Kamis, 06 Desember 2012

Bermain ke Tasikmalaya

Rabu pagi ini tidak semendung pagi kemarin, pagi yang lumayan banyak sinar mentari, pagi yang menyuruhku untuk mengerjakan satu hal yang kemarin belum selesai, sebenarnya tulisan kemarin itu hampir setengah halaman, atau mungkin tiga paragraf dan terhapus karena saya pijit lambang x di sisi kanan komputer dan mengetik no setelahnya, sungguh pagi yang banyak sekali kegiatannya.

Adalah Sabtu pagi, saat mentari mulai hangat, dan beberapa saat kemudian mulai menyengat mengantarkan saya membawa motor saya menuju bengkel di mana motor saya hampir menuju sore baru beres, Shogun yang sudah lama saya pakai, sudah ratusan kali saya duduk di joknya, sudah ratusan kali berhenti, sudah saya lupa berapa kali saya isi bensinnya, dan saya tak tahu lagi sudah berapa liter yang saya beli dan saya habiskan untuk perjalanan bersama motor itu, dan saya kira Shogun 125 telah siap saya ajak bermain menuju kota santri di selatan Jawa Barat, Tasikmalaya tepatnya, dan sepertinya begitu untuk sore itu.

Hujan datang sebelum saya berangkat, dan hujan juga datang setelah beberapa saat saya berangkat, bertemankan rintiknya hujan saya melaju pelan saja, pelan saja, karena pandangan buram oleh helm yang telah lama menemani saya, buramnya mungkin sama seperti masa depan saya, buram karena saya kadang bingung saja.

Di earphone saya seseorang tengah bercakap pendek saja, dan perjalanan terus berlanjut, buah batu hampir saja jelang ketika tiba-tiba motor saya harus mendadak berasap tebal dan tak berkutik ketika harus masuk bengkel lagi, dan hanya diam saja ketika saya tinggalkan di sebuah bengkel Suzuki depan Metro, berjabat tangan dan mohon maaf mengganggu malam penjaga bengkel.

Angkot Cibiru tengah melaju ketika saya hentikan, saya hanya bisa melihat seorang bidadari tengah tersenyum dan hanya berucap santai ketika perjalanan mulai melaju, saya harus sadar diri, seorang penjahit seperti saya sepertinya tak mungkin halal berjabat tangan dengannya.

Cibiru saya jelang, dan lalu lintas tak padat malam itu, saya bergegas menuju SUAKA tempat saya dulu ingin memulai mimpi saya, Herton sudah tak ada, untung ada Aad berkenan mengantar saya menuju Jatinangor, tempat kami akan berkumpul, tempat kami akan sekadar berpapasan untuk beberapa waktu, karena kami adalah teman.

Adalah saya yang mungkin menganggap ucapan itu adalah suatu akad, baik terjadi pada satu orang maupun pada beberapa orang, seperti halnya ajakan untuk datang pada pernikahan seorang teman.

Wahid adalah seorang mahasiswa yang telah lulus, ia bergelar sarjana Ushuludin dan entah mengapa gelarnya seperti itu, seperti fakultas saja. Atau mungkin sebuah gelar yang akan menemaninya menuju hidup bahagia dengan Lena teman sepenghidupannya.

Wahid akan menikahi lena pacarnya di Tasik,

“Datang heueuh!” ucapnya santai,

“Siap!,” timpalku.

Saya kenal Wahid itu tak begitu lama, jika mengobrol dengan pak Kirman, seorang tukang sablon tetangganya, Wahid dulu enggan disebut namanya dan hanya ingin dipanggil dengan sebutan Hunter, atau mungkin penyebutannya dengan Hanter saja, entah mengapa pak Kirman berujar demikian, atau mungkin itu yang paling berkesan tentangnya, soalnya masa lalu kan tak ada yang tahu, seperti halnya masa depan saja, tak terlihat jelas. Buram karena seberapa jauh kita bisa merasakan masa depan kita tetap saja hidup di hari ini.

Entah mengapa seolah harus saja, meskipun hanya sebuah ucapan, meskipun banyak pekerjaan di rumah, dan sepertinya kondisi tidak memungkinkan jika pakai hitungan akumulatif, tapi jumlahnya tetap biner.  Saya harus datang.

Malam Minggu yang cukup dingin di Jatinangor, ada seorang pengantin baru di kamar kos, ia dipanggil Adam, ia tak bisa hadir karena pekerjaannya menganggapnya demikian, ia tengah gembira sepertinya dan ajakan memaksa hanya akan merubah situasi gembiranya saja, begitu juga ia sepertinya terlarut dalam tidurnya meski adzan Shubuh telah datang ketika saya tinggalkan ia begitu saja, Husni dan Kahfi  telah datang menjemput, untuk segera menjelang Tasikmalaya, jalanan masih basah sepertinya embun menemani dinginnya udara Rancaekek ketika saya jelang dan Garut saya temui beberapa menit kemudian dengan tak terasa seperti barusan saja, sepertinya obrolan politik membuat saya muak sekali, tapi bukan pada orangnya, tapi pada semua variabel yang membuat teman saya berpolitik. Itu saja tentang politik. Entahlah kenapa saya tak suka yang demikian.

Danil telah beberapa kali dikabari ketika saya hampir sampai di Garut, dan entah mengapa ia begitu lama kami tunggu, dan kami sepertinya harus meneruskan perjalanan yang menuju siang ini menuju Tasikmalaya setelah Irsyad dan Rian kami temui, Terios silver itu terus melaju dan entah mengapa teman-teman berubah menjadi menjengkelkan, atau bahkan menyebalkan.

Saya tak suka jalanan dengan mobil, jika pakai bus untuk perjalanan  kurang dari tiga jam saya masih kuat, tapi lebih dari itu saya berpikir dua kali untuk melaksanakannya, saya lebih pilih kereta atau motor saja.

Dan kami telah samai di Tasikmalaya, sebuah sebutan lain dari kota santri, jalanan benda kami abaikan dan mulai melaju pelan menuju kanan, daerah dekat Dadaha itu sepertinya sedang berbenah menuju kota besar, terlihat dari banyaknya pembangunan di daerah itu.

Rombongan kami dua mobil, dan semua tempat duduk telah terisi, ada Ijul dengan istrinya, dan ada juga Acid dengan suaminya dan Rika dengan suaminya yang mungkin masih ada di rumahnya, begitu juga ada Anggun dengan kemeja batiknya, dan mereka memakai kendaraan berplat B dari Bekasi dan ada Irfan dengan adiknya yang menjadi istri Ijul.

Andi tengah santai sepertinya di hari Minggu yang cerah di Tasikmalaya namun tidak untuk keluarganya, hanya Andi yang tersisa dan beberapa pegawai terlihat di hari Minggu dengan pekerjaannya, dan rumah sebesar itu lengang saja, dengan suara mesin bordir yang terdengar sayu di pagi hari temani saya tidur karena perut samping kiri sakitnya lumayan menyiksa.

Saya kira saya akan sakit hari itu, namun sehabis bangun sakitnya tak kentara. Dan kami melanjutkan perjalanan, sebuah gedung tengah terdengar alunan musik, musik khas undangan pernikahan, mulai dari dangdut dan lagu-lagu yang sedang sering terdengar di media-media setempat, entahlah saya tak terlalu suka, saya lebih suka lagu-lagu yang mereka kurang kenal, dan mungkin jika mereka kenal, mereka akan lebih suka dari saya.

Wahid tengah berkuning emas tua hari itu begitu juga Lena, hanya doa khas pernikahan di islam yang saya bisa ucapkan, dan jawaban amin yang saya dengar, jika pun itu sebuah ucapan saya kira demikian, tapi entahlah saya harapkan lebih.

Jika saya sadari bahwa dua variabel silaturahmi telah terjalin atas terikatnya dua orang ini, semoga jalinannya makin kuat melebihi kuatnya jalinan tali yang kusut ketika bermain layangan, jalinan yang lebih kuat dari tambang yang sering Ucok pegang ketika ia berlayar di lautan, jalinan yang lebih kaut dari seutas tali yang sering dipakai menarik kendaraan yang mogok, jalinan yang lebih kuat dari obat kuat yang sering dijual di jalanan hingga malam, dan jalinan yang lebih kuat dari bersatunya oksigen dan carbon yang membuatnya mengepul di udara, dan jalinan itu saya harap ada di wahid dan lena di harinya.

Jika saja saya bisa berharap, ya Alloh dua orang ini teman saya dan mungkin akan seterusnya menjadi teman saya, saya harap mereka mendapat hal yang paling baik diantara yang paling baik untuk hidupnya, untuk keturunannya kelak.

Wahid tampak gagah siang itu, dan Lena tampak menawan hari itu, mereka ditemani orang tua mereka, semoga indah saja harinya, karena kami akan pulang sehabis berfoto ria di siang hari yang lumayan panas.

Lumayan aneh hari itu, hari yang seolah tak terduga saja, hari yang keren untuk diingat, karena ini adalah hari Minggu yang akan mereka kenang.

Kami harus pergi, begitu juga saya, harus menyudahi makan-makan di resepsi pernikahan mereka. Saya tulis besar sekali di pigura foto mereka, HAVE A NICE DAY!


#sembari menunggu, ditemani satu album Mono dari Jepang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar