Saya sedang mengetik ketika musikalisasi Sapardi tengah
dinyanyikan, khas suara jaman dulu, jamannya Broeri Marantika ataupun
itu namanya, saya dulu sering mendengarnya dari kumpulan kaset tembang
kenangan milik bapak saya yang kadang diputar pagi hari ketika libur
kerja tiba, dan kadang itu mengganggu jadwal saya menonton Doraemon dan
Dragonball Z, tentunya bukan itu yang membuat saya ingat, mungkin karena
sudah lama saya tak dengar Sapardi dinyanyikan di speaker, dan
sekarang sudah lagu ketiga, liriknya memang juara, tapi bukan juara
adzan, karena adzan itu puisi monumental dari Bilal Bin Ribah, seorang
mantan budak dan Sapardi tak bisa mengalahkan indahnya puisi dari
seorang kulit hitam seperti Bilal, saya yakin itu.
Banyak teman saya suka buat puisi, tapi entahlah kadang saya tak
mengerti puisinya itu tentang apa, meskipun beberapa puisi saya tahu
tentang apa, namun tetap saja itu hanya perumpamaan, bahkan lebih pada
penggunaan kata dan majas-majas yang awam digunakan masyarakat.
Sepertinya begitu, karena tiap kali saya mencoba membuat puisi saya
pun menggunakan hal-hal yang demikian, sedemikiannya kadang kala membuat
perasaan saya seolah itu karya orang dan saya hanya menyonteknya, tapi
entah yang mana orangnya, tapi itu hanya perasaan saya saja. Terlalu
banyak input kadang mengeluarkan output yang sama tanpa adanya pengolahan.
Saya lebih suka buat catatan saja, seperti catatan belanja saja, yang
perlu dan ada uangnya saya tulis dan yang tidak penting saya tidak
tulis, mencatat itu seolah bicara saja, namun lebih jelas karena
menafsirkan teks tunggal. Beda dengan bahasa lisan yang kadang membuat
penafsir dan pengguna kadang merasakan ambigu, padahal semua terdengar
jelas, dan lebihnya teks itu dapat berkali-kali diingat kembali, karena
monumentalnya tidak dikurangi ingatan dan dikikis lupa, semuanya bisa
dibaca ulang kembali.
Pernah saya buat catatan yang ketika saya baca ulang kok kayak Curhat gitu,
tapi sepertinya catatan itu seperti curahan hati seseorang saja,
jujurnya mencatat itu melawan lupa saja, sebentar tapi bukannya gerakan
melawan lupanya Alm Munir, mencatat itu untuk mengingat bahwa satu saat
saya pernah demikian, pernah merasakan indahnya gairah tulisan itu,
karena kadang kala mood datang tiba-tiba, dan semua variabel
tersaji maka catatan sepertinya bisa digunakan untuk menuliskan sebuah
kisah yang nantinya menjadi pengingat waktu itu.
Untuk puisi ataupun sajak kadang kala saya tak bisa membedakannya,
karena dari beberapa buku punya bapak saya, kumpulan puisi dan kumpulan
sajak sepertinya sama saja. Dulu ketika masih menjadi siswa saya pernah
dengar kata Mantiq dan itu mungkin bahasa lainnya dari pengguna
majas-majas dalam bahasa Indonesia dalam kebudayaan arab, sepertinya
begitu karena dari ingatan saya sepertinya begitu, hanya penggunaan
majas, dan sepertinya semua orang jika sudah datang ilmunya bisa membuat
sajak ataupun puisi seperti semua orang membuat catatan belanjaan saja,
yang ia ketahui ia tulis dan ia bisa modali ia tulis, yang ia tahu bisa
ia torehkan sebagi karya monumentalnya.
Kadang kala penulis dan pembuat puisi menjadi strata tersendiri dalam
sebuah komunitas, seolah yang sah untuk membuat sebuah karya tulis
berupa catatan dan puisi, sepertinya kurang adil karena Alloh SWT
memberikan waktu yang sama, kesempatan yang sama, bahkan kadar udara
yang sama, jadi terlalu berani untuk manusia membedakan manusia lainnya
dengan dirinya hanya karena ilmunya lebih banyak dibanding manusia
lainnya. Dalam pandangan saya manusia yang paling berani adalah manusia
yang berani melawan tuhannya.
Bagaimanapun caranya sepertinya budaya menulis itu perlu
dimasyarakatkan, agar masyarakat melawan lupa, agar tahu lebih banyak,
agar lebih banyak memberi tahu.
#diketik sembari senggang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar