Selasa, 26 Juni 2012

Jumat yang agung


Jumat ini hangatnya sangat membuat mengantuk, entahlah seperti hari Jumat lainya yang agung, Jumat yang milik semua orang, bukan hanya agung yang punya.

Pagi ini indahnya bukan main, sembari berjalan santai, tangan kecil itu tetap berpegang erat untuk menggenggam telunjuk saya, sepertinya lima jarinya yang mungil hanya untuk telunjuk saya, Ridho, saya dan semua orang memangilnya demikian, seorang anak kecil yang sengaja dinamai oleh ayahnya Ridho Insan Kamil, nama yang sangat familiar untuk pecinta dangdut dinasti Rhoma Irama.

Gang di samping sawah itu tetap lengang ketika kami berdua berjalan santai hanya untuk melihat adanya matahari yang mulai terbit, daun dari padi yang hijau terlihat bercahaya dengan adanya embun yang tak lama lagi akan hilang dipanasi sang matahari, tetesannya belum sampai pada daun tengahnya, baru terlihat di ujung atasnya, seperti karpet yang baru di semprot oleh air yang butirannya sangat kecil.

Dan hari ini rencananya adalah memberikan barang-barang orang lain yang terselip di kamar saya, beberapa barang dari SUAKA, beberapa barang lainya dari teman, yang mungkin untuk faedahnya saya tak tahu pasti apakah masih berfungsi penuh untuk beberapa buku.

Dan adanya keinginan untuk membawa buku Ihya Ulumudin yang saya titipkan, walaupun niatannya hanya untuk alasan yang tak terlalu jelas, inginnya sekadar bertatap muka.

Ridho berjalan dengan kencang ketika kami akhirnya berhenti untuk melihat butiran air yang saya usapkan ke mukanya,
“Eta naon di,” tanyanya,
“Ibun..” jawabku singkat.

Saya pun pulang karena memang harus segera pulang, hari mulai menghangat, dan ketika pulang ternyata di lapangan voli tengah ada komedi putar, sarana rekreasi ringan untuk kami yang mendapatkan masa silam sebagai anak desa, mungkin anak desa sekarang pun demikian.

Jumat yang agung, saya ingat ketika dahulu Idul Adha yang tepat untuk hari jumat, kata khatib,
“Ketika hari ied datang pada hari jumat, atinya itu dua hari raya pada watu yang sama,” ujarnya,
Begitupun ketika saya baca keterangannya di Bulughul Maram tetang hari raya pun demikian adanya.

Hari ini saya lihat uwa saya yang memberikan ceramah, entah kenapa merasa ngantuk sekali hari ini, tapi saya paksakan untuk tetap mendengarkan ceramahnnya, ada yang menarik tentang ceramahnya, di usianya yang senja saya kerap kali saksikan ia tak bisa untuk mengimami shalat, biasanya ia memberikan kesempatan untuk mengimami kepada orang lain, seolah ia memaksakan dirinya untuk tetap memberikan khutbah, ketika kabar sering sakit saya dengar dari saudara yang lain.

Dulu ia pernah bertanya pada seorang tentara,
“Kang ari akang teu sieun ku perang,” tanyanya singkat,
“Ieuh tong hilap, tiap pelor teh boga alamatna masing-masing, tong hariwang,” jawab sang tentara.

Kesannya hanya percakapan singkat dari seorang tua dengan tentara, tapi saya sempat tertegun, karena saya sangat banyak sekali rasa takut untuk hidup saya yang singkat ini.

Sepertinya banyak cara untuk menikmati hidup, banyak cara pula untuk mengakhirinya, banyak cara untuk menghidupi hidupnya, banyak cara pula untuk menghentikan hidupnya.

Jumat yang agung, siang ini saya ketiduran hingga telat untuk membetulkan motor saya yang mulai renta, sehingga saya kesorean untuk datang menemui beberapa wajah yang kerap kali saya ingin temui.




*diketik sembari senggang sebelum motor melaju ke setiabudhi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar