terus berpikir tentang hal lain di kala diam, saya pikir itu
lebih bermanfaat. Masih tetap suka bercanda, masih tetap memegang ucapan
seperti seorang lelaki umumnya, masih tetap rindu bau tanah di gunung yang
tinggi, masih yang dulu seperti semua orang kenal saya.
Hingga kini rumah sementara saya tetap di sini, ya di
banjaran ini, dan entah kapan saya punya rumah lain, rumah yang kelak saya
tempati dengan seseorang yang mungkin menjadi jodoh saya.
Hingga kini saya ingin punya anggapan semua tempat adalah
tempat pulang, ya menjadi rumah, akan tetapi pikiran itu saya rubah, karena
tempat tinggal itu harus tetap, karena pulang itu harus ada tujuannya, seperti
hidup ini sepertinya, kesannya mudah sekali lewat lima huruf itu semua menjadi
lebih indah, H I D U P semua orang mengejanya demikian, lima huruf yang semua
orang inginkan untuk waktu yang dibatasi ketika Ijroil datang menjemput pulang.
*Diketik sembari senggang, menari tiga pagi, dan sealbum
Black Light Shine On KOIL.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar