Kamis, 06 Desember 2012

Puisi dan catatan

Saya sedang mengetik ketika musikalisasi Sapardi tengah dinyanyikan, khas suara jaman dulu, jamannya Broeri Marantika ataupun itu namanya, saya dulu sering mendengarnya dari kumpulan kaset tembang kenangan milik bapak saya yang kadang diputar pagi hari ketika libur kerja tiba, dan kadang itu mengganggu jadwal saya menonton Doraemon dan Dragonball Z, tentunya bukan itu yang membuat saya ingat, mungkin karena sudah lama saya tak dengar Sapardi dinyanyikan di speaker, dan sekarang sudah lagu ketiga, liriknya memang juara, tapi bukan juara adzan, karena adzan itu puisi monumental dari Bilal Bin Ribah, seorang mantan budak dan Sapardi tak bisa mengalahkan indahnya puisi dari seorang kulit hitam seperti Bilal, saya yakin itu.

Banyak teman saya suka buat puisi, tapi entahlah kadang saya tak mengerti puisinya itu tentang apa, meskipun beberapa puisi saya tahu tentang apa, namun tetap saja itu hanya perumpamaan, bahkan lebih pada penggunaan kata dan majas-majas yang awam digunakan masyarakat.

Sepertinya begitu, karena tiap kali saya mencoba membuat puisi saya pun menggunakan hal-hal yang demikian, sedemikiannya kadang kala membuat perasaan saya seolah itu karya orang dan saya hanya menyonteknya, tapi entah yang mana orangnya, tapi itu hanya perasaan saya saja. Terlalu banyak input kadang mengeluarkan output yang sama tanpa adanya pengolahan.

Saya lebih suka buat catatan saja, seperti catatan belanja saja, yang perlu dan ada uangnya saya tulis dan yang tidak penting saya tidak tulis, mencatat itu seolah bicara saja, namun lebih jelas karena menafsirkan teks tunggal. Beda dengan bahasa lisan yang kadang membuat penafsir dan pengguna kadang merasakan ambigu, padahal semua terdengar jelas, dan lebihnya teks itu dapat berkali-kali diingat kembali, karena monumentalnya tidak dikurangi ingatan dan dikikis lupa, semuanya bisa dibaca ulang kembali.

Pernah saya buat catatan yang ketika saya baca ulang kok kayak Curhat gitu, tapi sepertinya catatan itu seperti curahan hati seseorang saja, jujurnya mencatat itu melawan lupa saja, sebentar tapi bukannya gerakan melawan lupanya Alm Munir, mencatat itu untuk mengingat bahwa satu saat saya pernah demikian, pernah merasakan indahnya gairah tulisan itu, karena kadang kala mood datang tiba-tiba, dan semua variabel tersaji maka catatan sepertinya bisa digunakan untuk menuliskan sebuah kisah yang nantinya menjadi pengingat waktu itu.

Untuk puisi ataupun sajak kadang kala saya tak bisa membedakannya, karena dari beberapa buku punya bapak saya, kumpulan puisi dan kumpulan sajak sepertinya sama saja. Dulu ketika masih menjadi siswa saya pernah dengar kata Mantiq dan itu mungkin bahasa lainnya dari pengguna majas-majas dalam bahasa Indonesia dalam kebudayaan arab, sepertinya begitu karena dari ingatan saya sepertinya begitu, hanya penggunaan majas, dan sepertinya semua orang jika sudah datang ilmunya bisa membuat sajak ataupun puisi seperti semua orang membuat catatan belanjaan saja, yang ia ketahui ia tulis dan ia bisa modali ia tulis, yang ia tahu bisa ia torehkan sebagi karya monumentalnya.

Kadang kala penulis dan pembuat puisi menjadi strata tersendiri dalam sebuah komunitas, seolah yang sah untuk membuat sebuah karya tulis berupa catatan dan puisi, sepertinya kurang adil karena Alloh SWT memberikan waktu yang sama, kesempatan yang sama, bahkan kadar udara yang sama, jadi terlalu berani untuk manusia membedakan manusia lainnya dengan dirinya hanya karena ilmunya lebih banyak dibanding manusia lainnya. Dalam pandangan saya manusia yang paling berani adalah manusia yang berani melawan tuhannya.

Bagaimanapun caranya sepertinya budaya menulis itu perlu dimasyarakatkan, agar masyarakat melawan lupa, agar tahu lebih banyak, agar lebih banyak memberi tahu.




#diketik sembari senggang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar