Rabu pagi ini tidak semendung pagi kemarin, pagi yang lumayan
banyak sinar mentari, pagi yang menyuruhku untuk mengerjakan satu hal
yang kemarin belum selesai, sebenarnya tulisan kemarin itu hampir
setengah halaman, atau mungkin tiga paragraf dan terhapus karena saya
pijit lambang x di sisi kanan komputer dan mengetik no setelahnya,
sungguh pagi yang banyak sekali kegiatannya.
Adalah Sabtu pagi, saat mentari mulai hangat, dan beberapa saat
kemudian mulai menyengat mengantarkan saya membawa motor saya menuju
bengkel di mana motor saya hampir menuju sore baru beres, Shogun yang
sudah lama saya pakai, sudah ratusan kali saya duduk di joknya, sudah
ratusan kali berhenti, sudah saya lupa berapa kali saya isi bensinnya,
dan saya tak tahu lagi sudah berapa liter yang saya beli dan saya
habiskan untuk perjalanan bersama motor itu, dan saya kira Shogun 125
telah siap saya ajak bermain menuju kota santri di selatan Jawa Barat,
Tasikmalaya tepatnya, dan sepertinya begitu untuk sore itu.
Hujan datang sebelum saya berangkat, dan hujan juga datang setelah
beberapa saat saya berangkat, bertemankan rintiknya hujan saya melaju
pelan saja, pelan saja, karena pandangan buram oleh helm yang telah lama
menemani saya, buramnya mungkin sama seperti masa depan saya, buram
karena saya kadang bingung saja.
Di earphone saya seseorang tengah bercakap pendek saja, dan
perjalanan terus berlanjut, buah batu hampir saja jelang ketika
tiba-tiba motor saya harus mendadak berasap tebal dan tak berkutik
ketika harus masuk bengkel lagi, dan hanya diam saja ketika saya
tinggalkan di sebuah bengkel Suzuki depan Metro, berjabat tangan dan
mohon maaf mengganggu malam penjaga bengkel.
Angkot Cibiru tengah melaju ketika saya hentikan, saya hanya bisa
melihat seorang bidadari tengah tersenyum dan hanya berucap santai
ketika perjalanan mulai melaju, saya harus sadar diri, seorang penjahit
seperti saya sepertinya tak mungkin halal berjabat tangan dengannya.
Cibiru saya jelang, dan lalu lintas tak padat malam itu, saya
bergegas menuju SUAKA tempat saya dulu ingin memulai mimpi saya, Herton
sudah tak ada, untung ada Aad berkenan mengantar saya menuju Jatinangor,
tempat kami akan berkumpul, tempat kami akan sekadar berpapasan untuk
beberapa waktu, karena kami adalah teman.
Adalah saya yang mungkin menganggap ucapan itu adalah suatu akad,
baik terjadi pada satu orang maupun pada beberapa orang, seperti halnya
ajakan untuk datang pada pernikahan seorang teman.
Wahid adalah seorang mahasiswa yang telah lulus, ia bergelar sarjana
Ushuludin dan entah mengapa gelarnya seperti itu, seperti fakultas saja.
Atau mungkin sebuah gelar yang akan menemaninya menuju hidup bahagia
dengan Lena teman sepenghidupannya.
Wahid akan menikahi lena pacarnya di Tasik,
“Datang heueuh!” ucapnya santai,
“Siap!,” timpalku.
Saya kenal Wahid itu tak begitu lama, jika mengobrol dengan pak
Kirman, seorang tukang sablon tetangganya, Wahid dulu enggan disebut
namanya dan hanya ingin dipanggil dengan sebutan Hunter, atau mungkin
penyebutannya dengan Hanter saja, entah mengapa pak Kirman berujar
demikian, atau mungkin itu yang paling berkesan tentangnya, soalnya masa
lalu kan tak ada yang tahu, seperti halnya masa depan saja, tak
terlihat jelas. Buram karena seberapa jauh kita bisa merasakan masa
depan kita tetap saja hidup di hari ini.
Entah mengapa seolah harus saja, meskipun hanya sebuah ucapan,
meskipun banyak pekerjaan di rumah, dan sepertinya kondisi tidak
memungkinkan jika pakai hitungan akumulatif, tapi jumlahnya tetap biner.
Saya harus datang.
Malam Minggu yang cukup dingin di Jatinangor, ada seorang pengantin
baru di kamar kos, ia dipanggil Adam, ia tak bisa hadir karena
pekerjaannya menganggapnya demikian, ia tengah gembira sepertinya dan
ajakan memaksa hanya akan merubah situasi gembiranya saja, begitu juga
ia sepertinya terlarut dalam tidurnya meski adzan Shubuh telah datang
ketika saya tinggalkan ia begitu saja, Husni dan Kahfi telah datang
menjemput, untuk segera menjelang Tasikmalaya, jalanan masih basah
sepertinya embun menemani dinginnya udara Rancaekek ketika saya jelang
dan Garut saya temui beberapa menit kemudian dengan tak terasa seperti
barusan saja, sepertinya obrolan politik membuat saya muak sekali, tapi
bukan pada orangnya, tapi pada semua variabel yang membuat teman saya
berpolitik. Itu saja tentang politik. Entahlah kenapa saya tak suka yang
demikian.
Danil telah beberapa kali dikabari ketika saya hampir sampai di
Garut, dan entah mengapa ia begitu lama kami tunggu, dan kami sepertinya
harus meneruskan perjalanan yang menuju siang ini menuju Tasikmalaya
setelah Irsyad dan Rian kami temui, Terios silver itu terus melaju dan
entah mengapa teman-teman berubah menjadi menjengkelkan, atau bahkan
menyebalkan.
Saya tak suka jalanan dengan mobil, jika pakai bus untuk perjalanan
kurang dari tiga jam saya masih kuat, tapi lebih dari itu saya berpikir
dua kali untuk melaksanakannya, saya lebih pilih kereta atau motor saja.
Dan kami telah samai di Tasikmalaya, sebuah sebutan lain dari kota
santri, jalanan benda kami abaikan dan mulai melaju pelan menuju kanan,
daerah dekat Dadaha itu sepertinya sedang berbenah menuju kota besar,
terlihat dari banyaknya pembangunan di daerah itu.
Rombongan kami dua mobil, dan semua tempat duduk telah terisi, ada
Ijul dengan istrinya, dan ada juga Acid dengan suaminya dan Rika dengan
suaminya yang mungkin masih ada di rumahnya, begitu juga ada Anggun
dengan kemeja batiknya, dan mereka memakai kendaraan berplat B dari
Bekasi dan ada Irfan dengan adiknya yang menjadi istri Ijul.
Andi tengah santai sepertinya di hari Minggu yang cerah di
Tasikmalaya namun tidak untuk keluarganya, hanya Andi yang tersisa dan
beberapa pegawai terlihat di hari Minggu dengan pekerjaannya, dan rumah
sebesar itu lengang saja, dengan suara mesin bordir yang terdengar sayu
di pagi hari temani saya tidur karena perut samping kiri sakitnya
lumayan menyiksa.
Saya kira saya akan sakit hari itu, namun sehabis bangun sakitnya tak
kentara. Dan kami melanjutkan perjalanan, sebuah gedung tengah
terdengar alunan musik, musik khas undangan pernikahan, mulai dari
dangdut dan lagu-lagu yang sedang sering terdengar di media-media
setempat, entahlah saya tak terlalu suka, saya lebih suka lagu-lagu yang
mereka kurang kenal, dan mungkin jika mereka kenal, mereka akan lebih
suka dari saya.
Wahid tengah berkuning emas tua hari itu begitu juga Lena, hanya doa
khas pernikahan di islam yang saya bisa ucapkan, dan jawaban amin yang
saya dengar, jika pun itu sebuah ucapan saya kira demikian, tapi
entahlah saya harapkan lebih.
Jika saya sadari bahwa dua variabel silaturahmi telah terjalin atas
terikatnya dua orang ini, semoga jalinannya makin kuat melebihi kuatnya
jalinan tali yang kusut ketika bermain layangan, jalinan yang lebih kuat
dari tambang yang sering Ucok pegang ketika ia berlayar di lautan,
jalinan yang lebih kaut dari seutas tali yang sering dipakai menarik
kendaraan yang mogok, jalinan yang lebih kuat dari obat kuat yang sering
dijual di jalanan hingga malam, dan jalinan yang lebih kuat dari
bersatunya oksigen dan carbon yang membuatnya mengepul di udara, dan
jalinan itu saya harap ada di wahid dan lena di harinya.
Jika saja saya bisa berharap, ya Alloh dua orang ini teman saya dan
mungkin akan seterusnya menjadi teman saya, saya harap mereka mendapat
hal yang paling baik diantara yang paling baik untuk hidupnya, untuk
keturunannya kelak.
Wahid tampak gagah siang itu, dan Lena tampak menawan hari itu,
mereka ditemani orang tua mereka, semoga indah saja harinya, karena kami
akan pulang sehabis berfoto ria di siang hari yang lumayan panas.
Lumayan aneh hari itu, hari yang seolah tak terduga saja, hari yang
keren untuk diingat, karena ini adalah hari Minggu yang akan mereka
kenang.
Kami harus pergi, begitu juga saya, harus menyudahi makan-makan di
resepsi pernikahan mereka. Saya tulis besar sekali di pigura foto
mereka, HAVE A NICE DAY!
#sembari menunggu, ditemani satu album Mono dari Jepang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar