Senin, 09 Januari 2012

Teruntuk Teater Bohlam

Pagi itu aku masuk sekolah, atau dengan kata lain masa orientasi siswa, namun ternyata kesan pertama yang dibuat adalah penolakan, “Kamu siapa, kenapa masuk ke 22?” ujarnya, seorang kakak kelas menjegal langkahku ketika gerbang berteralis besi itu akan aku masuki, mungkin karena seragamku yang sangat berbeda dengan siswa khalayak ramai, setelah aku jelaskan, aku dipersilahkan masuk ke area tersebut.

Aku bingung mau masuk kelas mana, karena aku ini tak hadir dalam pembagian kelas aku lihat di jajaran kelas itu tak ada yang terbuka, “Ini mungkin,” ujarku berbisik, lalu aku masukilah kelas 1-4, dimana aku sangat bersyukur bisa mengenal teman-temanku hingga saat ini, mungkin mereka sebagian telah melupakanku, namun aku tak pernah lupa urutan bangku yang diisi olehku dan bagaimana pertemuan pertama di kelasku dulu dengan teman-temanku dulu.

Mungkin karena aku ini kurang pintar maka aku ini peringkat ke 4 terakhir dari belakang dari jumlah murid 42, sungguh sangat tragis untuk siswa yang jauh-jauh menempuh jarak kurang lebih 35 kilometer perharinya hanya untuk sekedar belajar, namun itulah prosesnya mungkin.

Pada hari ketiga, kelasku dikejutkan oleh suara berisik dan hantu-hantu yang terlihat lucu, bahkan aneh menurutku, kok ada ya hantu mirip manusia, “Siapa yang mau masuk teater Bohlam?” ujar Bimbim, yang pada saat itu aku tak mengenalnya, ia berperawakan pakai baju putih lusuh dan celana hijau army yang tak kalah lusuh dari bajunya, kontan saja aku langsung mengacungkan tanganku, dan disusul oleh teman sekelah yang lain, namun aku tak ingat siapa setelahku atau aku yang keberapa, setelah menjelaskan apa itu teater Bohlam, di kelas kami disuruh untuk ke sekre, dan mengisi formulir, aku lupa lagi apa itu pake biaya atau tidak, yang pasti yang aku isi itu formulirnya dari kertas. Kertas fotokopian lebih tepatnya.

Kemudian pertemuan demi pertemuan dilakukan, yang paling ingat adalah hari dimana dimulainya program kakak angkat, dan itu masih pagi, hari sekitar hari minggu pagi lah, kalimat yang rancu.

Para kakak angkat mulai berjajar seolah pajangan yang mendapat harga jual, berjajar, Ee, Omen, Andra, Indri, Vina, Ating, Giles, Hulk, Indri dan kakak-kakak angkat bagi adik angkatnya masing-masing, kala itu anggota Bohlam angkatanku itu banyak sekali, hampir satu kleas, namun minim sekali dengan namanya lelaki, mungkin untuk masuk Bohlam itu tidak maco, ataupun mereka belum sanggup menerima kemacoan dari Bohlam. Entahlah.

Ada aku, Yudi, Kudil, Tendi, dan Faisal. Berbanjar rapi dan memilih kakak-kakaknya masing-masing, setelah sebelumnya mereka memperkenalkan dirinya masing-masing dan kita mulai saling mengenal, kala itu kelasku itu jumlah anggota Bohlamnya paling banyak, sehingga ketika ada dispensasi, terkesan banyaknya murid yang diusir dari kelasnya, namun tunggu beberapa bulan berikutnya kelasnya akan lebih penuh lagi.

Dari jajaran kakak angkat Giles itu kedua terakhir dari kanan, tentunya menurut penglihatanku, yang kulihat itu ia itu lebih pendiam dari beberapa yang lainnya,mungkin itu efek namnya, giles kan peujet, jadi lebih tipis dari yang lain, atau entahlah, maka akupun berdiri di belakangnya, bersama Vera, dan satu lagi aku lupa lagi, klo tak salah ia itu mengundurkan diri dan yang tersisa aku dan Vera, lebih parahnya, sepertinya bukan pendididkan teater yang aku dapati, jika husnudon mungkin itu pendidikan membuat paper dan kumpulan berita dari artis Siti Nurhaliza yang saat itu sedang happening pisan, mungkin itulah yang suruh oleh Giles, karena ia itu terkesan sangat pendiam, tapi itu mungkin dulu, klo sekarang mah ya ga tau, beringas mungkin.

Setelah itu mulailah Pesta, yang aku ingat itu celotehan Faisal, “Sangka urang teh Pesta teh seneng-seneng siah, naha euweuh kue na?” dan itupun aku amini, ternyata mental kami jadi sasaran para kakak angkat dan pelaksana Pesta saat itu, jumlah kami itu 21 orang itupun jika tak salah dan yang mempestakan kami itu lebih dari pada itu. Yudi dan Kudil tak bisa hadir karena Kudil itu dipasang penn atau penyangga tangan pada hari itu, dan Yudi klo tak salah sakit.

Ada beberapa kejadian lucu yang aku alami, mulai dari susah berhentinya Sari mengangis, “Kenapa kamu ga berhenti nangisnya?” teriak Ziba ke Sari, “Atuda susah,” ujarnya sembari menangis, aku hampir tertawa melihat teman sebarisku berlaku demikian, kebayang aja ada ya orang yang susah berhenti nangis disuruh berhenti, ga bisa-bisa. Dan banyak sekali hal lainnya yang membuat bulu hidung dicepak mohack. Haha.

Mungkin untuk angkatan sekarang tidak banyak yang mengenal Nova ataupun Ziba, aduh masa itu mereka sangat horror terlihatnya padahal mah ga tau juga, sialnya aku itu orang pertama yang disuruh keluar dan membawa barangku semuanya, akupun nurut, dan lebih tertekan lagi ternyata, karena aku sangat sulit berkomunikasi dengan mereka dalam bahasa Indonesia, bukan karena aku ini orang sunda namun karena masa itu aku sangat enggan dan asa kagok we ngomong bahasa Indonesia teh.

Mungkin mereka hanya marah-marah, mencela dan sebagainya, sedangkan aku hanya diam saja, karena rasanya komunikasiku itu terbatasi sampai tulisan saja.

Di akhir Pesta, aku baru tahu klo pesta itu sebuah akronim Peresmian Anggota, atau bahasa gaulna mah ospekan. Shit aku tertipu.

Senja itu aku pulang dengan badan baru mandi dan kau tahu semua orang pun demikian, sampai rumah orang tuaku bertanya, “Kumaha rame pesta teh, gaya lah ka kota mah pesta,” ujarnya, sedangkan aku ketus saja, “Rame pisan, hah,” ujarku.

Semenjak itu aku jarang ke sekre, dan kurang tahu perkembangan selanjutnya, mulai dari mereka senang-senang taupun sekedar berkumpul ria di sekre, namun yang aku ingat dulu itu sekre itu tempat yang nyaman, pake karpet hijau atau biru ya, aku lupa lagi, soalnnya kan aku buta hurup, dan ada kursi yang nyaman untuk duduk, bahkan ketika aku hendak masuk terkadang aku lihat Topan tengah tidur disana, dan kegiatan selanjutnya ketika di sekre adalah mengobrol konsep, mulai dari cerita, berbagi peran, dan lain sebagainya, dan yang pasti tak lupa ialah bermain kartu dan catur di sekre, klo dulu mah sekre teh teu poek siga ayeuna, dan sektre dulu mah teu sakotor ayeuna.

Ada cerita menarik dimulai di ruangan itu, mungkin Ap masih ingah ingat ketika ditembak Jarwo, ataupun ketika ada yang marahan sama calon mantannya, ataupun juga belajar bersama di sekre itutentang fisika lah ataupun tentang ilmu gaib, ya kimia itu tadi, ngitung yang saya ga tau, jadi we saya kategorikan sebagai hal yang gaib. Jikalau dulu sekre itu dinding ada dua warna, dan sekarang lebih berwarna lagi karena orang-orangnya pun makin banyak warnanya.

Perihal nama mungkin sedikit aneh, kenapa sih dinamain Bohlam, bukan Patrick ataupun Gonzales yang lebih absurd lagi sehingga terkesan lebih keren, sempat aku tanyakan mengenai nomenklatur dari Bohlam sendiri, klo dari penuturan Ziba dan Didot mah sih, nama Bohlam teh dulunya Patromak, kemudian berhenti jadi Bohlam pada masanya Nova, dan perlu diketahui klo orang yang masuk Bohlam itu dikutuk menjadi orang keren. Pisan.

Begitupun aku, aku merasa terhormat jadi bagian dari keluarga besar pisan sangat sekali teater Bohlam dan mungkin anggota lainnya pun begitu, karena untukku sendiri tak ada mantan anggota Bohlam, meskipun secara jelas ia itu mau keluar, ya sudahlah itulah keputusannya. Toh Bohlam masih tetap bersinar.

Kebiasaan pesta entah dari kapan mulainya mah, tapi itulah momentum kita bisa berkumpul lagi, untuk sekedar bertegur sapa dan melihat regenerasi dari tiap angkatan ke angkatan lainnya.

Setelah beberapa bulan aku menjadi anggota Bohlam, ternyata kebiasaan untuk menjadi manusia superior timbul juga, dan terjadilah perpecahan bahkan perceraian, hah!, ga mungkin ketang, ya biasa lah anak perempuan mulailah clash yang berakibat banyaknya anggota yang mundur, dan kau tahu yang tersisa dari angkatanku itu terhitung jari yang ada di tanganku.

Mungkin musuh berat dari persahabatan ialah persekongkolan, ya itulah akibatnya ketika satu ada clash dengan yang lain berakibat yang lainnya juga ikut serta. Ah shit. Pokoknya pas waktu itu mah ga enakeun we ada di sekre teh, si anu sama siapalah, si una sama lahsiapa, kekanak-kanakan sih tapi itulah dinamika.

Jujur saja untukku sendiri tak terlalu aktif di Bohlam karena aku selingkuh dengan ekskul lain, dan aku berfikir di Bohlam lebih banyak orang, sehingga aku lebih melilih ekskul tersebut, namun kenangan di Bohlam tak ada yang sia-sia.

Sesampainya aku kelas tiga akhirnya aku bisa membuktikan ucapanku kepada Ziba di saat aku disuruh pulang, “Apa yang bisa kamu janjikan ke Bohlam agar kamu bisa masuk Bohlam?” teriak Ziba, spontan, “Sampai alumni insya Allah di Bohlam,” ujarku singkat.

Namun kenyataannya aku tak bisa maksimal dalam membantu kemajuan Bohlam dengan segala bentuk kegiatannya, karena kesibukanku yang lain, namun sekadar bercerita mah tak apalah jua.


*diketik sore hari, Untuk mencatat Bohlam dalam tulisan

1 komentar:

  1. Wow... after all this time...
    In the midle of the night, tak sengaja blog ini membawa saya berselancar ke masa lalu...

    Makasih sudah mencatat bohlam dalam tulisan...

    Indri

    BalasHapus