Senin, 23 Januari 2012

Bersepeda

bangun tidur kali ini sungguh nyaman, dan aku bersyukur bisa membuka mataku lagi, sore ini tepatnya, dan aku bingung karena tak ada kegiatan yang jelas. Agenda hari ini apa, dan sedikit pegal karena kurang tidur.

Aku bersepeda saja, stangnya telah aku pegang dan suara musik di HP telah menyala, Beyond coma and despair telah terdengar merdu ketika gang depan rumahku telah aku lewati, aku tak tahu gang depan rumahku itu apa namanya, karena aku lupa atau tak tahu saja, sedang Ciapus sendiri sebagai lembur aku tak tahu semua gang yang ada di dalamnya.

Jalan di daerahku, jalan Banjaran maksudnya jadi makin jelek saja, ditambah lagi dengan banyaknya polisi sepanjang jalan yang suka tidur sembarangan, jika hitung itu polisi sampai depan gang depan rumahku , terhitung 39 polisi yang tidur di jalanan, dengan jarak satu kilometer kurang beberapa meter.

Perilaku orang tonggoh yang suka kebut-kebutan mungkin jadi indikator lainnya sehingga banyak munculnya si polisi yang tak gentar digilas itu, sehingga untuk bersepeda kenyamanannya berkurang. Sungguh.

Sebetulnya mah jalanan yang aku ingin pijaki ialah jalanan yang bagus saja, dengan kenyamanan yang maksimal, namun itu tak bisa aku jumpai di Banjaran ini. Sungguh. Akhirnya Pajagalan jadi pilihanku selanjutnya, sebuah daerah yang konon jadi ajang pemenggalan kepala, tak tahu itu kepala hewan ataupun kepala manusia, di daerah itu aku menjalani pendidikanku untuk beberapa tahun, sungguh menyenangkan dengan teman yang banyak, begitu pula lawan dalam diskusi pun banyak, hingga mungkin sebagian ustad tak suka padaku karena kebiasaanku yang jujur dalam berkata itu salah menurutnya, dan sering sekali aku ucapkan bahkan aku tulis, sehingga pernah aku disebut dalam prosesi upacara, klo aku itu bukan muridnya, dan aku terima itu sebagai ganjaran dari perilakuku yang suka melawan.

Pajagalan oh Pajagalan, banyak memori termuat disana, mulai dari indah hingga horor menurutku, dengan banyaknya nilai yang aku terima di raporku dulu, hingga kisah indahnya semuanya serasa terngiang lagi kepala ketika sepeda ini aku kayuh pelan saja, aku ingin nikmati ingatanku saja.

Jalan rel dan jembatan telah aku lewati, selanjutnya ialah Sindanglengo, awalnya aku aneh dengan namanya daerah itu, tapi ternyata tiap daerah punya nama yang aneh secara pasti, dan aku maklum dengan keanehannya, eh rumah Rika Mustika Riani telah aku lewati, ia itu temanku sejak dulu di ibtidaiyah, ia masuk jurusan sastra Indonesia, secara prestasi ia pasti ada di atasku dengan kepintarannya aku kalah telak untuk ilmu yang ia pelajari, ia sangat pintar, cantik pula pokoknya klo lelaki normal akan berpikir keras untuk mendapatkannya, klo gosipnya mah orang Garut mengincarnya, tapi gak tau juga gimana juga akhirnya, moga langgeng aja, Danil juga moga jadi anak yang baik dan calon suami yang baik juga. Kau tahu Danil itu siapa, ia temanku dari Garut, ia suka sekali bernafas hingga sekarang.

Berikutnya rumah Milah terlewati, biasa kupanggil demikian karena memang terbiasa demikian, mojang Banjaran ini klo dari jauh mirip keturunan arabic gitu, tapi ga tau juga ya, secara fisik cantik sangat lah, namun lama tak jumpa, mungkin ia sibuk apalah itu aku tak tahu, sehingga aku tak tahu kabarnya hingga sekarang, ia lagi sibuk ngapain dan entah mengapa seolah ia menghindar dari teman-temannya yang dulu pernah duduk sekelas. Dan kau tahu aku Rika dan Milah itu sekelas waktu dulu, mereka tau klo aku ini pelajar yang bodoh.

Sindanglengo ternyata jalannya tak kalah jelek dari Ciapus, namun akhirnya jalanan yang lebih bagus aku lewati juga, nyaman sekali dengan langit yang cerah dan matahari hampir membuat lembayung di samping kananku.

Alunan lagu kali itu Blur, sebuah lagu dari Polyester Embassy mengajakku menuju Waas, aku lupa lagi arti secara harfiah lembur tersebut, namun daerah itu jalannya tak kalah jelek dibandingkan dengan Sindanglengo. Selanjutnya ialah menuju Pameungpeuk dan apa itu Pameungpeuk, aku tak tahu juga, apalah artinya itu.

Didepan sebuah persimpangan menunjukkan ke Pameungpeuk menuju jalan raya, dan menuju desa Rancatungku aku jelang, jalannya sama juga kurang nyaman menurutku, sebelumnya aku juga lewati sungai yang jadi legenda di dunia persilatan karena kekotoran airnya, mungkin juga dengan orang di sekitarnya.

Sepanjang perjalanan sering sekali aku berpapaan dengan banyak muda-mudi sedang berduaan di satu jok motor, aya iyaklah berdua aja cukup mungin, masa arus bertujuh dalam satu jok motor, namun yang aku aneh, melihat seringnya aku melihat demikian aku jadi aneh kepada orang tuanya, apakah mereka mendidiknya demikan, akhirnya aku husnudon saja mereka mungkin sudah menikah, karena mereka berdekapan erat ketika bermotor, asik sih kayaknya tapi aku ga mungkin gigituan melihat kondisiku yang berantakan. Hach!

Kadang sering sering seali aku melihat banyaknya muda-mudi berpakaian kaos saja, dengan celana pendek sekali bermomotoran, mungkin bagi yang berpaha bagus ya itu mah hiburan aja ngeliatnya juga, tapi klo yang maksaiin saran saya mending momobilan we.

Aduh persimpangan lagi, saya maunya berhenti dulu, namun lagunya kan Urang Mah Bae, jadi aja terus aja ke Kalapatilu, ternyata jalannya bagus loh, sepanjang jalan aku tak temukan lobang dan polisi tidur tang sedikit pula, eh ada yang pake sepeda sama sepertiku, klo mang adem ah panggil sepedaku itu jengki, namun tak apalah karena ia lebih ahlinya, ia punya ontel bagus pisan, dan ia tahu lebih banyak sepertinya. Yang punya sepeda sama denganku itu sedang beristirahat sepertinya, ia hanya mengangguk saja dan saling berpandangan saja, inginnya sih ngobrol atau apalah, karena aku ingin tahu jenisnya ini sepeda apa, tapi jika aku berhenti dulu , akan terasa lebih lelah.

Bersepeda dengan alunan lagu yang disukai sungguh membuat lebih nyaman, karena dengan pemandangan langit yang indah, dan banyaknya daerah yang bisa dilihat dengan lebih seksama, jikalau pake motor kan tak bisa liat lebih seksama. Tak terasa Cirengit akan aku jelang sebuah daerah yang banyak dengan temanku, disana ku berpapasan dengan Falah dan siapalah itu aku lupa lagi, di lembur itu ada Hidayat, yang kini menggeluti ustad sebagai karirnya disana, mungkin dia lebih cocok untuk itu, eh ada Aep juga, kabarnya mah ia telah jadi seorang bapak dari anak perempuannya, keren lah kamu udah bisa membuat istrimu bisa melahirkan, moga jadi bapak yang keren untuk anakmu kelak.

Imma juga ada, ia itu sekarang jadi mahasiswa, jurusannya hampir sama denganku namun sepertinya ia lebih baik dariku, ada juga Iki, kami memanggilnya demikian, aku lupa nama lengkapnya, karena sudah lama tak jumpa, juga ada Hamdan, sepertinya ia lagi sibuk menjadi penggarap lahan sawah yang baik.

Persimpangan selanjutnya aku jelang, mau langsung ke Banjaran atau berputar arah lagi? lebih baik aku menempuh jarak yang lebih jauh lagi, soalnya lembayung sedang bagus, ditemani She Pretendnya Cascade, asik juga, eh ada rumah Bayu dan Reza, dua orang kakak beradik yang berbeda menurutku, sang kakak suka teknik, dan adik lebih mau hukum sebagai jurusannya, eh kemarin Bayu bawa CBR 250, keren sekali Bay, cocok, warna kuning gitu, keren lah, sok cing apik makena.

Selanjutnya banyak pohon bambu yang aku lewati dan persimpangan tadipun aku jelang, Pameungpeuk pun aku jelang, dan tujuan selanjutnya yaitu rumahku tentunya.

Banyak sekali rumah temanku yang secara sadar aku lewati, namun belum bisa aku masuki sekedar bertegur sapa atau meminta makan di rumahnya, mungkin karena banyaknya, ataupun aku hanya sedang ingin mengingat memori indahnya saja, banyak hal telah terjadi, disaat aku makin tua, disaat aku ingin pulang ke rumah keduaku di Cibiru sana, disaat aku merasakan hembusan angin sore sebelum adzan Maghrib menyambut kepulanganku ke kamarku.

*diketik dengan senang hati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar