Jumat, 14 Juni 2013

Pangrango kali ini


Seperti judulnya first breath after coma dari Explosions InThe Sky, mungkin itu adalah gambaran yang paling bisa dijelaskan untuk hari ini, hari untuk bersyukur karena bisa pulang.

Jum’at yang dingin membawa saya menuju sorenya yang lebih dingin di Kiara Condong, motor saya melaju pelan saja, jembatan fly over telah saya lewati, di gang sempit itu saya jemput Dinda, seorang dara yang entah kenapa saya senang sekalibersamanya.

Saya putuskan untuk menitipkan motor saya di kosan temannya,teman sekotanya di Sumedang sana.

Setelah lahap dengan kwetiawnan nikmat di jalanan Antapani saya segera menaiki angkot dan menuju rumah Wildan,kata Dian di SMS ada Tiara dan Ratna di sana, duo dokter dari Unjani ini kerapkali buat saya tak habis pikir mengapa mereka senang sekali dengan gunung,terlebih lagi ini gunung tinggi.

Pangrango, ya yang saya tahu hanya itu, sebuah gunung yang berdempet dengan Gede, jikalau menerka-nerka nomenklaturnya, Gede telah jelas tergambar, karena memang ukurannya pun dikategorikan demikian. Besar.

Sedangkan menerka kata Pangrango saya kesulitan, jika ungkapan ‘pang’ itu artinya lebih dari sesuatu yang sejenis, lalu ‘rango’artinya apa? Saya belum cari artinya itu apa sebuah nama mungkin hanya akan jadi sebutan tapi bagi saya menamai itu memberikan doa, memuliakan sesuatu dengan sebutan itu adalah cara yang indah untuk memulai niat baik.

Hujan datang tak tentu hari itu, kadang datang dengan bergerombolan dan kadang datang dengan lebih banyak dari gerombolan, dari rintik hingga guyuran membasahi lapisan luar dari kulit di tangan, berenam kami menaiki mobil Ratna menuju rumah Azi.

Azi itu seorang yang saya kenal ketika Ceremai kami daki bersama, kabarnya rumahnya di Margahayu, dan ternyata arah mobilnya itu sama menuju Margahayu sehingga itu bukan kabarnya lagi dan sepertinya paragraf ini hanya penghamburan saja, karena saya ingin minum dulu.

Setelah minum mari menulis lagi. Dan selanjutnya apa ya...

Rumah Azi sudah di depan kami, di belakang mobil Ratna ada David, Nicky, juga Ari, mereka menaiki mobil yang berbeda soalnya saya menulisnya juga di belakang mobil Ratna, masa mereka duduk ria di belakang mobil. Dan aduh saya harus menutup dulu tulisan ini dengan bagian satu, karena bagian duanya saya akan teruskan setelah nanti saya di depan komputer lagi, saya ada urusan keduaniawian dahulu.


Dan saya sudah di hadapan monitor kali ini, ya sembari menunggu air mendidih karena akan segera mandi saya menulis dulu atau dengan kata jelasnya mengetik, ya sekedar mencatat saja, pengingat kenangan, pengingat lupa dari alfa.

Ya, saya sudah di Margahayu kala itu, tepatnya di rumah Azi, dan kami sudah berkumpul di sana, tinggal menunggu Adoy untuk membawa SB buat Dian yang tertinggal, setelah sebelumnya bercanda ringan sekedar melepas penat dari dinginnya hujan dan menghangatkan suasana dengan beberapa petuah dari senior.

Setelah beberapa lama mobil itu saya naiki, ya naik mobil Ratna, sama dengan sebelumnya, Adoy di samping kiri saya dan Dinda di samping kanan saya, kesannya seperti cerdas cermat dan saya sebagai juru bicaranya, namun tidak seperti itu, karena Ratna di depan sedang pegang setir dan Tiara jadi asistennya. Seperti juri saja.

Rencananya kami menggunakan dua mobil, namun ternyata menjadi 3 mobil dan dimulailah perjalanan cerdas cermatnya. Maksud saya perjalanan di malam hari yang sedang hujan dan malam makin larut saja, sengaja saya tulis demikian biar terkesan drama padahal tidak drama sama sekali karena hidup itu seperti itu adanya, hidup dengan bernapas dan sadar di mana bumi dipijak.

Ternyata Ratna sama Azi tak berbeda jauh jika mengendarai mobil, sangat menegangkan bagi saya tapi begitulah sepertinya karena sejak SMP dulu Ratna sudah memakai mobil sehingga kemungkinan asam garam dengan mobil ia sudah cicipi, dan berbeda dengan saya yang baru saja ikut mobil Ratna. Bingung apakah ini pakai Ambulan atau bukan?

Di depan tol kami berhenti dan mengunyah beberapa baso tahu dan siomay teman seperjuangannya kami lahap, sembari menunggu Azi ganti mobil, karena mobil yang satunya ada masalah rupanya, sedang David terlebih dahulu masuk jalan tol.

Ada sedikit nomenklatur yang asal-asalan dari Indonesia buat nama jalan tol, semua orang bilang tol itu artinya jalan bebas hambatan, padahal itu kata serapan dari Inggris tall yang artinya panjang, sehingga kadang kala saya suka aneh pas orang bilang, tol itu artinya bebas hambatan.

Lalu setelah beberapa lama rombongan Azi datang bersama Wildan, Dian, dan Yas. Dan dimulailah ngantuk di jalanan bebas hambatan hingga akhirnya saya sadar sudah di daerah menuju Cibodas.

Malam yang pendek dengan waktu yang entah terukur atau tidak. Pagi ini kami jelang dengan berjalan kaki menuju tempat yang kami janjikan akan bertemu di sana. Di Mandalawangi.

Sebentar tulisan saya pending dulu, airnya sudah mendidih rupanya. Waktunya mandi.

Dan saya sudah mandi sekarang, air hangat sudah cukup nikmat untuk hari ini, di malam hari akan lebih syahdu jika kulit punggung bertemu air hangat, dan itu nikmat sekali, akan lebih menyenangkan jika mulai menulis lagi, terlebih lagi menulisnya setelah berpakaian.

Pagi sudah datang barusan, semuanya sudah bersiap dengan perlengkapan masing-masing, kulihat semuanya tampak gagah dengan carriernya masing-masing, dan sepertinya perkataan Ari jadi kenyataan, jika wanita pakai carrier akan terlihat lebih cantik, dan itu saya saksikan pagi itu.

Langkah demi langkah mulai menjauh dari parkiran, Simaksi sudah siap dan Pangrango kami datangi.

Ternyata pendakian hari ini sedang ramai dengan orang, sedari mulai perjalanan banyak sekali orang yang sejalur dengan perjalanan menuju kawasan Taman Nasional Gunung Gede  Pangrango, mereka yang menuju air terjun, hingga air panas yang mungkin bisa ditempuh dengan satu hari perjalanan singkat.

Saya salah sangka rupanya, saya kira perjalanan yang saya tempuh akan tak jauh beda dengan Ciremai, rupanya kawasannya sudah banyak tertata manusia, jalanan yang sudah banyak berbatu, dengan jembatan yang dipastikan di beton hadir sedari pertengahan perjalanan saya menuju hutan Pangrango.

Terkesan aneh, namun sepertinya itulah hasil karya manusia untuk memudahkah perjalanan para wisatawan menuju sana.

Sepanjang perjalanan tak ada yang aneh, karena mungkin belum sampai pada trek yang terjal dengan akar dan jalanan becek dengan pasir gunung yang khas, jujur saja saya rindu sekali dengan situasi seperti itu, namun sore itu yang mulai menghitam seolah membuat saya merinding tiap kali mengingatnya.

Saya bersama Dinda sepanjang perjalanan, saya sadar harus tanggung jawab karena membawa teman dalam trip ini, sehingga kecepatan pun menyesuaikan dengan kecepatannya, saya ingin tahu saja, apakah seorang yang saya pilih untuk mengisi rencana saya hidup bisa saya andalkan jika di luar rumah, kata orang di hutan semua orang akan menjadi dirinya sendiri.

Rupanya fisik Dinda kurang cocok untuk perjalanan menuju Pangrango, dengan berat yang kurang dari sebelasan kilo di punggung saja ia sudah kepayahan, dan jujur saja saya sendiri mulai bingung ketika hampir melewati Kandang Badak.

Lewat Kandang Badak suasana berubah, awan hitam mulai menggelayut di atas sana, suara petir kadang datang dengan kilatnya yang membuat kalut karena tempat yang dituju belum saya datangi juga.

Dinda makin parah saja, dan yang lebih saya takutkan, kemungkinan teman yang lain sudah ada di atas sana, mereka pasti butuh flysheet yang ada di tas saya, dan ketakutan itu makin menjadi saja, Dinda sudah tak sanggup untuk meneruskan perjalanan, ia sudah bingung rupanya, tas kuningnya saya simpan dan saya meneruskan perjalanan dengan hujan yang terus datang, rupanya Dinda makin parah saja.

Di pertigaan jalur saya hentikan perjalanan, karena bertemu Adoy dan Wildan yang rupanya tidak di depan saya, mereka terlihat basah, namun tidak mengalami hipotermia, Pangrango memang memberikan situasi yang berbeda dengan gunung lainnya, mungkin ini situasi yang membuat saya berpikir beberapa kali jika melakukan pendakian di musim hujan.

Karena hujan tak reda juga, kami putuskan untuk membuat bivak darurat di sela-sela jalur pendakian, ketika beres rupa Ari ikut serta, ia terlihat sangat basah, dan sepertinya mulai bingung karena kedinginan.

Adoy memutuskan untuk meneruskan perjalanan, dan akan kembali dengan membawa teman untuk meneruskan perjalanan menuju tenda.

Semuanya berganti pakaian untuk mendapatkan kehangatan yang lebih baik, namun itu tak bertahan lama, karena lelah sepertinya membuat pikiran susah sekali untuk jernih, saya khawatir mereka yang di atas sana kekurangan logistik karena rupanya logistiknya ada di kami.

Setelah semuanya berganti pakaian, semuanya terdiam saja, sepertinya dinginnya Pangrango menjadi pikiran utama di benak masing-masing, dan di pikiran saya adalah ketakutan, ya takut saja ketika semuanya di luar dugaan, bahkan di luar perencanaan. Alam telah memberikan pelajaran paling berharga untuk mengetahui seberapa tinggi harus menghargai materi, seberapa jauh harus menghargai waktu dan mengukur kecilnya diri sendiri dibandingkan kuasaNya.

Dian datang dengan jaket Yakultnya, ia hendak mengambil tas punya Adoy malam itu, dengan rencananya awalnya akan meneruskan perjalanan menuju tenda bersama-sama, tapi rupanya itu tidak menjadi pilihan untuk Ari, saya, Dinda dan Wildan.

Kami memilih untuk tetap bertahan di sini saja hingga pagi datang dan bertemu kembali di Kandang Badak. Saya rasa pilihan saya tepat, karena rupanya hujan mulai berhenti ketika jam 2 malam mulai habis, dengan kondisi Dinda yang sempat membuat saya menyesal mengajaknya melihat Mandalawangi, sedang Wildan tengah tidur pulas, rasa kantuk karena kecapaian sering kali datang, namun dari racauan Ari, saya berusaha untuk sadar, terlebih lagi Dinda mulai muntah-muntah. Dan apalagi ini?

Setelah menjadi makin shubuh, semuanya kembali pada suhu yang mulai menghangat, saya bisa beristirahat di bivak darurat di jalur pendakian, sepertinya tempat itu akan saya ingat selalu, di situ saya melihat bagaimana ganasnya alam sempat membuat saya berpikir ulang untuk mendaki lagi, sepertinya, bukan jodohnya Mandalawangi waktu itu saya singgahi, tapi saya pastikan saya akan kembali ke sana. Perjalanan saya belum saya tuntaskan.

Pagi yang cerah menyambut bangunnya kami di jalur pendakian, hujan semalam terus saja di pikiran saya, betapa menyeramkannya situasi semalam dan pagi ini bisa bersyukur karena masih bisa meneruskan perjalanan. Perjalanan pulang.

Dengan carrier yang telah berkurang lebih saja Dinda masih saja lambat dan itu membuat saya lebih khawatir lagi. Dan apalagi ini?

Wildan dan Ari harus terlebih dahulu menuju kandang badak, karena mempersiapkan logistik dan flysheet untuk beristirahat, ternyata Dinda mulai payah lagi di perjalanan pulang, dan pertolongan dari Dian karena membawakan carrier Dinda tak hentinya membuat saya bersyukur karena ternyata saya tak salah memilih teman, tak terbayang jika tak ada Dian.

Dan akhirnya kandang badak saya datangi lagi, semuanya sudah di bawah flysheet, kecuali Adoy dan Yas, semua orang mulai melakukan kegiatannya sesuai dengan keadaan, ada yang memasak, ada yang mengisi waktunya dengan beristirahat dan mempersiapkan perjalanan selanjutnya.

Semua teman sudah siap dengan perlengkapannya setelah berbenah untuk perjalanan menuju Cibodas, perjalanan pulang.

Menuju Cibodas saya berdua saja bareng Dinda, entah kapan lagi saya akan melakukan perjalanan bersamanya, jika saja percakapan kami semalam mendapat titik temu, mungkin perjalanan nanti akan saya lakukan bersamanya lagi. Entah mengapa saya utarakan rencana sangat besar saya kepadanya.

Sepanjang perjalanan pulang cuaca berubah-ubah, kadang rintik, kadang tidak hingga malam hari mulai menampakkan gelapnya, pos terakhir saya jelang sebagai orang terakhir sampai di basecamp.

Kami pulang. Dan saya bersyukur karena masih punya teman seperti kalian, Ratna, Tiara, Wildan, Dian, Ari, Azi, Adoy, David, Nicky, Yas, dan Dinda.

Terima kasih telah memberikan pelajaran hidup yang sangat berharga.



*diketik sembari senggang | First Breath After Coma – Explosions In Th Sky.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar