Sabtu, 05 Juni 2010

Praktikum Fatamorgana

Suasana kampus sore itu terasa lengang, tak seperti sore-sore lainnya. Tapi apa yang terjadi ternyata masjid di seberang Student Centre diisi oleh banyak mahasiswa, prasangka yang pertama datang adalah adanya kesadaran mahasiswa yang meningkat secara signifikan dalam menjalankan ritualnya di rumah tuhan tersebut.

“Maneh sakelompok jeung saha?” ujar seorang mahasiswa menanyakan perihal praktikum yang telah lama jadi dilema mahasiswa. Anggapan dilema bukannya tanpa alasan yang jelas, satu sisi pengembangan mahasiswa yang berujung pada keilmuan yang mumpuni, di satu pihak penyelenggara sering tak mengerti dan menyamaratakan semua mahasiswa. “Semuanya harus ikut!” ujar Pembantu Dekan.

Sangat aneh memang dirasakan oleh mahasiswa yang harus bayar mahal ratusan ribu hanya untuk mengisi absensi dan sang dosen memberikan nilai A untuk 3 kali pertemuan dengan dalih sang mahasiswa telah memenuhi kriteria yang ada. Bahkan seorang teman memberikan cerita buram tentang praktikum ia hanya membayar 45 ribu dengan 3 kali pertemuan hingga akhirnya bersama ke empat temannya bertitelkan A pada nilai praktikumnya.

“Memangnya kami orang bodoh!” ujar seorang mahasiswa ketika Audiensi dengan rektorat. Dan hal itu diucapkannya secara berapi-api, ia tak rela temannya terus menjadi korban Praktikum yang dirasakannya tidak adil berlaku di universitasnya, alasan tak adil memang terdengar kuat banyaknya dengan uang yang masuk pada mahasiswa dengan pembimbing praktikum yang tidak semuanya kompeten dan amanah sangatlah tidak berimbang. Satu kelompok diisi oleh belasan atau kurang mahasiswa sedangkan sang dosen hanya mendapatkan kurang dari seratus ribu untuk praktikum tersebut dengan tuntutan belasan pertemuan dengan kelompok bimbingan praktikumnya.

Sedangkan apakah yang didapat oleh sang mahasiswa ia hanya mendapat sebuah buku mirip sejenis makalah fotocopy-an dengan daftar absensi, sangat beruntung mahasiswa yang mendapat dosen yang baik, kompeten, dan amanah. Tapi apakah semuanya begitu, siapa yang bisa menjamin, bahkan pemimpinnya saja tidak mengenal staff–nya yang ia temui setiap upacara di depan kampus kami.

Memang sebuah penyalahgunaan dimulai dengan sistem yang salah, ternyata penyalahgunaan dana dimulai dari yang memungut dengan tidak jelas salurannya bahkan untuk laporan keuangannya saja tidak diketahui. Siapa menabur angin ia akan menuai badai mungkin jadi analogi yang baik bagi para pelaksana amanat, nanti akhirnya akan dituntut untuk mempertanggungjawabkan hasil kerjanya, tinggal mahasiswa yang diberi amanah oleh rakyat untuk merubahnya jika mahasiswa menghendaki kebenaran universal.

*dipublikasikan dalam blog mahakirisiswa.blogspot.com, sebagai pengingat kejadian awal semester dua dengan praktikum yang selalu menjadi ilusi yang dipaksakan nyata oleh para dosennya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar