Kamis, 06 Desember 2012

Cuma Penjahit Biasa

Baru saja jalanan Ciwidey saya lalui dengan teman, Riza namanya, kerap kali dipanggil Jawa, entah mengapa teman-teman memanggilnya begitu, mungkin karena ia bisa bahasa Jawa, atau mungkin karena Banyuwangi bukan Jawa Barat, tentunya.

Koil sedang main di speaker siang ini, sepertinya hari ini akan turun hujan, seperti lagu yang sedang didengar lagu hujan.
Entah berapa kali lagu ini diputar, sangat apik terlantun, dan kabarnya Otong KOIL akan mainkan beberapa lagunya live di Gasibu hari ini, itu juga menurut kabar dari Facebook KOIL dan beberapa kabar dari Seperturan, inginnya aku menontonnya, namun sepertinya aku harus istirahat, beberapa jam ke belakang sangatlah menguras energi.

Sore lalu teman saya Riza tengah berbelanja beberapa keperluan minumnya di Griya Banjaran, dan Miko belum ada kabar jam berapa ia akan berangkat menuju Banjaran, rencananya kami akan menjadi alumni di reformasi SUAKA.

Alumni? Sepertinya lulus saja saya tak sanggup, aduh jadi minder.

Reformasi SUAKA merupakan hal lain dari pemilihan pimpinan baru di SUAKA, saya awalnya bertanya-tanya kenapa namanya Reformasi, menurut Ekos dulu, nama itu disepakati bersama dalam beberapa tahun ke belakang, mungkin efek penggunaan kata tersebut dalam eranya mahasiswa sebagai agen pembaharuan. Baru saja merakan baru mungkin.

Saya mengendarai motor Shogun yang saya punyai di jalan desa Ciapus dengan melewati 36 portal kecil, atau yang kerap kali disebut polisi tidur, entah mengapa saya iseng menghitung hal tersebut, menarik sekali untuk saya, karena dengan jarak satu kilometer kurang beberapa meter jumlah polisi tidur itu adalah jumlah yang cukup mengamankan arena bermain anak-anak yang telah hilang dan menggunakan jalanan sebagai tempatnya bermain sepeda dan lainnya di desa kami. Anak desa sepertiku sangat maklum untuk hal itu.

Di Griya Jawa tengah membawa plastik warna putih dengan sablonan Griya, ia tengah mencari seseorang ketika saya pandangi dari seberang jalan, saya hanya melambai dan mengajaknya menuju rumah saya yang kecil, dua bangunan dengan banyak jendela dan sedikit kamar jika dibandingkan asrama dua saudara.

“Ka imah heula we, sekalian istirahat heula jeng nungguan si Miko dek ka imah,” ujarku

Ia akhirnya ikut juga, di rumah saya hanya bakso langganan depan rumah yang bisa tersaji, maklum saat itu tak ada persiapan menyambut tamu yang akan datang, saya sedang menjahit saat itu dan sekarang sedang mengetik.

Jawa tengah mempersiapkan masa depannya dengan magisternya di Unisba, salah satu universitas sangat ternama di Bandung Raya, saya hanya bisa berkomentar sebisanya, maklum saya hanya buruh jahit biasa.

“Mun gawe mah tetep prioritas, mun kuliah mah investasi,” ujarnya

Saya sangat mengapresiasi niatannya untuk merangkai hidupnya dengan caranya sendiri, toh saya hanya bisa berkomentar saja, bukan memberikan arahan, semoga ia sampai dengan tujuannya dengan usaha dan keyakinannya, tapi kenapa paragraf ini seperti HMI ya, yakin usaha sampai gitu.

Miko dengan motornya tengah diam di dekat tukang buah di jalanan Banjaran sore itu, saya menjemputnya dengan motor yang biasa saya pakai.
Ia rencananya ingin membuat sebuah tas untuk meningkatkan produktivitasnya sebagai wartawan. Saya sendiri sangat salut untuk teman saya yang satu ini, ia tetap seperti dulu, meskipun tubuhnya lebih gempal dari sebelumnya, sepertinya ia butuh olahraga.

Saya hanya bisa memberikan pilihan bahan saja, sebelum adzan berkumandang dan akhirnya kami harus pergi dari tanah di mana aku dibesarkan.

Jalanan Soreang menuju Ciwidey tengah basah waktu kami lalui, hujan sepertinya telah terjadi beberapa waktu sebelumnya. Cimanggu kami jelang.

Banyak sekali orang di ruangan tersebut, mereka tengah pleno, dan sepertinya sangat serius sekali, namun bukan itu yang saya cari terlebih dahulu, saya sangat memerlukan WC saat itu sehingga tidak terlalu mengindahkan Iqmah, Ivan, Salman Kopma dan temannya ketika mereka memasak.

Udara Ciwidey tengah dingin malam itu, sangat dingin sehingga beberapa pleno saya tak terlalu ikuti dengan baik, saya kan cuma penjahit biasa.

Saya pilih untuk tiduran sebentar saja, namun sepertinya itu kalah dengan lumayan berisiknya suara rapat pleno, begitu pun dinginnya udara makin membuat istirahat tidak kunjung nyaman. Menyesal tak kubawa sleeping bag yang biasa aku buat dan kemudian aku jual.

Maklum saja, jika untuk skill menulis saya tak sebaik teman-teman di SUAKA, tapi jika untuk mencari kesempatan mendapatkan uang dari hal yang bisa saya lakukan untuk mendapatkannya, mungkin bisa lebih baik dari strata mahasiswa yang digunakan teman-teman di SUAKA.

Sepertinya ajakan untuk menikmati hangatnya air di pemandian air Cimanggu lebih menarik perhatian kami yang tengah kedinginan ini, sesaat setelah pleno dihentikan untuk sementara, akhirnya saya, Miko, Jawa, Norman, Aad, Iqbal dan Nasrul mendekati pemandian itu, dan akhirnya air hangat itu membasahi kami.

Tak terasa jam 4 pagi telah kami jelang, dan waktunya meninggalkan tempat itu dengan keriput di kulit tangan, dan rambut yang basah kami menuju warung di samping jalan.

Mie rebus dengan telur sangat enak sekali, sepertinya itu adalah menu paling enak di waktu itu. Waktu untuk kami mengingat masa lalu yang akan kami kenang untuk esok hari jikalau umur itu masih ada. Toh mati itu misteri, seperti misterinya kapan mereka akan lupa.

Adzan berkumandang pagi itu, Shubuh kami jelangdan berubah menjadi pagi di Ciwidey, pleno terus berlangsung, saya dan Jawa harus segera meninggalkan tempat itu, tempat yang mungkin akan kami kenali sebagi Reformasi SUAKA tahun ini.

Jalanan saya jelang pulang, dengan beberapa SMS yang kerap kali membuat saya gusar.

Jawa segera menuju Kopo, dan angkot Banjaran saya jelang untuk pulang dan segera menulis, ketakutan akan lupa mungkin menjadi sebab utama kegiatan jurnalistik itu ada.
Takut dilupakan, seperti takut dilupakannya tuhan sehingga ia menulis kitab untuk nabinya, atau itu mungkin terlalu berlebihan, karena rasa sayang tuhan itu nyata jika terus diingat. Mungkin saja.
Entahlah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar