Sabtu, 05 Juni 2010

Sukabumi - Surade

Sukabumi mereka memanggilnya demikian dengan udara yang sejuk, warga yang ramah, dan yang paling kuingat dari nama kota tersebut adalah luasnya, jika aku bisa berjalan-jalan ke semua daerah yang pantas aku kunjungi aku akan sangat bersyukur karena bisa melihat potensi yang tertidur pulas.

Siang hari itu langit kota Bandung timur terlihat cerah, warna biru dan awan putih menemani sejak pagi hari, “Jadi teu berangkatna?’” tanyaku dalam pesan ke Nenden teman sekelasku.

Setelah beberapa saat menunggu di SC (Student Center) kampus kami yang lekat dengan mitosnya kampus islami, akupun menunggu di jalan Manisi sesuai dengan instruksi teman seperjalanku.

Teman sekelas memanggilnya Nenden Komalasari, mungkin nama itulah yang diberikan orang tuanya ketika ia lahir, mojang asal Cianjur itu tak tahu mengapa seolah terus berlari di pikiranku, tak tahu bagaimana pada semester 1 akhir aku menyatakan cinta padanya namun akhirnya ia menolakku. Kusadari mungkin aku harus banyak berbenah atas diriku yang mungkin tak pantas untuknya atau mungkin hal lainnya yang menjadi alasan hal tersebut.

Sempat aku melihat cermin sebelum berangkat ke Sukabumi hari itu, kulihat seseorang dengan selera musik yang beragam, sangat menyukai Tan Malaka, dan F. Engels dan mungkin suka menggambar lewat Corel.

Setelah naik angkot Cileunyi-Cibiru akhirnya sampai di dekat Tol Cileunyi. Setelah membayar dan menyeberang jalan akhirnya kursi Bus Karunia Bakti bisa kududuki dengan seorang bidadari di sampingku. Sungkan mungkin jadi alasanku untuk mengobrol banyak dengan Nenden, tak tahu mengapa rasanya sealu sungkan dan tak menentu perasaan ini ketika berada di dekatnya. Mungkin aku saja yang aneh. Akhirnya kebanyakan aktifitas di perjalanan ke Sukabumi diisi dengan kegiatan tidur.

Akhirnya terminal Degung Sukabumi sampai juga setelah sebelumnya berhenti sebentar di depan terminal Rawabango Cianjur, akhirnya sesuai rute yang diberikan Mila Fitriyani teman sekelasku aku mencari jurusan Lembur Situ, jurusan tersebut satu-satunya jalur untuk mencapai Surade Sukabumi.

Setelah naik jurusan angkot lain dan beberapa saat berjalan kaki menuju angkot jurusan terminal Lembur Situ, akhirnya angkot tersebut kulihat juga, warnanya kuning cerah, mirip angkot jurusan Cigondewah yang sering aku naiki ketika mengantar ibuku mencari kain di Cigondewah.

Dalam perjalanan ke Surade serasa naik mobil trail atau jalanan yang sangat terjal, mending jika hanya terjal saja tapi kelokan yang tajam menjadi bonus indah bagi perjalanan ke Surade, lelah dan pusing karena dari siang belum makan, sehingga pikiranku tak bisa berpikir jernih yang kuingat hanya ingin tidur dan tak ingin melihat jalan, walaupun kata teman sekelasku, pemandangan disana bagus sekali, “Mana alusna, poek kieu,” ujarku dalam hati karena hampir lebih dari setengah perjalan lampu rumah jarang sekali aku lihat.

Akhirnya, alun-alun Jampang aku lewati sesuai instruksi dari Mila, aku harus berhenti di depan GOR Surade, setelah melewati beberapa kilometer, akhirnya sampai juga.

Di pinggir jalan telah menunggu seorang pria dengan sepeda motor. Inginku langsung duduk dulu dan rebahan atau memakan sesuatu di warung terdekat. Tapi pemuda tersebut langsung mengajakku dan Nenden naik motornya, ternyata itu adalah saudaranya Mila, dalam perjalan menuju k rumahnya Mila ternata tak jauh berbeda dalam perjalanku ke Surade, lumayan terjal dan gelap.

“Punten nya ngarepotkeun!” ujar Mila ketika kutemui ia di depan rumahnya menunggu tamu dari arah Bandung yang akan mengunjunginya, “Santai,” ujarku. Perjalananku ke Sukabumi ialah upayaku memenuhi janjiku padanya.

Setelah membasuh tubuh akhirnya aku bisa makan juga, syukurlah akhirnya perutku terisi juga, dan berisitirahat untuk esoknya melihat temanku yang akan menjadi istri bagi suaminya. Mila Fitriayani mereka memanggilnya tapi untuk biasanya aku memanggilnya Mi, bukan sebuah jenis makanan tapi hanya untuk mempermudah pemanggilan saja.

Langit biru menemani terbukanya mata pagi itu, deretan karpet, telah tersedia di halaman depan dan ruang tengah, sungguh berbeda dengan suasana pagi hari di kosan samping kampus, dengan udara yang segar, langit yang biru, dan melihat para pelajar SMP dan SD lewat depan rumah, rasnya seperti jaman dulu saja, menuju ke sekolah dengan berjalan kaki tapi sekarang setiap kali aku berangkat kuliah yang kulihat hanya deretan sepeda motor dan kendaraan lain yang dipenuhi oleh anak sekolah.

Tak lama rombongan datang, calon suaminya Mila, belakangan aku tahu bahwa ia adalah seorang guru Sosiologi dari tempat Mila menimba ilmu, dari pemaparan Mila awalnya ia kurang suka padanya namun ternyata jalan hidup berkata lain, ada rasa lain yang tumbuh dan membesar hingga akhirnya berbunga perkawinan. Hari rabu itu mungkin hari yang paling bersejarah baginya, ketika panggilan itu datang ia masuk ke ruang tengah seperti yang canggung mungkin karena pakainnnya yang serba putih dan lain dari pada bisanya ia terlihat sangat cantik.

“Sok calik di palih dieu,” ujar naib. Prosesi itu terbilang aneh bagiku karena berbeda dari biasanya keluargaku bisanya di ruangan yang besar atau aula, sedangkan ini ruangan tengah menjadi saksi bisu akad nikah, aku hampir tak dapat melihat wajah temanku itu karena kebanyakan ia hanya menunduk, kumaklumi ia berkelakuan begitu. Namanya juga pernikaannnya, apalagi ini yang pertama.

Acara prosesi akad berjalan sangat lancar, hanya tangisan anak kecil yang menjadi bumbu acara tersebut selebihnya pesan-pesan dari yang dituakan dan naib setempat. Namun pada saat sungkeman atmosfir serasa berbeda semuanya termenung dan hampir sepi, dan pendek cerita garisan tetesan air mata terlihat di pipi kiri temanku. Ia menangis.

Sesuai jadwal setelah akad pernikahan diteruskan dengan acara makan-makan, dengan hidangan yang tersedia, orang-orang berjajar dan berbaris rapi. Namun kurasakan udara makin menghangat dan waktu itu terasa sangat panas, setelah kutanyakan pada saudara Mila, memang begitulah adanya, ditambah lagi daerahnya yang dekat pantai. Panas.

Acara selanjutnya ialah pendokumentasian pernikahan tersebut, mungkin kebiasaan disana akad dulu baru hajatannya, tapi berbeda dengan kebiasaan keluargaku biasanya akad pernikahan bareng hajatan, sepaket atau kata lainnnya.

“Kamana?” tanyaku, “Ka Villa, urang foto-foto,” ujarnya. Karena aku tamu ya aku ikut saja, ditambah lagi aku tak tahu apa-apa tentang Surade, ternyata daerah tersebut daerah dataran rendah dan menyimpan banyak sekali potensi pariwisata, misalnya Ujung Genteng, Mina jaya, dan resort lainnya yang jika dikembangkan bisa saja seperti Pangandaran sekarang ini.

Beberapa spot rombongan kami berfoto ria, dan tentunya, pendokumentasian bersama Nenden, dalam hatiku, “Akhirnya bisa juga ambil foto dengannya,” tapi tak apalah walau tak optimal hasilnya, aku tetap bersyukur untuk kenangan yang mungkin akan menjadi beberapa sejarah dalam hidupku.

Setelah berpulang ke rumahnya Mila, Nenden minta untuk segera pulang, dan aku pun menyetujuinya karena mungkin Nenden lebih punya perhitungan tentang kuliahnya pada hari kamis esok, dengan alasan itu menurutku sudah cukup untuk segera pulang.

Dan akhirnya aku pulang bersamanya. Dengan rute yang sama Sukabumi-Bandung, di tengah Jl Soekarno Hatta, bus kami menambal banya terlebih dahulu, sehingga kami harus menunggu setengah jam lebih, Nenden hanya tidur, dan aku mendengarkan track Green Eyes dari Coldplay, jika saja ia mengerti mungkin ia kan tahu lagu indah itu untuk siapa, tapi ia hanya tertidur. Sungkan rasanya untuk mengajaknya mengobrol, karena aku kadang jadi salah tingkah di depannya dan pilihan terakhir. Aku hanya diam dan mungkin itulah jalan terbaik.

Kusayangkan sepanjang perjalan aku cuma diam dan hanya duduk di kursi penumpang, karena dari percakapan pendek saja aku sudah bosan dengan topik pembicaraan kami, hanya itu-itu saja dan tak menarik bagiku, sehingga aku pilih diam atau tidur dari pada mengobrol dengan topik-topik yang menurutku sangat berbeda banget dengan yang aku kategorikan menarik bagiku untuk jadi bahan obrolan, atau mungkin aku tak mau untuk membuat diriku tertarik.

Aku berjalan menuju kosan Nenden dari pintu jalan Panyileukan, karena sang Angkot tersebut mogok, dengan kondisi lelah, aku mengantarnya beserta satu dus oleh-oleh dari Mila, tak tahu aku isinya apa yang pasti itu dari Surade.

Esoknya kondisiku sangat lelah sekali, aku enggan mengobrol dengan siapapun karena aku pusing sekali, kurang tidur sepertinya.

Aku bergegas pulang, mandi air hangat dan tidur pulas. Semoga mimpiku banyak lebih indah daripada beberapa hari sebelumnya perjalanan ke Sukabumi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar