Senin, 25 April 2011

Hari Minggu hujan

Siang hari biru mendominasi langit hari itu, ketika senja malam ingin memakan siang, warna abu mulai menjalar pelan dan pasti, memberikan nuansa redup, jalan Soekarno Hatta terasa lengang ketika hari minggu kujelang, tak terasa aku menunggu di SPBU telah lama, lamanya dari sebelum Dzuhur hingga setelah adzan Ashar berlalu. Dan hujan datang tak menentu kadang membesar, kadang juga rintik, dan kadang juga berangin hingga kulihat banyak orang yang memakai kendaraan tak beratap mulai dari anak kecil, bapak-bapak, hingga ibu-ibu bahkan remaja berpakaian basah dan beberapa memakai baju yang tahan air.

Roda duaku namanya Sogun, kupanggil demikian karena mungkin aku suka demikian sehingga, mirip sekali dengan merek yang diberikan oleh perusahaan Suzuki, Shogun F 125. Ia mulai renta dengan rantai nya yang mulai copot ketika perjalanan berkecepatan lebih dari 50km perjam.

Hari Minggu itu, merupakan hari yang diliburkan oleh pemerintah, bukannya gak tahu alasannya tapi mitosnya kebanyakan mengandung SARA, sehingga tak enak untuk ditulis atau dibicarakan. Minggu itu tanggal 28, bertepatan dengan dilaksanakn konser metal yang kata temanku akan dilaksanakan di Siliwangi, tapi ternyata ada perubahan dan konser itu berlangsung di Saparua. Hari Minggu terasa sangat membosankan karena banyak waktuku hanya duduk bernaung dari rizki Allah yang turun hampir setiap hari, butiran air turun dengan indah, berdansa dengan angin dan mulai menginjak tanah dengan percikannya, namun sayang jika saja permukaan tanah tak kotor maka penampilan itu akan sangat baik untuk diingat, tapi itu kehendak-Nya dan manusia hanya bisa berusaha.

Kuputuskan untuk memacu tunggangan besiku untuk segera pulang menuju Banjaran, sebuah kota satelit yang sangat indah menurutku, mungkin kata indah itu telah terkikis bagi sebagian orang, itu mungkin dari lingkungannya yang mulai rusak, dari kualitas tanah, air dan saluran air yang tak mencukupi lagi bagi rizki yang turun dari langit sehingga menjadi donor air hujan bagi daerah yang lebih rendah di Bandung Raya. “Banjaran aku datang,” ujarku dalam hati, dan pelan sekali aku mengendarainya. Tanpa sadar Bojong Soang akan segera habis kujelang, tapi itu membuatku miris karena beberapa hari yang lalu banyak sekali masyarakat yang meminta sumbangan secara langsung di badan jalan, dan itu membuatku miris, apakah pemerintahnya yang kurang bisa mambuat masyarakat yang yang mapan, atau masyarakat yang bermental lemah hanya ingin diberi tanpa ingin berusaha, memang secara langsung itu telah membuat sebuah kritik kepada masyarakat yang sedang mengalami musibah, tapi jika saja Allah itu adil, maka bukti dari adil ialah bukti dari hidupnya masyarakat tersebut.

Ternyata perkiraan itu benar adanya, mulai dari pertigaan tersebut hingga pertigaan selanjutnya menuju arah Bale Endah pemandangan ibu-ibu, bapak-bapak, hingga anak kecil membawa kardus atau sejenis wadah untuk mewadahi beberapa uang receh yang hadir dalam wadahnya.

Perasaan sedih, tapi memberikan uang receh bukan jawaban yang baik untuk musibah tersebut karena, musibah tersebut sering kali terjadi dan hampir tiap tahun terjadi, solusinya menurutku ialah pemindahan tempat atau pembuatan saluran dan drainase yang lebih baik bagi masyarakat setempat.

Banyak sekali perbincangan tentang bencana di Bandung Raya ini namun tinggal seriusnya masyarakat dan pemerintah untuk memperbaiki keadaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar