Selasa, 10 April 2012

Menentang keren

Kemarin ada pembicaraan menarik di SUAKA, tentang ‘keren’ yang menjadi korban konteks dan dijajah teks itu sendiri.

ke·ren /kerén/ a 1 tampak gagah dan tangkas; 2 galak; garang; lekas marah; 3 lekas berlari cepat (tt kuda); 4 perlente (berpakaian bagus, berdandan rapi, dsb)

Banyak persepsi bagaimana ungkapan keren itu datang, namun Ojan sepertinya terjebak pada bagaimana kata keren terpatok oleh tren yang berlaku, yang pake BB itu keren, yang pake ciput warna-warni itu keren, yang pake highheels itu keren, yang pake rok mini itu keren, dan bagaimana tren mengubah paradigma kesederhanaan itu hancur secara diam-diam.

Saya sekarang mengerti, mengapa Ojan memilih kata tersebut sebagai acuan dari tullisannya, sepertinya ia cemas dan tidak mau kesederhanaan menjadi rusak oleh hal-hal yang berlebihan, dan sikap berlebihan di UIN ataupun di Indonesia menjadi tren yang akut.

Saya artikan keren itu sebagai ungkapan untuk hal yang bukan menjadi kebiasaan awam, satu hal yang lebih dari hal-hal lainnya, satu pencapaian yang ada dalam batas wajar.

Secara tak langsung, saya sering ungkapkan keren untuk hal yang positif maupun negatif, saya ungkapkan keren untuk Hitler dan Fir’aun, karena keberaniannya, walaupun itu salah namun keberanian adalah hal lebih dibanding manusia pada kaumnya saat itu. Bukan berarti saya mendukung keingkaran, namun itu hanya ungkapan saya terhadap Hitler dan Fir’aun.

Saya sering menganggap keren Otong KOIl dan semua bagian dari band KOIL, karena saya suka semua lagunya, bukan berarti saya ingin menjadi seperti Otong atau pun anggota KOIL lainnya, ini masalah karya. Mereka berkarya di jamannya yang berbeda dengan tren yang ada saat itu, metode sampling kala itu belum terjadi namun KOIL berani untuk bereksperimen.

Suatu kelebihan yang berani melawan keinginan pasar menurut saya adalah satu hal yang keren, namun tidak berlebihan, karena semua menurut saya ada batasannya, ketika kata sangat, pisan, sekali, banyak, dan semua kata yang bersanding dengan kata lainnya yang mengindikasikan kata ‘lebih’, menurut saya akan kalah dengan kata ‘maha’ yang semuanya berujung pada Alloh SWT dan saya yakin manusia disempurnakan dengan keterbatasannya.

Begitu pun dengan tren

tren /trén/ n gaya mutakhir;

me·nge·tren a bergaya mutakhir; bergaya modern: muda-mudi dng telepon genggam di tangan ~ dewasa ini

tren diasumsikan dengan kecenderungan, jika itu menurut ilmu statistika, dan jika menurut ekonomi tren dipandang sebagai persilangan antara permintaan dan penawaran dalam kurun waktu tertentu.

Menurut saya tren itu ada rentang waktunya dan semuanya berlaku, syarat dan kondisi, mungkin saja sekarang itu dikategorikan ‘keren’ untuk mereka yang berbehel, berBB, berciput warna-warni, berhighheel, ber apapun, namun itu ada rentang waktunya, karena semua hal itu tergantung kebutuhan dan kemampuannya.

Jika berbehel itu tidak disertai kemampuan akan menyusahkan dirinya sendiri, dan begitupun berBB jika tak punya uang ya selamat mencari uang, ber hak tinggi selamat keseleo, dan hal lainnya.

Saya kira tak bisa memaksakan bahwa persepsi kolektif harus menjadi persepsi personal, karena persepsi itu hadir dari rembukan konsensus.

*diketik siang hari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar