Selasa, 10 April 2012

rokok tahun ini

Di depan saya itu ada kaleng permen FOX yang telah beralih fungsi menjadi asbak, di atasnya terlihat tiga bungkus Djarum Super isi 12 batang sisa bapak saya, entah mengapa telah lama saya pandangi itu bungkus rokok, seolah-olah saya harus menghitung seberapa banyak asap rokok yang telah mengisi rumah ini.

Saya tahunya dari kecil klo orang tua saya itu suka ROKOK, ya maksud saya bapak saya, karena ibu saya dan anggota keluarga saya yang lain sangat tidak nyaman untuk asap rokok.

Saya juga dulu semasa SD merokok, ya dari bungkus rokok yang dibawa oleh bapak saya di ruang kerjanya dan saya bagikan ke teman-teman saya yang lain, dulu jikalau tak salah mereknya itu Marlboro, atau Dunhill ya? Saya sudah lupa akan hal itu, namun saya ketahui semenjak saya kecil saya tak begitu kenal dengan ayah saya, ia itu kerjanya mengajar di Tanggerang dan semenjak pindah tugas di Bandung, saya mulai tahu jika ia itu ayah saya.

Bapak saya itu seorang pengajar, tepatnya bahasa Indonesia, namun secara naluriah saya tak begitu kenal dengan bahasa Indonesia, bahkan percakapan yang dibangun di keluarga pun bercampur dan secara naluriah juga saya belajar bahasa Indonesia, autodidak.

Jika, dihitung rokok yang telah dibakar oleh ayah saya mungkin sudah sebesar rumah saya, soalnya saya ini umurnya 23, dan sedari kecil saya sudah tahu kalau beliau itu merokok dan enggan untuk berhenti, hingga kini.

Sempat beberapa kali terjadi perdebatan sengit, karena ibu saya dan saya berdebat keras tentang rokok dan bapak saya pun mengadu ke orang tuanya, rumah kami ditinggalkannya. Sungguh ironis, karena sebagai pengajar dan ustad, ia tidak bisa menjadi contoh untuk menerima pendapat orang lain, meskipun itu istrinya dan anaknya.

Saya sangat tidak suka asap rokok hingga sekarang, sangat tidak nyaman dengan asapnya, saya sempat lihat adik saya sangat menderita karena paru-parunya itu bolong dan yang lebih parah lagi, sang dokter menyimpulkan itu penyebab rokok, selama setahun penuh adik saya harus makan obat pahit setelah bangun tidur dan semuanya akibat rokok.

Ayah saya tidak berhenti merokok setahun ini.

Sebentar lagi tahun berganti, dan begitu pun seterusnya, namun poster di kamar saya tak akan berganti, ‘marilah kita bimbing anak-anak kita untuk tidak merokok’ terpampang besar sekali di dinding kamar saya.

Dulu saya lihat teman saya tak bisa bernafas, saya kira itu penyakit asmanya, ternyata bukan, paru-parunya telah rusak, dan mungkin akibat dari rokok yang saya sering kasih dahulu. Saya merasa berdosa untuk hal itu, dan hingga kini saya enggan untuk memberikan uang, ataupun hal lainnya yang membuat kegiatan merokok tetap berjalan, bahkan saya sering berdoa yang merokok mendapat ganjaran yang setimpal atas racun yang mereka tebar, namun bukan maksud untuk keburukan mereka tapi kebaikan yang tidak menghisap asap rokok.

Jika diperhatikan lebih lanjut tak banyak dari rokok, lebih hanya pada devisa, dan lapangan kerja, namun mengingat sumber daya Indonesia yang luas, semuanya bisa dicari alternatifnya. Ya maksud saya memproduksi rokok, bukan jalan satu-satunya.

Saya sering kesal, mengapa teman-teman banyak yang merokok, dan seolah merasa bangga atas kegiatan tersebut, entah mengapa seolah menjadi kebutuhan dan jikalau merokok itu kebutuhan sebaiknya dimakan dengan abu dan kuntungnya.

Semoga tahun besok, ayah saya dan teman saya berhenti merokok.

*diketik dengan senang hati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar