Sabtu, 05 Juni 2010

Waktu itu pakaian mereka basah

Sore itu, udara sangat dingin ketika motorku melaju di depan terminal Cicaheum, hujan rintik telah menjadi teman perjalanku sore itu, tak disangka hujan berubah drastis, mengganas hingga kurasakan percikan air di tanganku walaupun telah terbalut oleh sarung tangan, disertai angin yang membuat penglihatan kurang jelas, karena air hujan yang deras, jarak pandang yang pendek dan yang paling utama adalah genangan air sepanjang jalan Antapani membuat laju motorku tetap dibawah 40 Km perjam.

Mungkin penggalan janji yang membuatku berbasah-basah ria dalam perjalananku ke Pasar Baru, untuk memenuhi pesana ibuku membeli dua paket Coklat pesanannya. Dengan hampir semua kain yang menempel pada kulitku basah dan itu rasanya sangat tidak nyaman. Akhirnya pesanan tersebut beres sudah.

Selanjutnya rute berikutnya ialah Banjaran, sebuah kota satelit di Bandung Selatan, dengan industri dan limbahnya yang memuakkan membuat populasi petani berkurang dan menjadi pekerja pabrik dengan secara tak sadar merusak lingkungannya.

Rusaknya lingkungan di daerahku mulai terasa dengan kualitas air yang berkurang dan seringnya banjir menemani beberapa tempat di Banjaran, ketika aku pulang air hampir menjangkau jembatan di Sasak Dua, sebuah daerah yang harus kulalui jika akan menemui rumahku.

Aku sangat bersyukur rumahku berada di dataran yang lumayan tinggi, karena jika saja di rumahku banjir 10 Cm, mungkin Banjaran dan Bandung akan tergenang dan danau Bandung jilid dua akan menjadi sejarah Bandung kedepannya.

“A, enggal ka Kamasan,” ujar ibuku ketika aku baru sampai di pintu rumahku, aku baru sadar rumah paman dan nenekku ada di Banjaran yang beberapa tahun terakhir menjadi langganan luapan air.

Dengan berjalan kaki dari Ciapus menuju Kamasan, aku ditemani adikku, ternyata kebanyakan warga telah diungsikan ke balai desa Kamasan, aku cari semua keluargaku dan rencananya aku akan membawa mereka semua k rumahku, tak kudapati semua keluargaku. Aku pun mulai cemas, tapi telepon dari rumah menentramkanku. Ibuku bilang mereka semua sudah di rumahku.

Tinggal melihat kondisi rumah saudaraku hanya untuk memastikan kondisinya saja, dengan celana yang sepenuhnya basah oleh arus air aku terus melaju menuju rumah nenekku, di sana ada pamanku yang berjaga, “Sok we uih, mang Amet mah di dieu nungguan beres,” ujarnya, aku pun bergegas pulang di tengah perjalanan pulang ibuku menanyakan kabar rumah aku paparkan, air mencapai lebih dari setengah pintu rumah dan ada pamanku yang berjaga, “Dititipan artos teu?” tanyanya, aku tak ingat bahwa ibuku menitipkan sejumlah uang untuk keluargaku di sana, aku putuskan membeli nasi timbel dan roti bakar, adikku membeli nasi timbel dan ayam goreng dan aku membeli roti bakar.

“Kumaha bumi teh?” tanya ibu penjual roti bakar kepada seorang ibu muda yang duduk disampingku, aku perkirakan demikian karena kemiripannya dengan bibiku yang baru mempunyai dua anak, “Sakedik deui bu,” ujarnya santai, “Sakedik deui kumaha?” tanya ibu penjual roti bakar, “Enya sakedik deui seep bu,” ujarnya santai, “Innalillahi, sing tabah we nya, da musibah mah teu aya nu apal,” ujarnya.

Aku melihat dan mendengar tersebut hanya termenung seolah tak percaya tapi begitulah yang terjadi, di sela-sela menunggu roti bakar siap, kulihat sang ibu muda menelepon, “Kang bumi kakeueum,” ujarnya lirih dan tetesan air mata terurai dan diusapnya dengan kerudung putihnya.

Sepanjang perjalanan masih terngiang peristiwa tersebut. Dan ketika aku menyerahkan makanan dan sejumlah uang untuk pamanku yang berjaga dekat rumah nenekku, aku sempat menanyakan keadaan di daerah selatan, “Wah di ditu mah seueur nu kakeuem," ujarnya singkat.

Semoga saja lingkungan menjadi cerminan atas kesadarannya untuk tetap melestarikan lingkungannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar